Mohon tunggu...
Susy Ayu
Susy Ayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis dan pelukis

Penulis buku puisi Rahim Kata Kata dan buku kumpulan cerpen Perempuan Di Balik Kabut

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Antara Jalan Tol dan Tepi Pantai

28 Januari 2014   23:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:22 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash



Kami selalu bercinta dengan hangat, tidak satupun dari kamiyang meragukan hal itu. Berada di dekatnya selalu saja membangkitkanku tak habis-habis meski perkawinan kami sudah berusia tiga tahun. Kami selalu mengisi kesepian kami tanpa buah hati dengan keintiman yang bervariasi. Suatu ritual yang tidak pernah membosankan, selalu saja kami tanggap terhadap kejenuhan yang mulai menampakkan diri. Sehingga jenuh itupun terbunuh tanpa pernah tumbuhdi antara kami.

Aku mencintai istriku, aku terlalu takut akan kehilangannya. Aku ingin memiliki seluruh perasaannya, jiwanya, bahkan pikirannya. Semua ini mungkin karena ketidakmampuanku memberinya keturunan. Ah, kami berdua tidak pernah ingin benar-benar tahu siapa diantara kami penyebab itu. Aku tidak berani memintanya ke dokter, aku tidak punya cukup keberanian untuk menerima kenyataan bahwa akulah yang bermasalah atas hal itu. Kami seakan melalui semua ini dengan baik-baik saja, dengan perasaan cinta dan bahagia yang tetap meluap-luap.

Kami berkencan lagi di sebuah hotel sepulang kantor malam ini, sambil berbaring di sampingku dengan memakai baju dalam yang belum pernah kulihat sebelumnya, dia membisikkan kalimat cintanya dengansangat lembut . Hembusan nafasnya di telingamembuatku jatuh cinta selaludandibawanya aku terbang bersama karbondioksida yang melayang di udara.

Aku selalu ingin tahu apa yang ada di dalam hatinya, di dalam pikirannya. Takkan kubiarkan ia terdiam tanpa mencurahkan segalanya kepadaku. Terlebih lagi di saat cintaku bebas tertumpah seperti ini. Aku harus tahu setitik apapun yang ada dalam benaknya. Aku tidak ingin sakit hati melihat tatap matanya yang terkadang menerawang setelah menikmati percintaan.

“Aku ingin kita bercinta di tepi pantai, di bawah sinar bulan, di antara desir ombak, mas.”

Itu jawaban yang ia berikan setelah aku bertanya tentang isi kepalanya.

“Tapi aku membencimu tiap kali aku mengingat bahwa kau pernah melewati keintiman yang luar biasa indah itu bersama orang lain sebelumnya. Aku benci. Aku nggak suka!”

Percuma. Meski itu masa laluku, ia tidak pernah bisa menerimanya. Maka tiap kali gusarnya timbul, selalu kata maaf kupintakan padanya. Permintaan maaf karena belum mengenal dirinya kala itu.

“ Bercinta di tepi pantai adalah impianku, mas. Penyatuan jiwa dan cinta dengan suasana yang begitu hangat. Hal itu terasa indah bila dilakukan dengan orang yang paling tercinta. Berpelukan mesra, saling berbisik, bercumbu dengan sayang....lalu kita bercinta dengan penuh gelora........”

Matanya menerawang lagi. Cerlang matanya hilang. Lalu kulihat ia menangis.

“Aku benci dengan keinginan ini. Seharusnya kaupun belum pernah merasakannya, seperti aku. Tapi kau sudah...ini nggak adil. Percintaan yang paling romantis sudah pernah kau lakukan dengan orang lain. Aku benci, nggak tahan rasanya!”

“Sama halnya denganmu, kau tahu, aku ingin sekali kita bercinta terburu-buru di dalam mobil di bahu jalan tol. Setiap kali kita sedang bergairah sepulang kantor. Aku juga sama bencinya denganmu, kau sudah pernah melakukan itu dengan orang lain sebelumnya.”

