Pagi cerah disambut kicauan burung gereja tak menyurutkan kehadiran mentari. Mentari yang akan membersamai segala aktivitas hingga senja nanti. Wija, perempuan freshgraduate dan umur masih cukup muda baru saja berpindah kantor ke kota besar. Kultinya putih bersih dan parasnya elok jelita berbalut hijab kemanapun pergi. Dia mendapatkan jabatan Manager Keuangan karena kegigihan dan kejujurannya dalam bekerja. Dini hari pukul 02.00, Wija sampai di Apartemen yang telah ia beli beberapa bulan lalu sebelum ia pindah. Dia mencari Apartemen yang tidak jauh dari kantornya agar bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik sepeda kayuh. Dia tidak akan menggunakan mobil jika tidak ada kepentingan yang sangat darurat.
Apartemennya masih belum dilengkapi dengan barang-barang selayaknya dia di rumah. Beberapa susunan kardus cokelat tampak masih belum dibuka. Kardus yang telah diberi nama berisikan barang-barang dari rumah. Wija mengangkut dan mengerjakan semua sendiri. Dia mempunyai waktu dua hari sebelum mulai aktif bekerja di kantor barunya. Seharian ini, dia akan menyelesaikan dengan menata barang sehingga jika ada temannya ingin berkunjung tidak lagi melihat kardus barang masih berserakan.
Wija memulai yang akan digunakan sebagai ruang tamu dan menonton televisi. Dia menata sofa panjang abu-abu beserta empat bantal kotak dan televisi yang ia letakkan di atas meja minimalis panjang. Tak lupa ia memberikan tanaman dan hiasan untuk mempercantik ruangan. Meja dan kursi untuk dia mengerjakan laporan kantor berada di sisi samping televisi. Selanjutnya, Wija menata dapur yang bersebelahan dengan pintu utama untuk masuk dan keluar. Dia memakai peralatan yang tidak akan membahayakan dirinya selama ada di Apartemen seperti kompor listrik, kulkas dan mesin cuci. Apartemennya hanya berukuran 25 meter persegi dengan satu kamar tidur, dia tidak akan mengisi dengan barang yang banyak.
Ruang tamu dan dapur sudah selesai dengan waktu yang tidak cepat. Walaupun sendiri dan baru sampai dari perjalanan, Wija berkeyakinan bisa menyelesaikan dengan baik. Rasa capai akan terasa hilang jika Apartemennya bersih, rapi dan wangi. Terakhir, dia akan menata kamar tidurnya. Dia mengangkat kardus yang berisi barang-barang khusus di kamar tidur. Wija membuka kardus dengan gunting dan menariknya secara perlahan. Satu persatu barang, ia keluarkan dari kardus. Saat mengeluarkan sebuah buku, ada yang jatuh dari sisi tengah buku tersebut. Sebuah foto perpisahan ketika Wija pindah sekolah ke kota lain mengikuti pekerjaan orang tuanya. Dia mengambil dan melihat kembali foto semasa ia sekolah dulu. Dia teringat akan Nawa, anak lelaki yang sangat pendiam namun ketika tersenyum sangat manis sekali. Wija kembali mengingat masa sekolah dasarnya. Ada peristiwa yang tidak ia lupakan sampai hari ini.
Wija berumur delapan tahun dan duduk di kelas dua sekolah dasar, tepat hari Selasa tanggal 17 Januari dia berulang tahun. Dia meminta kepada Ibu beserta Kakak dan Adiknya untuk merayakan ulang tahun di sekolah. Ibu memberikan kabar kepada Ibu Tami, salah satu Guru Bidang Studi untuk menunggu kedatangannya memberikan bingkisan ulang tahun. Saat pelajaran Bidang Studi mengumukan bahwa Wija berulang tahun. Beliau meminta Wija untuk maju ke depan kelas dan mempersilahkan teman-teman menyanyikan "Selamat Ulang Tahun" dan maju bersalaman dengan memberikan ucapan doa bergiliran. Temannya berbaris sesuai dengan deretannya. Giliran Nawa mengucapkan "Selamat Ulang Tahun, Wija", wajahnya merah merona dan tersenyum. Dia hanya membalas "Terima kasih, Nawa" dengan lirih. Setelah selesai, pelajaran pun tetap dimulai sampai sepulang sekolah.
Ibu, Kakak dan Adiknya terlambat datang karena masih dalam perjalanan menuju sekolah. Tak selang beberapa lama, mereka datang dan langsung memberikan bingkisan kepada teman-temannya. Semuanya tampak bergembira dengan pemberian dari Wija. Ibu Wija melihat semua temannya dengan menunjuk dan menyebutkan namanya.
"Mana yang namanya Nawa, Bu?", tanyanya kepada Ibu Tami.
"Itu Nawa Bu, duduk dekat jendela", jawab Ibu Tami sambil menunjuk kepada Nawa.
"Wija pernah cerita tentang Nawa. Wajahnya selalu tersipu", cerita ibunya dengan berbisik.
Ibu Tami kaget mendengar cerita tersebut. Beliau tidak menyangka bahwa anak seusia Wija saat itu sudah mempunyai perasaan pada temannya. Ibu Tami pernah menanyakan kepada Wija cerita tentang Nawa kepada Ibunya. Dia kaget saat Ibu Tami menanyakan dan menjawab lupa cerita tentang Nawa. Wija saat ini tidak tahu kabar dan keberadaan Nawa. Apakah Nawa masih ingat tentang dirinya dan perasaannya dulu yang belum terungkap? Kini hanya foto yang bisa ia punya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H