Sudah lama sekali pengen mendaki Ijen tetapi belum mendapat kesempatan sama sekali. Sebenarnya Ijen tak jauh dari rumah. Dari Google maps hanya berjarak sekitar 100 km. Masalahnya adalah tidak ada teman buat mendaki kesana karena saya selalu lebih menyukai pergi beramai-ramai saat bepergian.Â
Sampai suatu ketika saya mengusulkan untuk mengadakan camp di Ijen beberapa bulan lalu di grup WA kawan-kawan Remas (Relawan Masjid). Tak disangka gayung pun bersambut.Â
Masalah ternyata belum usai karena menentukan waktu pendakian sangat sulit akibat masing-masing anggota memiliki kegiatan-kegiatan yang berbeda-beda sampai akhirnya kami sepakat pada tanggal 11 Oktober berangkat ke sana.
Jadilah pukul 20.30 malam kami berangkat menggunakan mobil. Sebenarnya jujur badan saya kurang fit karena beberapa hari sebelumnya diserang batuk parah hingga susah tidur. Hampir sepekan kurang tidur. Syukurlah saat berangkat batuk sudah tidak begitu mengganggu cuma keadaan tubuh yang tidak 100% membuat saya was-was.Â
Benar ketika mulai masuk Bondowoso jalan sempit berkelok-kelok naik terus. Hawa yang semula panas perlahan terus menerus menjadi semakin dingin ditambah sang sopir yang naik ugal-ugalan membuat perut serasa diaduk-aduk. Hasilnya hingga tiba di base camp Paltuding saya muntah dua kali padahal teman-teman lainnya seisi mobil sama sekali tak ada yang muntah.Â
Sungguh memalukan. Untungnya saya membawa kresek sehingga bisa saya gunakan untuk menampung isi perut yang keluar lewat mulut itu. Di tengah jalan mobil sempat mogok sekali. Sopir pengganti juga mengeluhkan rem kurang pakem yang membuat saya makin takut. Jalan sangat sepi dan gelap. Hanya sesekali kami berpapasan dengan mobil dari arah berlawanan.
Akhirnya pukul 00 kami tiba di Paltuding langsung disergap hawa dingin menusuk tulang. Suasana lumayan ramai karena banyak juga mobil-mobil lain berdatangan. Sebagian kami keluar untuk buang air dan sebagian lagi tetap tinggal di mobil, termasuk saya, karena tidak tahan dengan hawa dingin di luar.Â
Akan tetapi meskipun tinggal di dalam mobil rasa dingin seperti tidak mau pergi. Saya pun memakai sarung tangan dan penutup kepala yang ada di jaket. Anehnya lagi-lagi hawa dingin itu masih juga awet dan seperti tembus sampai ke tulang.Â
Saya pun menyerah dan memilih keluar mobil bergabung dengan teman-teman yang sedang membuat mie rebus dan kopi walaupun malas mau ikut  memakannya.  Di luar banyak penjaja yang menawarkan headlamp dan masker gas.
Akhirnya loket dibuka sekitar pukul 1 dan kami baru membeli tiket sekitar pukul 1.30. harga tiket lumayan murah cuma Rp 10 ribu. Berhubung ini adalah pendakian perdana maka saya pun bersiap secara berlebihan. Saya bawa semua barang dalam backpack mulai dari baju ganti, makanan yang kira-kira cukup buat sehari, sarung, mantel, tiker, air minum yang mungkin bisa habis buat 2 hari, dll.Â
Akibatnya tas jadi terasa berat padahal tas itu bukan tas carrier yang khusus buat mendaki jadi terasa tidak nyaman sekali saat digunakan. Hasilnya langkah kaki saya melambat. Saya heran dengan orang-orang yang mendaki tanpa membawa apapun selain headlamp dan masker gas. Selama 1 kilometer pertama jalan paving relatif datar dan lebar jadi kami bertujuh relatif bisa bergerak cepat.Â