Seharusnya aku tidak perlu terbawa arus kebenciannya terhadap masa laluku. Tetapi gugatannya membuatku harus membangkitkan hal yang sama di dalam diriku untuknya. Rasa benci akan masa lalunya. Kubakar hatiku juga, tiba-tiba terasa sama, karena aku menjadi demikian cemburu bahkan memendam amarah. Terasa sangat menjengkelkan harus merasakan seperti ini. Sebelumnya aku tidak pernah terlalu perduli soal masa lalunya, dengan siapa ia serahkan keperawanannya, bagaimana ia bercinta, dimana, seperti apa. Kemarahannya menyeretku untuk berbuat hal sama, mencari-cari kejadian di masa lalunya untuk dipersamakan dengan bencinya. Aku juga berhak punya rasa benci pada kisahnya. Dan betapa sangat mujarab, ia memelukku untuk meredakanku dan tentu saja untuk meredakan gusarnya sendiri.

***

Betapa aku mencintai suamiku. Tanpanya akan membuat seluruh diriku menjadi hampa saja. Aku ingin memiliki seluruh perasaannya, jiwanya, bahkan pikirannya. Sangat bisa dipastikan bahwa semua ini karena ketidakmampuanku memberinya keturunan. Ah, kami berdua tidak pernah ingin benar-benar tahu siapa diantara kami penyebab itu. Aku tidak berani memintanya ke dokter, aku tidak punya cukup keberanian untuk menerima kenyataan bahwa akulah yang bermasalah atas hal itu. Kami seakan melalui semua ini dengan baik-baik saja, dengan perasaan cinta dan bahagia yang setiap saat berusaha dibangun.

Kami berkencan lagi di sebuah hotel sepulang kantor malam ini, sambil berbaring di sampingnya dengan memakai baju dalam yang belum pernah ia lihat sebelumnya, aku membisikkan kalimat cintaku dengansangat lembut . Aku senang menghembuskan nafasku di telinganya, aku menyukai caranya menikmati itu. Aku tahu, ia seperti melayang, dan dibawanya aku serta.

Aku harus tahu setitik apapun yang ada dalam benaknya, tahu apa yang ada di dalam hatinya, di dalam pikirannya. Takkan kubiarkan ia terdiam tanpa mencurahkan segalanya kepadaku. Terlebih lagi di saat cintaku bebas tertumpah seperti ini. Aku jugaselalu makin sibuk oleh bayanganku sendiri, impian terindahku untuk bersamanya dalam suasana yang paling romantis. Bercinta di tepi pantai. Semakin dalam kurasakan cinta dan gairahku, semakin jauh aku menerawang ke belakang, ke masa dimana aku belum datang dalam kehidupannya. Tiba – tiba perasaan benci dan marah menyelusup titik demi titik dan makin membesar menjadi bulatan hitam yang kemudian pecah menghamburkan impian terindahku itu. Aku membencinya, karena ia tidak akan merasakan khidmat dan syahdunya sebuah percintaan paling romantis. Sudah tentu baginya bukan hal yang demikian, ia sudah pernah merasakan sebelumnya. Baginya itu bukan hal baru. Aku setengah mati membenci masa lalunya.

Tapi ia pintar sekali kembali menyerang gusarku, setelah kukatakan perihal impianku dan kemarahan yang besar itu, ia balas menyudutkanku dengan keinginannya untuk bercinta di tepi jalan tol. Ah, apa indahnya percintaan macam itu? Itu suatu ketergesa-gesaan yang sama sekali tidak membuat perasaan cinta dan kelembutan kasih sayang berkembang makin dalam. Hanya sensasi yang sesaat begitu saja, lalu hilang. Tak ada pemaknaan yang dalam akan sebuah hubungan yang didasarkan atas cinta dan kasih sayang. Tidak khidmat. Tidak syahdu. Sesungguhnya aku tidak terima jika disebandingkan dengan keinginan bercinta yang sangat romantis, di tepi pantai! .

