Tulisan ini terinspirasi dari berita meninggalnya Thorieq (15 tahun) di gunung Piramid di kabupaten Bondowoso beberapa hari ini. Kebetulan kabupaten ini tidak jauh dari kabupaten saya sendiri, Jember.
Sebenarnya saya sendiri tidak pernah hiking cuma memang di sekitar rumah banyak hutan-hutan lebat yang berada di atas gunung atau lebih tepatnya bukit karena ketinggiannya yang tidak sampai 200 m. Bukit-bukit itu memanjang di sisi selatan, timur, dan utara. Makanya sinyal dari stasiun pemancar TV di kota susah sekali ditangkap di sini sehingga masih banyak warga yang menggunakan antena parabola (walau sekarang sebagian sudah tergantikan oleh streaming).
Berangkat dari hobi joging setiap pagi maka untuk mencegah kebosanan, saya selalu mengganti rute setiap sesi. Setiap minimal 3 bulan sekali saya selalu berusaha agar bisa joging di perbukitan itu karena medannya yang naik turun bagus untuk latihan kardio. Udaranya juga masih sangat segar. Joging di tengah kota melulu tidak bagus karena udaranya sudah tidak segar walaupun masih pagi. Pukul 5 pagi kini jalan sudah mulai padat oleh kendaraan.
Volume kendaraan bermotor yang terus meningkat di atas jalan raya di tengah kota membuat kualitas udara semakin tahun semakin merosot. Masalahnya adalah meskipun joging atau lebih tepatnya trail running di hutan membutuhkan waktu hanya sekitar 30-40 menit saja tetapi tetap butuh perencanaan matang. Yang jelas saya tidak bisa melakukan trail running saat sudah masuk musim penghujan.
Alasannya sudah pasti jalan yang saya lalui akan becek berlumpur, banyak jalan terputus oleh aliran air, dan tanaman jati sangat lebat. Saat pukul 7:00 pagi pun hutan masih terlihat remang-remang. Mana di jalan kadang banyak akar-akar besar yang menyembul akibat terkikis air hujan yang kalau tidak hati-hati kaki bisa tersandung.
Nah kejadian inilah yang sempat saya alami beberapa bulan lalu. Saya kira waktu itu (Maret 2019) sudah masuk kemarau jadi saya pikir hutan sudah mulai gundul (hutan jati) jadi saya langsung berencana untuk lari di dalamnya. Sebelumnya sih sudah pernah melewati trayek itu saat kemarau tahun sebelumnya jadi semakin menambah rasa percaya diri saya.
Ternyata begitu mulai masuk ke dalam hutan terasa hutan masih lebat. Waktu itu mungkin hampir pukul 6 jadi suasana masih lumayan remang-remang. Dah kepalang tanggung mau balik lagi juga malah lebih jauh. Akhirnya benar baru beberapa menit berjalan saya kebingungan menentukan arah atau bolehlah dibilang tersesat "kecil" karena jalan setapak banyak terputus oleh bekas aliran air. Ampun deh tepaksa saya berhenti dan melihat GPS.
Sayangnya kalau berlari kan tidak mungkin melihat GPS terus menerus beda kalau sambil jalan kaki mungkin masih bisa. Ya sudahlah akhirnya saya cuma mengandalkan insting saya. Saya berusaha untuk menyusuri tepi hutan. Jika terasa saya sudah mulai agak masuk ke dalam bagian hutan yang lebih lebat maka saya akan mencari sisi terluar hutan.
Hasilnya saya jadi harus sebentar-sebentar berhenti dan berputar-putar. Rasa-rasanya waktu tempuh jadi semakin lama dari biasanya. Syukurlah akhirnya bisa juga keluar hutan.
Tanpa kompas akan sangat susah menentukan arah mata angin. Memang ada patokan matahari tetapi kadang itu juga sulit kalau mendung apalagi jika ada kabut tebal terutama saat kemarau. Kadang juga seiring waktu jalan yang pernah dilalui dulu menghilang entah karena longsor, tergerus aliran air hujan, ditumbuhi tanaman atau semak dengan cepat karena sudah tidak ada/jarang yang melewati.