BAB V, PENYERAHAN HASIL PENGADAAN TANAH, Bagian Kesatu: Berita Acara Penyerahan
Pasal 112
- Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan hasil Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah disertai data Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pelepasan hak Objek Pengadaan Tanah.
- Penyerahan hasil Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa bidang tanah dan dokumen Pengadaan Tanah.
- Penyerahan hasil Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan berita acara untuk selanjutnya dipergunakan oleh Instansi yang memerlukan tanah guna pendaftaran/pensertipikatan.
- Pendaftaran/pensertipikatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penyerahan hasil Pengadaan Tanah.
Pembayaran pengadaan tanah RSSW dilakukan secara tunai (sekaligus/lunas) dengan cek Bank DKI sebesar Rp 755.689.550.000,00, tetapi fisik tanah tersebut belum dapat dikuasai oleh Pemprov DKI Jakarta karena pada lahan tersebut masih digunakan sebagai RS Sumber Waras. Lokasi tanah akan diserahkan oleh penjual 2 (dua) tahun kemudian (padahal pembayarannya sudah lunas). Oleh karena itu, Pemprov DKI Jakarta tidak dapat mensertifikatkan tanah tersebut.
Hal ini melanggar pasal 112 Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang menyatakan bahwa Pendaftaran/pensertipikatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak penyerahan hasil Pengadaan Tanah.
5. Kerugian Negara
Definisi tentang Kerugian Negara/Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) pada pasal 1 angka 15 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) pada pasal 1 angka 22 sebagai berikut (definisinya sama):
“Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Pada bagian “penjelasan pasal” untuk pasal definisi kerugian Negara, tertulis: “sudah jelas”. Artinya, definisi tersebut tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut karena definisi tersebut mudah dipahami dan tidak memungkinkan terjadinya multi-interpretasi.
Dalam konteks pengadaan barang/jasa (termasuk pengadaan tanah), maka pemahaman tentang kerugian Negara adalah selisih kurang (apabila ada) antara jumlah uang yang dibayarkan (yang sesungguhnya terjadi) dengan nilai barang/jasa menurut harga wajar (harga pasar).
Contoh: Apabila suatu Pemda membeli mobil / komputer / furniture / tanah / bangunan / apapun bentuk barangnya seharga Rp 400 juta, sedangkan harga wajar (harga pasar) mobil / komputer / furniture / tanah / bangunan / apapun bentuk barangnya tersebut ternyata Rp 330 juta, maka kerugian negaranya Rp 70 juta (400 juta – 300 juta). Rumus menghitung kerugian Negara ini berlaku umum, sederhana, dan mudah dipahami oleh siapapun. Siapapun pembelinya (pemerintah pusat maupun pemerintah daerah manapun, apapun jenis barang yang dibeli, maka rumus menghitung kerugian negaranya sama seperti tersebut di atas.
Dalam konteks pengadaan tanah Sumber Waras oleh Pemprov DKI Jakartapun berlaku rumus yang sama. Kerugian Negara/daerahnya adalah selisih antara uang yang dibayarkan Pemprov DKI Jakarta dengan harga wajar (harga pasar) tanah yang dibeli.
Uang yang dibayarkan dari kas daerah untuk membeli tanah Sumber Waras sudah jelas, yaitu Rp 755.689.550.000,00. Berapa harga wajar (harga pasar) tanah tersebut? Pada titik inilah terjadi perbedaan perpsepsi (yang seharusnya tidak perlu terjadi, karena pedoman untuk menentukan harga wajar (harga pasar) sudah sangat jelas). Untuk dapat menentukan harga wajar (harga pasar) tanah yang dibeli, pemerintah pusat/pemerintah daerah diwajibkan oleh Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum untuk menunjuk Penilai internal atau Penilai Publik (appraisal). Apabila Pemprov DKI Jakarta dalam membeli tanah Sumber Waras sudah menunjuk Penilai internal atau Penilai Publik (appraisal), maka silang-sengkarut pembelian tanah Sumber Waras tidak akan mungkin terjadi. Masalahnya adalah Pemprov DKI Jakarta dalam pembelian tanah tersebut tidak menunjuk Penilai internal atau Penilai Publik (appraisal). Tentu saja hal ini melanggar Perpres RI Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana caranya mendapatkan harga wajar (harga pasar) tanah yang tidak ditentukan oleh Penilai internal atau Penilai Publik (appraisal)?