Hari ini diundang untuk berdialog dengan tamu KJRI Hong Kong, di Ramayana Hall, lantai 1, Indonesia Building, Causeway Bay. Satu rombongan sebanyak 49 orang yang menamakan diri Forum Pemuda Betawi. Rachmat H.S., ketua rombongannya memperkenalkan, FPB adalah organisasi non pemerintah berbasis etnis. Bergabung di dalamnya personal-personal dari berbagai profesi dan disiplin ilmu. Ada yang anggota DPRD, pegawai pemerintah daerah, , calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan, praktisi hukum, "artis" sonetron, dan tokoh masyarakat.
Menurut pengakuan Rachmat di hadapan puluhan anggota beberapa organisasi nakerwan Indonesia di Hong Kong, kunjungan ke Hong Kong ini adalah dalam rangka agenda/program tahunan FPB, yaitu melawat ke luar negeri setahun sekali, untuk misi semacam studi banding. Cita-cita mereka, menjadikan Jakarta kota hebat seperti kota-kota besar dunia yang dikunjunginya. Ini adalah lawatan ke-7, sebelumnya ke Singapura, Malaysia, dll. Lama kunjungan di HK menurut pengakuan Rachmat lagi, dijadwalkan 4 hari, termasuk ke Macao.
Salah satu pesan khusus Rachmat yang disampaikan dalam dialog atau diskusi yang dipandu oleh salah satu anggota rombongan FPB, Abdul Aziz Khafia (anggota Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta), Rachmat menyarankan, agar teman-teman nakerwan Hong Kong fokus bekerja sebaik-baiknya, tidak usah berpikir macam-macam. Urusan/masalah di tanah air sudah ada yang mengurus. (Kata lain, kira-kira begini, biarlah urusan di tanah air diurus orang-orang, pejabat-pejabat yang diserahi wewenang, teman-teman nakerwan Hong Kong tidak usah ikut pusing memikirkan urusan para pejabat dalam negeri, urus saja pekerjaan sebagai PRT di Hong Kong ini dengan sebaik-baiknya-penulis).
Menanggapi apa yang disampaikan Rachmat ini, penulis, nakerwan asal Madiun yang mewakili sekitar 145.000 nakerwan PRT di Hong Kong, menyarankan agar bila ada keinginan riset atau dialog dengan WNI di Hong Kong, tidak usah datang secara langsung. Manfaatkan tehnologi informatika yang yang saat ini sudah umum dikuasai masyarakat Jakarta dan Hong Kong, seperti tele confference. Selain hemat biaya, akan lebih efektif dan efisien. Bisa dilakukan secara regular sesering mungkin, tanpa perlu menghabiskan anggaran besar.
Kalau datang langsung ke Hong Kong dalam 4 hari, selain biayanya mahal, lagian apalah yang bisa didapat untuk kepentingan riset atau studi banding seperti yang diungkapkan mereka. Penulis dan teman-teman WNI yang tinggal di Hong Kong ini menyerap apa yang positif dari Hong Kong tidak sekaligus, melainkan sedikit demi sedikit, tapi sampai pada bagian dalam, yaitu cara berpikir dan perilaku orang-orang Hong Kong. Gedung-gedung, system transportasi, komunikasi, dll. apa yang mereka lihat dalam 4 hari di Hong Kong dan Macao ini adalah result dari problem solving, hasil dari mindset solutif, dan kerja keras bertahun-tahun. Bila digambarkan, seperti melihat gunung di tengah laut. Apa yang dilihat adalah puncaknya saja. Jadi kalau mau riset secara efektif, menurut penulis, riset utamanya adalah; Â baca cara berpikir dan perilaku masyarakatnya. Bisa dengan baca buku, browsing, tinggal dalam waktu agak lama, atau wawancarai orang-orang yang berkompeten di bidangnya.
Sedang saran agar nakerwan fokus saja pada pekerjaannya, tentu saja, ini tidak bisa kami ikuti. Karena tidak selaras dengan idealisme dan manifestasi nakerwan Hong Kong dalam mencintai Bangsa Indonesia. Meskipun jauh dari Tanah Air, meskipun jam kerja sebagai PRT jauh lebih panjang dari pekerja sektor lain, nakerwan Hong Kong punya niat dan telah membuktikan bisa berbuat sesuatu yang nyata untuk bangsanya. Masalah di Indonesia adalah masalah kita semua, walau jauh merantau ke ujung dunia. Setiap hari Minggu dan waktu luang, tak terhitung kegiatan positif di berbagai bidang. Ada yang berbasis social, religi, advokasi hukum, kewirausahaan, pendidikan, pengembangan dan motivasi, kesehatan, seni dan budaya, literasi, bisnis, dan banyak lagi. Di Hong Kong ada lebih dari 150 organisasi/ grup/komunitas nakerwan. Di hari kerja profesi mereka adalah pekerja rumah tangga. Tapi di luar itu, mereka adalah anak-anak bangsa yang sama-sama memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara yang sama derajatnya dengan presiden sekalipun.
Sebelum bubar, kami sempat berfoto bareng. Sebelum meninggalkan ruang, penulis tawarkan agar sebagian rombongan ikut penulis mengintip forum diskusi aliansi organisasi TKI yang digelar di Central, dekat Pusat kantor Pemerintahan (CGO). Tapi dengan alasan rombongan akan melihat dari dekat aktifitas di Victoria Park dan dilanjutkan dengan acara shopping yang sudah dijadwalkan, mereka menolak halus.
Jam 11 pagi mulainya kunjungan mereka ke KJRI, bubar dialog hampir jam 2 siang. Hingga usai lawatan di Victoria Park sekitar jam 3 sore.
Begitu meninggalkan pertemuan itu, spontan saja terbayang, berapa ratus juta anggaran untuk "riset" ini. Dan kira-kira siapa yang menanggung biayanya. Ah, tentu dari kocek pribadi atau minimal ada sponsornya. Kan mereka organisasi NGO ? Semoga saja dalam waktu dekat sudah ada kabar tentang blue print-nya.
Causeway Bay, 16 Oktober 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H