Best Practice memberikan panduan, untuk menentukan harga wajar (harga pasar) tanah adalah dengan cara mencari informasi transaksi di sekitar lokasi tanah yang dibeli pada waktu yang berdekatan. Informasi tersebut (apabila dapat diperoleh) tidak dapat direkayasa oleh siapapun. Artinya, informasinya objektif dan independen. Metodologi seperti ini sudah diketahui oleh auditor di manapun.
Kembali pada kasus pembelian tanah Sumber Waras, maka harga wajar (harga pasar) nya adalah informasi tentang transaksi lokasi tanah sekitar lahan Sumber Waras pada waktu yang berdekatan dengan transaksi oleh Pemprov DKI Jakarta. Kebetulan (?), pada lokasi tanah yang sama pada waktu yang berdekatan (beberapa bulan sebelum transaksi oleh Pemprov DKI Jakarta), penjual (YKSW) melakukan transaksi jual-beli tanah tersebut dengan PT CKU. Bahkan perjanjian jual-beli tersebut masih berlaku pada saat tanah tersebut ditawarkan kepada Pemprov DKI Jakarta. Akhirnya perjanjian jual-beli antara YKSW dengan PT KCU dibatalkan oleh penjual (YKSW) karena Pemprov DKI Jakarta bersedia (?) membeli dengan harga yang lebih mahal. Dengan demikian, informasi harga wajar (harga pasar) tanah Sumber Waras dengan mudah dapat diketahui, yaitu sebesar Rp 564.355.000.000,00. Dengan demikian, jumlah kerugian negaranya adalah selisih antara uang yang dibayarkan pemprov DKI Jakarta (Rp 755.689.550.000,00) dengan harga wajar (harga pasar) tanah tersebut (Rp 564.355.000.000,00), yaitu Rp 191.334.550.000,00.
Lho, dalam menghitung kerugian Negara kok tidak menyinggung tentang NJOP?
Dalam menghitung kerugian Negara (khususnya kasus pembelian tanah) memang tidak pernah menggunakan dasar NJOP! Gunanya NJOP adalah sebagai dasar untuk menghitung Pajak Bumi dan Bangunan yang harus dibayar (terutang). Tidak ada tujuan lainnya selain itu. Oleh karena itu, BPK dalam menghitung kerugian Negara juga tidak menggunakan NJOP Jalan Tomang Utara (lokasi/letak tanah yang dibeli Pemprov DKI Jakarta) sebagai pembanding.
Perdebatan mengenai NJOP dalam kasus pembelian tanah Sumber Waras adalah penyesatan terang-terangan. Dalam menghitung kerugian Negara, tidak ada urusannya (tidak ada hubungannya) dengan NJOP. Apakah besarnya NJOP jalan Kyai Tapa Rp 20 juta per m2, apakah Rp 35 juta per m2 … terserah. Apakah NJOP Jalan Tomang Utara Rp 5 juta per m2, apakah Rp 2 juta per m2 … terserah. Tidak ada urusannya dengan penghitungan kerugian Negara.
Demikian juga dengan perdebatan letak/lokasi tanah, apakah terletak di Jalan Kyai Tapa atau Jalan Tomang Utara. Hal inipun juga tidak ada urusannya (tidak ada hubungannya) dengan penghitungan Negara.
Apabila dikembalikan pada definisi kerugian Negara menurut Undang-Undang bahwa
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”,
maka dalam kasus pembelian tanah Sumber Waras kerugian Negara telah sempurna terjadi, karena Pemprov DKI Jakarta melawan hukum baik sengaja maupun lalai, yaitu melanggar Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Jumlah kerugian negaranyapun nyata dan pasti, yaitu Rp 191.334.550.000,00.
6. Tindak Pidana Korupsi
Dasar hukum pemberantasan korupsi adalah Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisi korupsi dan ancaman hukumannya diatur pada pasal 2 dan pasal 3 sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).