Ar rijaalu qowwaamuuna alan nisaa’. Ayat ini berbicara tentang kepemimpinan kaum laki-laki atas wanita. Para mufassir sepakat bahwa kepemimpinan yang dimaksud merujuk pada bentuk tanggung jawab laki-laki terhadap perlindungan dan pemeliharaan wanita. Dalam konteks rumah tangga, kepemimpinan itu tidak hanya berhenti pada kenyataan bahwa suamilah yang harus menjadi nakhoda kapal yang berwenang mengatur laju bahtera di lautan kehidupan rumah tangga tetapi tentu saja meliputi didalamnya kepemimpinan dalam term ekonomi. Tidak bisa tidak di tangan seorang suamilah, hidup perekonomian sebuah keluarga akan menemui nasibnya. Bahwa sebagai seorang pemimpin, seorang suami haruslah orang yang menjamin tersedianya kebutuhan bagi kelangsungan hidup yang dipimpinnya, yaitu anak dan istrinya.
Seorang wanita terbiasa menerima konsep bahwa suami adalah sumber penghasil nafkah tunggal dalam keluarga. Dalam kenyataannya, suami sebagai sumber penghasil nafkah sering dihadapkan pada permasalahan-permasalahan pelik perekonomian yang tak jarang membuatnya salah tingkah. Di saku bajunya terdapat daftar panjang kebutuhan rumah tangga yang seakan tak ada habisnya menghadang kemana pun langkah suami menuju. Padanya bertumpu segala jenis keluh kesah yang ujungnya selalu simpul-simpul problematika keuangan yang berpotensi menjadi sandungan. Belum lagi dengan derasnya tagihan yang kadangkala berubah menjadi hantu ketika kondisi semakin memburuk. Sementara pemasukan tidak bergeser dari posisi awal. Dapat dimengerti jika ada saat ketika suami kelihatan begitu lelah dalam posisinya sebagai pemimpin ekonomi dalam sebuah keluarga.
Sesungguhnya pemecah persoalan ekonomi rumah tangga bukanlah melulu wilayah prerogatif suami. Betul seorang pemimpin harus mengayomi. Tetapi perlu diingat pula bahwa biduk rumah tangga adalah jalinan dari sepasang manusia yang dalam posisinya sebagai hamba sedang melakukan peribadatan, sehingga ketika ditarik garis secara transenden ke atas, segala problematika rumah tangga yang termasuk di dalamya problem-problem ekonomi, sesungguhnya adalah tanggung jawab bersama. Sebagai istri yang peka dengan kondisi lapangan, dia harus rela membuang jauh-jauh ide bahwa seorang istri cukuplah hanya duduk termenung-menung menunggu segepok lembaran dari tangan suami di atas kursi malas. Tak dapat dipungkiri, beberapa keretakan rumah tangga karena persoalan ekonomi disebabkan karena istri yang tak cukup cerdas memahamkan diri bahwa dia harus bergerak ketika kondisi menuntutnya harus ikut menyingsingkan lengan baju.
[caption id="attachment_357469" align="alignnone" width="303" caption="berat sama dipikul"][/caption]
Berkaca kepada istri-istri Nabi sendiri. Mereka pun ternyata tak tinggal diam dalam kesehariannya. Ketrampilan yang mereka miliki diriwayatkan mampu mendukung kemandirian finansial, yang dengannya menjadikan jalan untuk bersedekah lebih terbuka lebar bagi mereka. Maka ketika peluang untuk bersama-sama pasangan membangun perekonomian yang kuat dalam rumah tangga terbuka, istri yang cerdas tak akan menyia-nyiakannya. Selama yang dijalankan berada dalam koridor syar’i maka tidak ada alasan untuk mencari-cari alasan melarang seorang wanita mendapatkan kemandirian finansialnya. Namun demikian, sebagai seorang yang berada di bawah kepemimpinan suami, ijin suami tetaplah menjadi penentu bagi istri untuk melakukan sebuah tindakan ekonomi.
Dalam Islam, manajemen keuangan keluarga haruslah dilandasi prinsip keyakinan bahwa penentu dan pemberi rezki adalah Allah. Melalui usaha yang diniatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga agar dapat beribadah dengan khusyu’, suami dan istri akan memiliki komitmen dan prioritas penghasilan halal dan menghindari penghasilan haram yang membawa petaka. Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba memperoleh penghasilan dari yang haram kemudian membelanjakannya itu akan mendapat berkah. Jika ia bersedekah, maka sedekahnya tidak akan diterima. Tidaklah ia menyisihkan dari penghasilan haramnya itu kecuali akan menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapus kejelekan dengan kejelekan, tetapi menghapus kejelekan itu dengan kebaikan sebab kejelekan tak dapat dihapus dengan kejelekan pula.” (HR. Ahmad) Dan sabdanya:“Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan bertambah kecuali neraka lebih pantas baginya.” (HR. Tirmidzi).
Dari hadits di atas jelas kemutlakan akan halalnya nafkah yang akan dipersembahkan untuk keluarga. Betapapun buruk carut marut kondisi ekonomi rumah tangga tidak selayaknya menjadi pembenaran untuk tidak mematuhi aturan-aturan-Nya ketika bermuamalah, baik di kantor maupun dalam urusan perniagaan. Sekali lagi istri yang shaliha tak akan lelah mengingatkan suami untuk tetap on the right track betapapun besar godaan untuk bertindak korup dalam lingkungan kerjanya. Begitupun bagi urusan dirinya. Jika usaha untuk kemandirian finansial telah didapatkan, hasil yang diperoleh tidak seharusnya menggeser komitmen diri untuk tetap lurus dalam bekerja dan berkarya.
Pada akhirnya kerja sama sepasang suami istri untuk sebuah keberhasilan dalam mengatasi segala problematika ekonomi rumah tangga menjadi syarat mutlak. Tidak akan berhasil betapapun kerasnya suami bekerja tanpa dukungan istri dalam bentuk apapun. Sinergi menjadi tak terbantahkan. Seperti kata pepatah lama berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H