Subhanallah, Rajabiyah atau peringatan isr' Mi'raj tahun 1446 hijriyah ini sepertinya benar-benar telah menjadi bagian dari kebiasaan baik umat Islam. Terbukti dari kota hingga ke pelosok desa, dari perorangan, institusi swasta hingga organisasi pemerintahan, semua seakan berlomba mensyiarkan kehebatan Isra' Mi'raj, meninggikan mukjizat Nabi, dan menyebarkan luaskan luar biasanya kekuasaan Illahi.
Selasa Kliwon malam Rabu Legi sesungguhnya merupakan jadwal rutin Kajian Kitab Al-Khusyu' fi-Shalat bersama Ustadz Zubaitul Ulum (Pembina YSCT), namun tadi malam (28 Januari 2025 M / 28 Rajab 1446 H) disetting menjadi istimewa karena diniatkan bersama memperingati peristiwa yang luar biasa. Situasinya juga menjadi gak seperti biasa, jamaah Masjid Sabilul Muttaqin Desa Sendang Kecamatan Sendang Tulungagung tumpak ruwah hingga di serambi terpenuhi.
Majelis ini dimulai selepas shalat Maghrib berjamaah, setelah diberikan prolog oleh Ketua Takmir Masjid giliran Ustadz Ulum memaparkan inti materinya. Merujuk QS. Al-Isra' ayat 1, Ustadz Ulum membuka kajian dengan pertanyaan, "Hakikatnya, seseorang datang ke masjid untuk shalat berjamaah itu berangkat sendiri atau diberangkatkan?" Bahwa sesungguhnya seorang hamba yang dipilih-Nya dan diperjalankan Allah sehingga bisa datang untuk shalat berjamaah di masjid atau musholla. Karena ada banyak orang mendengar suara adzan, realitanya tak semua mampu mendatanginya, tidak semua dipilih Allah dan diperjalankan-Nya.
Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho, dari masjid ke masjid lainnya, dari tempat baik ke tempat baik lainnya, dari amal baik ke amal baik berikutnya, dari shalat ke shalat berikutnya, dari majelis ke majelis, dari keadaan suci bertahan ke kondisi suci (artinya menjaga kesucian), tak peduli jarak dan waktu. Dimana sepanjang perjalanan tersebut disekelilingnya dipenuhi keberkahan. Siapa yang mampu melakukan amal yang demikian, hanyalah hamba pilihan yang diperjalankan, takkan mampu seorang hamba jika bukan karena 'gandengan tangan yang Maha Kuat'.Â
Perlakuan seorang terhadap mukjizat hebat berupa shalat dianalogkan oleh Ustadz sebagaimana leluhur kita yang begitu menghormati sebilah pusaka (keris dan sebagainya) karena persepsi mereka 'pusaka sebagai benda bertuah, memiliki kesaktian' dan berbagai penilaian lebih tentang pusaka. Cara memperlakukan kita terhadap shalat itu tergantung cara pandang kita, atau dengan kaliamat lain 'persepsi menetukan aksi'. Apakah kita memandang shalat sebagai 'pusaka'warisan Nabi yang istimewa? Apakah shalat dalam persepsi kita bertuah, sakti, dan mustajabah? Ataukah kita menganggap shalat sebagai amal ibadah yang biasa saja? Â
Maka hamba yang mampu memperlakukan shalat secara istimewa, sebagaimana Allah menurunkan perintah secara luar biasa, maka mereka adalah hamba terpilih yang diperjalankan, dan senantiasa mendapatkan karunia kehidupan yang penuh berkah. Merekalah hamba yang diberi cahaya keimanan, hamba yang diberi kemuliaan, derajat tinggi, dan keistimewaan dihadapan sesama dan Sang Pencipta.Â
Wallahua'lam bis-shawaab...
*) Anggota SPK Tulungagung, Paksi Jatimpak, Ketua YSCT.Â