Mohon tunggu...
Amalia Sustikarini
Amalia Sustikarini Mohon Tunggu... -

pengajar dan pembelajar. sedang menempuh studi di New Zealand

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Peran Parent to Parent Support Bagi Orang Tua Dengan Anak Berkebutuhan Khusus

14 November 2014   14:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:50 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Bulan Oktober yang lalu adalah bulan kesehatan jiwa. Setiap tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Peringatan  ini dimulai sejak tahun 1992 oleh Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) yang membawa misi untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran dan advokasi masyarakat seluruh dunia mengenai kesehatan jiwa. Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebutkan prevalensi gangguan mental emosional berupa depresi dan cemas pada masyarakat berumur di atas 15 tahun mencapai 11,6 persen.

Gangguan Mental-Emosional pada Anak

Walaupun kesehatan mental dan emosional pada anak dan remaja mulai mendapat perhatian di Indonesia, belum ada data yang menggambarkan kesehatan jiwa anak secara nasional. Diperkirakan ada kurang lebih 4,2 juta Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Indonesia jika menggunakan asumsi PBB yang menyatakan bahwa paling sedikit 10 persen anak usia sekolah (5-14 tahun) menyandang kebutuhan khusus. Dan dari jumlah tersebut, sebagian adalah anak yang mengalami gangguan mental dan emosional.

Gangguan mental emosional ini dapat disebut sebagai invisible disability, atau disabilitas yang tak terlihat. Beberapa kasus seperti autisme atau gangguan pemusatan perhatian (Attention Deficit Hyperactivity Disorder/ ADHD) telah mendapatkan perhatian yang cukup baik dari kalangan masyarakat. Tapi sebenarnya masih banyak jenis gangguan lainnya seperti General Anxiety Disorder, Obsessive Compulsive Disorder,  Asperger Syndrome dan Post Traumatic Stress Disorder yang juga memerlukan penangan sedini dan sebaik mungkin.

Seperti halnya gangguan jiwa pada orang dewasa, penanganan gangguan kejiwaan pada anak belum mencapai tingkat yang optimal, diantaranya karena pada fase usia anak masih terdapat ancaman penyakit-penyakit fisik menular yang dianggap lebih penting dan berbahaya. Tahapan tumbuh kembang anak juga terkadang menjadikan gejala-gejala gangguan mental emosional menjadi rancu dengan perkembangan normal emosi anak pada umumnya.

Disamping faktor yang bersifat internal tadi, faktor eksternal berupa kurangnya fasilitas penunjang kesehatan juga berperan besar. Pada tahun 2012 didapatkan  data bahwa dari 1.678 rumah sakit umum yang terdata, hanya sekitar 2 persen yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Hanya 15 rumah sakit dari 441 rumah sakit umum daerah milik pemerintah kabupaten/kota yang memiliki layanan psikiatri.Kondisi sama terjadi pada puskesmas, hanya 1.235 puskesmas yang memberikan layanan kesehatan jiwa dari sekitar 9.000 puskesmas. Jumlah tenaga kesehatan jiwa sangat terbatas. Jumlah psikiater atau dokter spesialis kesehatan jiwa hanya ada 616 orang. Sekitar 200 psikiater berada di Jakarta dan sekitarnya. Jumlah psikolog klinis di Indonesia sangat rendah, sekitar 400 orang.

Biaya pemeriksaan kejiwaan baik pada psikilog klinis ataupun psikiater di klinik klinik swasta juga  cukup tinggi. Hal ini dapat menyebabkan terputusnya kelanjutan penangangan kesehatan kejiwaan pada anak, mengingat proses terapi baik secara psikososial maupun farmakologi membutuhkan waktu yang cukup panjang. Masalah lainnya adalah penyediaan institusi pendidikan untuk ABK terutama yang mengalami gangguan mental emosional . Jumlah SLB ataupun sekolah inklusi belum memadai baik dari segi kuantitas maupun kesiapan kurikulum, guru dan fasilitas penunjang lainnya.

Peran Orangtua sebagai Support Group

Menyikapi situasi yang cukup pelik ini, peran komunitas dan keluarga dalam penanganan ABK dengan gangguan mental emosional diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan.  Hal ini terutama dirasakan di negara berkembang seperti di Indonesia yang nilai kekerabatannya masih cukup kental. Beberapa penelitian  menyebutkan bahwa penderita gangguan kejiwaan yang mendapatkan perawatan secara intensif dari keluarga dan perhatian positif dari masyakarat memiliki kemungkinan perbaikan kondisi yang lebih baik daripada mereka yang tergantung sepenuhnya pada perawatan medis di rumah sakit atau panti sosial.

Namun disisi lain, keluarga atau caregiver dari anak dengan gangguan mental-emosional ini juga menghadapi tekanan sosial dari masyarakat.  Kondisi anak-anak mereka yang sepintas tampak “normal” membuat masyarakat menjadi kurang sensitif menghadapi anak-anak ini dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki visible disability seperti kecacatan fisik, penglihatan atau pendengaran. Seperti yang ditulis oleh Winch & Christoph, 1988; Seligman & Darling, 1989 , kelelahan fisik dan mental yang terjadi  dikalangan para orangtua dengan ABK menyebabkan mereka rentan mengalami depresi. Pihak kerabat, teman atau masyarakat sekitar seringkali memberi penghakiman bahwa kondisi anak mereka tersebut adalah akibat dari pola asuh yang buruk (bad parenting) walaupun sebenarnya faktor-faktor penyebab gangguan mental ini sangat kompleks, diantaranya faktor genetik, kondisi semasa kehamilan dan sebab fisik lainnya.

Dalam situasi seperti ini, pembentukan support group antar orangtua  (Parent to Parent) dengan anak yang mengalami gangguan mental emosional dapat menjadi satu alternatif..  Di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Australia dan Selandia Baru Parent to Parent telah menjadi aspek penting dalam strategi kesehatan nasional dan menjadi mitra bagi penyedia layanan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah.

Untuk kasus Indonesia, gerakan Parent to Parent ini dapat dimulai dari hal kecil seperti mengadakan hotline bagi sesama orang tua yang membutuhkan komunikasi untuk topik seperti informasi pengobatan, tenaga medis, jenis terapi atau pemilihan sekolah. Informasi mengenai jenis terapi dan pengobatan ini sangat penting untuk menghindari  kasus penyalahgunaan terapi-terapi berbiaya tinggi tanpa didasari penelitian yang ilmiah. Hotline ini juga dapat dipergunakan untuk mendengarkan keluhan tentang kelelahan fisik-emosional yang sering dialami oleh para orangtua dengan ABK. Karena dikelola oleh orang tua dengan kondisi yang sama,  maka diharapkan terjalin komunikasi yang dilandasi dengan empati dan ketulusan. Forum ini juga dapat dijadikan ajang berbagi tentang hal-hal praktis seputar mengatasi tantrum, kecemasan, pola makan  dan hal-hal yang terjadi sehari-hari.  Orang tua yang anaknya sedang dalam kondisi lebih baik dapat menawarkan bantuan untuk mengasuh anak lain selama beberapa jam untuk  memberikan kesempatan kepada orang tua anak tersebut untuk mendapatkan waktu istirahat. Suatu hal yang sangat penting untuk menjaga kestabilan psikologis dari orangtua dengan ABK.

Untuk jangka panjang, peran parent support group ini dapat diarahkan menjadi  kelompok advokasi yang melobi pemerintah untuk penyediaan layanan kesehatan jiwa bagi anak dan remaja yang lebih baik. Mereka dapat menyarankan pembangunan tempat penitipan anak untuk ABK, harga obat dan layanan psikologi-psikiatri yang lebih terjangkau serta gerakan anti diskriminasi bagi ABK dan keluarganya. Momentum Hari Kesehatan Jiwa Sedunia dan diundangkannya UU No 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, seyogyanya dapat menciptakan kondisi yang lebih baik bagi perawatan kesehatan kejiwaan anak-anak Indonesia, karena ditangan mereka, masa depan negeri ini berada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun