Seperempat penduduk Korea tercatat tinggal di Seoul sehingga tidak heran jika segala hal terpusat di sini. Kota dengan penduduk terpadat di Korea Selatan ini telah menjadi pusat politik, ekonomi, dan kebudayaan Korea selama enam abad terakhir sejak jaman Raja Taejo, pendiri dinasti Chosun. Di kota serba modern ini, bangunan modern bersatu harmonis dengan istana dan pintu-pintu tua pembatas peninggalan kerajaan Koryo, sebutan Korea jaman dulu. Pintu tua peninggalan dinasti Chosun - Dongdaemun dan Namdaemun - misalnya. Kedua pintu ini kini telah menjadi daerah yang paling banyak dikunjungi turis karena ramai dengan pasar malam dan mal berbagai suguhan belanjaan menarik. Selain itu, banyak hal membuat saya jatuh hati dengan Seoul. Budaya mereka tidak pernah bosan saya nikmati. Baik itu budaya tradisional maupun budaya pop mereka yang kerap disebut Hallyu Stars untuk para bintang filmnya dan Korean Wave untuk musiknya. Kalau yang ini, saya rela membahas dengan teman komunitas hingga berjam-berjam. Setiba di bandara Incheon, saya langsung disambut angin dingin tanda dimulainya musim gugur. Saya lalu menunggu limousine bus nomor empat A yang mengantar saya ke hotel. Sebenarnya ada berbagai macam pilihan untuk menuju tengah kota Seoul yang berjarak 52 kilometer dari bandara. Naik kereta, bus atau taxi. Pilihan terakhir jelas mahal, kecuali jika ongkos di-share. Cara menuju kota murah dan cepat adalah dengan naik Airport Express (A’rex) hingga Bandara Gimpo. Lalu, dilanjutkan dengan subway. Tiga ribu seratus won untuk A’rex plus seribu hingga seribu lima ratus Won untuk subway, tergantung lokasi tujuan). Kali ini, saya memilih cara - yang saya anggap paling praktis, yaitu: naik limousine bus. Memang harga lebih mahal, sekitar 14000 won (Sekitar 150 ribu rupiah). Perjalanannya pun perlu satu setengah jam lebih. Namun, saya tidak perlu lagi kerepotan membawa koper saat harus berganti transportasi. Dengan limousine bus ini, kita diturunkan langsung di depan hotel tujuan. KREATIF INSADONG Setelah check in hotel, tempat tujuan pertama yang saya kunjungi adalah Pasar Seni Insadong. Saya sempat cek di internet ada Seoul Design Festival. Saya yakin pasti galeri yang berjejeran di situ akan menampilkan kreatif-kreatif desain keren. Dugaan saya tidak meleset. Jejeran galeri yang menawarkan berbagai ide seni kreatif langsung mengundang decak kagum. Ada galeri yang isinya cuma memamerkan gentong-gentong tradisional Korea yang dilukis dengan warna-warna pop. Unik sekali terlihatnya. Ada juga galeri yang menampilkan karya fotografi gedung-gedung tua Seoul. Sayangnya, begitu saya mencoba mengabadikan, petugas galeri langsung memberi tanda tidak boleh memotret. Insadong juga surga buat para turis yang mencari oleh-oleh Korea. Mulai dari gantungan kunci, pulpen, patung, baju sampai camilan lengkap di sini. Sebelum uang habis buat belanja kesukaan sendiri, ya, mendingan siapin aja dulu oleh-oleh. Harga oleh-oleh di Insadong juga sangat terjangkau. Sepanjang menyusuri Insadong dan Ssamzie market, saya pun tidak melupakan bagian mencicipi semua camilan dan jajanan pasar yang ada. Mulai dari fresh kiwi juice yang ternyata sama sekali tidak ditambah apapun tapi terasa manis, waffle rasa pisang (yang ini sepertinya memang hanya di Korea ya), mochi, sampai gorengan khas Korea Odeang (rice cake). Yang terakhir ini, saya sepertinya ketagihan deh. Karena dijual per tusuk dan harga per tusuknya hanya 1500 won (Sekitar 15 ribu rupiah), saya pun lancar melahap. Alhasil, sepuluh tusuk saya habiskan. Makan siang pun terlewat karena perut yang sudah penuh. KENIKMATAN APGUJEONG Puas melihat galeri, mencoba kuliner, dan berbelanja oleh-oleh untuk teman-teman, saya melanjutkan perjalanan melihat-lihat butik-butik mewah di daerah Cheongdam dan Apgujeong. Daerah terakhir ini sering disebut-sebut sebagai rodeo drive-nya Seoul. Saya juga membuat janji dengan mantan rekan kerja saya dari kantor saya sebelumnya untuk bertemu di salah satu café di Apgujeong. Jarak dari Insadong ke Apgujeong cukup jauh. Selain melintas sungai Han, diperlu waktu sekitar 45 menit jika menggunakan subway line 3 arah Suseo. Ada 8 stasiun pemberhentian jika naik dari stasiun Anguk ke Apgujeong. Seperti di Singapura, tiket subway pun dikenakan deposito yang bisa ditukar setelah tiba di tujuan. Deposito tiket Metro Seoul ini 500 won (Sekitar 5 ribu rupiah). Mui-Mui café, restoran yang terletak di 653-4, Sinsa-dong, Gangnam District, selatan Seoul ini menjadi pilihan saya dan teman untuk mengisi perut. Menu di café ini sebenarnya cocok buat tamu yang ingin hang out lama. Karena kebanyakan pilihan makanan dan minumannya ringan. Sementara, perut saya sudah tidak bisa diajak kompromi. Tipikal orang Indonesia, saya perlu nasi karena hari itu sama sekali belum diisi nasi. Pilihan menunya pun tidak seperti tipikal rumah makan Korea yang memberikan makanan pembuka super banyak layaknya rumah makan Padang. Menu makanannya cukup bervariasi, mulai dari Italian food sampai oriental food. Saya pun memilih Bulgogi rice dan teh ginseng. Suasana restaurant yang bernuansa minimalis ditambah musik chillout dari José Padilla dan Groove Armada membuat makan malam yang menyenangkan. Jika dilihat dari pengunjung yang datang, café yang baru dibuka sekitar Maret tahun ini seperti dijadikan tempat nongkrong para yuppies setelah jam pulang kantor. Harga di restoran yang sepintas mengingatkan Dragonfly Jakarta ini juga cukup terjangkau. Untuk dua pesanan itu, saya harus membayar duapuluh enam ribu won (Sekitar dua ratus enampuluh ribu rupiah). Kenyang makan malam, kita langsung menyusuri sepanjang Apgujeoung Rodeo Street. Mal yang pertama saya kunjungi adalah Galleria Department Store. Di tempat ini, saya menemukan tempat kosmetik unik dimana saya bisa membeli kosmetik dengan adukan warna sesuka saya. Saya juga bebas mencoba dulu sebelumnya. Jarang-jarang soalnya nih bisa menemukan tempat seperti ini di Indonesia. Berhubung Oktober adalah bulan peralihan antara musim panas ke musim gugur, pakaian musim panas pun terlihat banyak di-sale di sepanjang Rodeo Street. Saya langsung kalap melihat sepatu-sepatu kantor dengan berbagai variasi hak dan model dijejer di pinggir jalan hanya dengan harga sepuluh ribu won (Sekitar seratus ribu rupiah). Wah, rasanya ingin sekali diborong. Secara saya cuma bawa satu koper, mau taruh dimana? JIMJILBANG YANG MELEGAKAN Setelah puas saya melihat-lihat serunya toko-toko yang ada di Apgujeong, saya memutuskan kembali ke hotel. Badan dan kaki sudah mulai tidak bisa diajak kompromi karena kelelahan. Teman saya lalu menyarankan saya untuk merasakan Jimjilbang, rumah mandi dan spa ala Korea. Berendam di air panas dan merasakan pijat tentunya bisa menghilangkan kepenatan. Dari Apgujeong, lengkap dengan tentengan belanjaan, saya diantar ke stasiun Express Bus Terminal, dimana Central Spa, jimjilbang rekomendasi terletak. Jimjilbang adalah tempat sauna keluarga khas Korea. Jimjilbang biasanya buka 24 jam. Tempat ini juga