Tapi aku bisa apa? Pintar sekali ia membungkam kesalku. Aku pun tidak berkutik ketika ia utarakan kesalnya karena hasrat besarnya itu pun telah aku alami bersama orang lain di masa yang lalu. Ah, ia sodorkan besar-besar skor 1-1 di mukaku.Aku hanya memeluknya, api ini berbahaya jika dibiarkan membesar. Aku pun takut ia terus menerus kesal oleh keinginan itu, seperti halnya aku.

***

Percakapan kami di kamar hotel dua hari yang lalu ternyata bisa menjadi duri dalam daging pada putaranwaktuku selanjutnya. Jantungku selalu berdegup lebih kencang tiap kali melintas di jalan tol. Keringat dinginku menguap dalam ruang sempit ber AC ini, pedal gas kuinjak kencang-kencang, tidak akan pernah kubiarkan aku melaju di sisi kiri, sebisa mungkin aku menjauh dari bahu jalan. Tapi aku tidak bisa menghentikan kembaraan pikiranku, di bahu jalan sebelah mana istriku pernah bercinta?Pertanyaan gila macam apa ini? Kulihat istriku duduk sedikit merebah, blusnya berdada rendah, betis putihnya terlihat semampai, sebelah lengannya mesra bersandar dipangkuanku. Ia tampak sangat lembut namun menantang, rusak lagi otakku, seperti ini pula ia dengan kekasihnya dahulu. Mereka pasti menjadi lebih mesra, saling meraba, berciuman, lalu menghentikan mobil di bahu jalan untuk menyelesaikan permainan dengan begitu tergesa-gesa, takut terjaring polisi, tapi juga penuh gelora dengan berbagai macam alasan untuk berdebar. Percintaan yang sangat fantastik. Aku ingin bercinta dengan istriku seperti itu. Tapi muncul juga perasaan marah karena ia sudah pernah sebelumnya, bagiku itu peristiwa besar yang memiliki sensasi sangat luar biasa. Aku membenci itu, semua pikiran dan bayanganku. Kutepiskan tangannya dari tengah pahaku, ia terkejut, aku memberi jawaban seadanya, “ Aku tergesa-gesa harus tiba di kantor lebih awal dari biasanya.Ini menggangguku, sayang.”

***

Percakapan kami di kamar hotel dua hari yang lalu menjadi semacam duri yang menusukku berulang-ulang, dalam daging, kepala, jantung, setiap jengkal tubuhku. Anganku untuk bercinta di tepi pantai itu hadir semacam rasa yangmenggilai isi kepalaku. Kami sungguh-sungguh berada sekarang di sini, di kota yang dikelilingi dengan pantainya yang indah. Kupikir ide cuti bersama ini dapat merekatkan kami lagi, setelah sekian lama makin parah kurasakan keinginanku itu.

Senja makin menjelang, seharusnya kami bisa menikmati. Menjengkelkan, kenapa tidak dari dulu kami bulan madu di tepi pantai, mungkin bayangan orang lain tidak separah ini? Tiba-tiba terasa asing ketika jemarinya merengkuh tubuhku, jemari suamiku sendiri. Bukan lagi gelora cinta yang hangat mengaliri tubuhku, tetapi api cemburu yang terasa membakar. Kutepiskan tangannya. Ternyata ia laki-laki yang pandai membaca isi kepalaku.

“Bagaimana caraku manghapus bayanganmu? Bukankah ini idemu untuk bercinta di pantai?”

“Aku nggak bisa melanjutkan ini..pahamilah...”

“Apa yang kamu mau kemudian?”

