Mumpung lagi ramai kasus susur SMP 1 Turi saya jadi teringat ketika masih kelas 2 SMP dulu (mungkin tahun 90-an). Waktu itu PRAMUKA adalah ekskul wajib semua siswa. Tiap Sabtu sore kami diharuskan berkumpul di sekolah untuk melakukan berbagai kegiatan PRAMUKA mulai dari tali temali, baris berbaris, dll.Â
Satu kejadian yang masih membekas di benak saya di suatu sore ketika itu kami diharuskan melakukan penjelajahan singkat. Kami pun berjalan melewati jalan-jalan pedesaan sampai akhirnya pada jarak kira-kira 300 m dari finish tiba-tiba kami dicegat oleh salah satu kakak pembina namanya H.Â
Kami diharuskan berjalan sembari menggantung di sebuah tali yang melintang di atas sungai sepanjang kira-kira 6 m. kawan-kawan termasuk saya langsung kecut. Sebagian besar berhasil kabur tetapi saya dan beberapa teman tidak. Terpaksa mau tak mau kami harus membuang rasa takut itu. Satu orang pertama saya lihat lolos tetapi kemudian ada yang jatuh ke sungai.Â
Untungnya sungainya tidak terlalu dalam meskipun airnya keruh. Sampai tiba giliran saya akhirnya terpaksa menguatkan diri. Pikir saya mereka aja ada yang bisa mengapa saya tidak? Ternyata berjalan sambil menggantung begitu sangat sulit dimana saya memang belum pernah melakukan sebelumnya dan hasilnya saat hampir tiba di finish saya sudah tak kuat.Â
Untung ada salah seorang yang kemudian menarik tangan saya hingga tidak jatuh ke sungai. Sepatu saya basah tapi itu tak masalah asal tidak tercebur ke sungai bisa basah semua dan masuk angin. Coba kalau sebelumnya kami dilatih dulu dengan menggantung bukan di atas sungai langsung seperti di lapangan sehingga bisa lebih siap.Â
Sebenarnya apa yang terjadi di SMP 1 Turi adalah manifestasi dari budaya kita yang selalu menganggap safety adalah urusan paling belakang. Kalau sudah terjadi kecelakaan biasanya cuma saling tuding, cuci tangan, atau menganggapnya sebagai bencana sebagai kehendak Yang Kuasa. Pihak-pihak yang bersangkutan pun biasanya cuma minta maaf dan kasus pun udah selesai secara otomatis.Â
Begitu terus pola ini berulang sampai sekarang. Tak perlu jauh-jauh untuk melihat minimnya budaya safety kita, kalau saya cukup memandang keluar di jalan depan rumah. Dalam tempo beberapa detik saya akan bisa melihat dengan sangat mudah orang-orang berkendara motor tanpa helm, tidak ada kaca spion, atau lampu tidak menyala di malam hari.Â
Pakai sabuk pengaman pun saat naik mobil juga cuma di tengah-tengah kota yang sering ada razia tetapi begitu keluar kota dikit dah dilepaskan itu sabuk. Sabuk pengaman dan helm masih dianggap sebagai aksesoris "pemanis" kendaraan saja. Begitu pula pagi hari antara pukul 6-7 jalan raya di sini selalu hiruk pikuk oleh anak-anak sekolah yang sedang berangkat sekolah dengan naik motor dan saya cuma melihat satu dua orang saja yang mau memakai helm.Â
Saya hanya mikir apakah sekolah mereka tidak mengajarkan safety di jalan raya? Kalau menilik semasa saya masih sekolah dulu memang sama sekali tidak diajarkan tetapi apakah sekarang masih belum ada perubahan juga? Kalau memang demikian berarti tidak ada kemajuan pendidikan kita sama sekali.Â
Padahal sebenarnya sekolah mampu meng-enforce siswanya agar tertib di jalan misalnya melarang siswa yang tidak pakai helm memasuki sekolah atau tidak memiliki SIM. Mungkin kalau di kota anak-anak sekolah bisa naik angkot tetapi bagaimana dengan di desa seperti saya yang tidak ada angkutan umum? Otomatis mereka akan naik motor sendiri menuju sekolah.Â
Orang tua pun banyak yang menganggap anaknya sudah cukup besar sehingga mampu menyetir sendiri di jalan padahal walaupun sudah besar bukan berarti mereka itu sudah memahami aturan tertib berlalu lintas. Bahkan yang sudah memahami juga belum tentu mau mentaatinya.