sering dijadikan tempat menginap murah jika warga Korea terlalu malam atau terlalu lelah untuk pulang ke rumah. Di Jimjilbang memang disediakan tempat tidur atau ruangan besar dimana kita bisa rebahan di situ untuk istirahat. “Kamu harus mencoba Central Spa yang ada di lantai atas stasiun Express Bus Terminal. Harganya juga murah, hanya lima ribu won, kalau kamu hanya merasakan air panas dan saunanya. Tempatnya bersih dan desainnya masih tradisional jimjilbang seperti yang sering kamu lihat di drama-drama korea itu,” godanya. Begitu memasuki Central Spa, wangi rempah langsung tercium. Ada meja tamu yang mengharuskan kita membayar terlebih dahulu. Berhubung saya masuknya sudah melewati jam tujuh malam, harga masuk jimjilbang ini lebih mahal, sepuluh ribu won (Sekitar Seratus ribu rupiah). Begitu masuk, saya diberi dua handuk, kaos plus celana pendek, dan kunci loker. Awalnya, saya pikir kunci loker ini untuk menyimpan tas dan baju saya. Tapi, begitu melihat lokernya, lho, koq kecil sekali. Oh, ternyata loker yang ini untuk menyimpan sepatu dan saya diharuskan menggunakan sandal yang tersedia di dalam loker. Sauna untuk wanita dan laki-laki dibuat terpisah. Saya langsung belok kiri menuju tempat sauna Wanita. Rupanya kunci loker ini juga untuk loker pakaian juga. Dan loker kali ini besar, muat untuk menyimpan kantong belanjaan saya dan menggantung baju saya. Wah, mulai terlihat kampungnya nih! Soalnya, sebelumnya saya sempat keder dengan cara membuka loker. Ternyata kuncinya menggunakan sistem sensor. Saya cukup mengempelkan kunci, loker langsung terbuka. Jadi, tidak perlu diputar. Sauna Korea memang berbeda banget dengan sauna di Jakarta yang biasanya terbuat dari ruangan kayu dan panasnya dari batu arang. Kalau di sini, ada banyak ruangan sauna dengan berbagai pilihan cara pemanasan dan variasi suhu. Ada sauna basah (air panas yang modelnya seperti air terjun – yang ini ruangan sangat berkabut), sauna garam, sauna kayu bakar, dan sauna herbal. Suhu panasnya juga ada yang mulai dari sembilan belas derajat Celsius (Yang ini asli seperti disiram air dari kulkas!) sampai yang seratus derajat celcius! Semua jelas saya coba tapi dengan sukses saya tidak pernah kuat berdiam lebih dari lima menit di tiap ruangan. Panas! Dada saya sempat sesak ketika pertama kali memasuki ruang sauna bersuhu tujuh puluh satu derajat celcius. Setiap mau masuk ruangan, memang ada baiknya sih cek suhu ruangan biar tidak terkaget-kaget. Namun, suhu panas setinggi itu lah yang membantu melancarkan metabolisme darah sekaligus membantu menghilangkan kepenatan terutama ketegangan di bagian leher, kepala, kaki dan punggung. Dan, memang badan dan pikiran setelah ber-jimjilbang, enak banget! Selesai mencoba berbagai ruangan sauna, saya langsung menuju kolam air panas. Kolam ini juga ada berbagai macam. Ada yang berombak sehingga pas berendam, badan terasa seperti dipijat. Ada juga kolam biasa. Suhu kolam ini rata-rata 40 derajat celcius. Asli, berendam di kolam ini rasanya so soothing and a complete relief! Tidak terasa hampir dua puluh menit saya berendam dan nyaris tertidur. Untung, salah seorang ahjuma (ibu-ibu) membangunkan saya. Walau saya sama sekali tidak mengerti apa yang ia katakan, saya bisa mengerti maksudnya. Rupanya, berendam di dalam air panas itu tidak boleh lebih dari lima belas menit. Saya harus menyiramkan badan saya lagi dengan air dingin baru boleh berendam lagi. Tapi dua puluh menit itu sudah sangat cukup buat saya. Rasa kantuk sudah mulai susah dilawan. Begitu masuk ke tempat mandinya, saya sempat kaget dan berasa malu hati sendiri karena semua cuek seliweran tanpa menggunakan penutup baju sedikit pun. Tapi, keseganan itu harus segera saya tempis. Karena kalau saya pakai baju, justru saya yang akan terlihat aneh. CHEONGGYECHEON STREAM MENGHANYUTKAN Keesokan harinya, saya berencana untuk menyusuri aliran sungai Cheonggyecheon. Di sepanjang aliran sungai ini, ada berbagai atraksi menarik seperti The Wall of Culture dan Cheonggye Plaza. Di Cheonggye Plaza, yang merupakan ujung dari aliran sungai ini, kita bisa menikmati keindahan air mancur lengkap dengan musik. Sedangkan The Wall of Culture, sambil menyusuri aliran sungai, saya bisa menikmati pameran lukisan dan foto artis-artis lokal. Aliran sungai Cheonggyecheon ini juga sering dijadikan lokasi syuting drama Korea. Sepintas saya sempat melihat satu sudut di Cheonggyecheon yang digunakan sebagai lokasi syuting drama Korea, Iris, yang kini sedang diputar di stasiun KBS melalui televisi kabel. Bunga warna warni peninggalan musim panas pun terlihat di sepanjang aliran sungai Cheonggyecheon ini. Dengan angin sejuk dan udara bersih, menikmati pemandangan warna warni bunga ditemani suara gemercik aliran sungai, jelas satu kemewahan bagi saya karena hal seperti ini tidak mungkin saya nikmati di Jakarta. Saya melihat banyak pasangan yang asyik menikmati waktu berduaan di pinggir sungai yang rapih dan bersih ini. Ada juga anak-anak sekolah dan karyawan kantor – mungkin dari gedung-gedung di sepanjang aliran sungai ini – yang menikmatinya santap makan siang di situ. DONGDAEMUN MENGGIURKAN Sebenarnya, masih banyak tempat yang saya ingin kunjungi. World Cup di daerah Nanji, Yeouido, sungai Han, pasar malam Dongdaemun atau yang biasa disebut Doota. Saya dapat kabar dari teman saya kalau nanti malam akan ada pertandingan pertandingan persahabatan antara Korea Selatan dengan Senegal di World Cup Stadium. Kan, lumayan juga kalau misalnya bisa mengintip permainan tim sepak bola yang dianggap paling kuat di Asia ini. Niat itu segera saya urungkan karena lokasi stadium yang sangat jauh dari hotel. World Cup cuma bisa saya lewati saja. Begitu juga taman-taman di pinggir sungai Han dan gedung MPR mereka, National Assembly, di daerah Yeouido. Saya memutuskan untuk berkeliling Dongdaemun, daerah perbelanjaan yang buka hingga jam lima pagi. Keluar dari stasiun subway, saya sempat pangling berat. Bukan apa-apa, dua stadion yang ada di situ kini sudah tidak ada. Padahal di stadion Dongdaemun lama ini, saya berniat hunting sepatu dan boots plus jaket kulit. Beberapa tahun yang lalu, saya sempat berbelanja di situ dan senang sekali melihat betapa banyaknya pilihan boots dan dan rok kulit. Usut punya usut, ternyata lokasi dua stadium itu akan dijadikan Dongdaemun Plaza & Park yang rencananya sudah bisa dinikmati tahun depan. Wah, harus kemana ya kalau begitu mencari boots dan pakaian dari bahan kulit. Saya pun menyusuri mal yang berjejer di situ. Mulai dari Hello apM, Migliore, Cerestar dan yang terakhir, mal terpopuler di situ Doosan Tower atau biasa dipanggil Doota. Ternyata, semua toko sepatu, boots dan pakaian kulit kini sudah berpindah dan hijrah ke dalam mal-mal itu. Wah! Alhasil, pertahanan saya untuk tidak berbelanja pun runtuh. Sepatu boots dan rok kulit dengan sukses saya borong. Kalau sudah begini, saya pun tidak mau pulang ke Jakarta. Ah, Seoul! Kamu sungguh menggiurkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H