“Aku ingin bercinta dengan orang lain di pantai...bukan denganmu! Ini impian terindahku, tetapi nggak adil, mas sudah merasakannya dengan orang lain. Perasaan kita nggak seimbang..aku nggak mau...nggak mau..” Memalukan...aku hampir histeris menangis.

“Kita bisa bercinta di tempat yang lain, sayang. Jangan disini jika itu menyiksamu.....”

“Tapi ini tempat terindah di muka bumi....aku ingin denganmu..dengan laki-laki yang paling aku cintai..tapi kau sudah pernah dengan orang lain sebelumnya. Tidak akan sama penerimaanmu akan keindahan ini..tidak akan sama dengan ku!”

“Pilihlah laki-laki lain, bilang kalau kau sudah, dan segera kita wujudkan impianmu itu: bercinta di tepi pantai dengan laki-laki yang paling kau cintai..ah kau cintai kah aku? Begini caramu memperlakukan cinta kita?”

Terlambat, aku ingin meraih tangannnya. Ia sudah bangkit dari sisiku. Meski tidak keras dan kasar aku mendengar ia berkata ” kau tahu obsesi percintaanku yang belum terwujud denganmu? Di mobil, di pinggir jalan.....! Aku juga akan melakukan hal yang sama. Ini adilkan sayang?” Lalu ia mengecup keningku. Aku benar-benar sadar, semua ini memang harus segera diwujudkan...hanya itu yang ada di kepalaku kemudian.

*******

Aku muak. Aku hampir muntah. Perempuan yang ku tiduridi pesisir pantai ini bukan lagi istriku yang kukenal. Ia tentu sangat menikmati percintaan kami ini, tapi aku tidak. Betapa seluruh penerimaannya juga telah dinikmati laki-laki lain kemarin. Baru kemarin! Tentu di kepala istriku sekarang penuh dengan laki-laki lain itu. Dan..aku ingin muntah saja.....istriku juga ditiduri seperti ini. Bereaksi seperti ini, sehangat ini, sedalam ini. Lidah ombak yang membasahi kami tidak dapat menghapus jejak-jejak bekas tubuhnya kemarin. Pun pasir-pasir yang sama melekat di permukaan kulit licinnya ini. Butiran peluhnya,berpendar di bawah sinar bulan yang sama.

Entah perasaan apa lagi yang mesti kubangun untuknya. Aku muak.

*****

Aku tidak tahu, apa yang dirasakan suamiku barusan. Jalan tol ini cukup lengang, terwujud sudah impiannya itu. Tapi aku mual, bukan karena perasaan tegang bercinta tanpa rasa aman. Tapi...entahlah....ia seperti bukan suamiku lagi. Ah, pasti seperti ini yang ia lakukan kemarin dengan perempuan lain itu. Begitu panas, terburu-buru, bergelora......Aku tiba-tiba membencinya, membenci ia pernah meniduri perempuan itu. Pasti yang ada di kepala suamiku hanyalah yang kemarin......Seperti apa perempuan itu? Pasti ia lebih... ......Hoeeeekkkkkkkkkkhh!!!!!!!!

Aku muntah. Suamiku cuma melirik, dan aku membalasnya tajam.

*****

Sayang, maaf aku nggak bisa jemput kamu di kantor sore ini.

Ada meeting dengan klienku di luar kota, mendadak.

Aku nggak pulang. Kamupake taxi aja yah?

Sender: Mas

+6281893XXXX

Aku membaca sms suamikusambil tersenyum, ah aku juga tidak berselerauntuk bertemu dengannyahari ini.

******

Nggak papa kok mas,

Aku juga sudah pulang duluan. Mau arisan di rumah Ibu.

Aku juga mau nginep tempat Ibu, sudah kangen.

Sender: Yayank

+62812138XXXX

Aku lega. Istriku tidak banyak bertanya. Kupikir perasaan kami sekarang betul-betul telah sama.

****

Bekasi

Pernah dimuat di harian Fajar, Makassar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun