Transparansi atau kejelasan Job Order sebelum mendatangani kontrak kerja, berpengaruh besar terhadap kenyamanan dan keberhasilan hubungan kerja. Bila calon majikan berterus terang tentang kondisi pekerjaan dan kondisi majikan secara personal kepada calon pekerja, maka calon pekerjanya sendiri -dibantu agen- akan lebih mempersiapkan diri, berusaha membekali diri dengan ketrampilan dan mental selaras dengan tuntutan kerjanya. Misal, calon majikan yang perlu pekerja untuk mengurus orang lanjut usia, maka pekerja yang dibutuhkan adalah dengan kriteria orang yang sabar, memahami kepribadian unik para lansia, tenaganya kuat untuk mendorong kursi roda, dsb.
Lain lagi dengan sepasang majikan yang harus seharian keluar rumah untuk bekerja dan punya anak usia sekolah. Mereka butuh orang yang lincah, bisa mengatur rumah tangga, dan mampu mengasuh anak. Anak autis, hiperaktif, dengan anak biasa saja, sudah beda tingkat kesulitannya.
Kali ini, Apa Kabar menemukan dua kasus unik dan serupa, semoga menjadi perhatian khusus bagi pembaca, baik yang berprofesi sebagai pekerja, staf agen, maupun lembaga/perusahaan terkait.
Rima dan Mimi, bukan nama sebenarnya, tinggal di shelter Al Istiqomah, Jordan. Keduanya mengaku dipukul majikan sebelum akhirnya memutuskan hubungan kerja. Rima baru kerja dua bulan. Majikan perempuannya tidak bekerja alias selalu di rumah. Rima sering mengalami tekanan fisik dan mental karena sifat majikan yang aneh. Apa pun yang dikerjakan selalu salah dan sering dicari-cari kesalahannya. Sering kena pukul, pernah dicakar, yang terakhir ditonjok pipi sebelah kirinya sehingga berbekas memar. Rima mengatakan, majikan laki-lakinya beristri dua. Hari Sabtu dan Minggu, adalah jadwal tuannya pulang dan tinggal di rumah.
“Selebihnya, ia tinggal bersama istri ke dua,” kata Rima. Selama hari Sabtu dan Minggu itulah beban dari pelampiasan emosi majikan perempuannya meningkat dan begitu menyiksa Rima. Dari penuturan Rima ini, Apa Kabar menduga majikan perempuan Rima sedang mengalami gangguan jiwa atau depresi karena sakit hati dengan suaminya.
Sedang Mimi, PRT asal Ponorogo, mengaku baru 7 bulan dua minggu bekerja, sudah memutuskan hengkang dari rumah majikan. “Saya harus keluar demi keselamatan saya sendiri,” kata Mimi. Majikan perempuannya membuat larangan yang aneh. Mimi harus menyerahkan ponselnya, lalu ditaruh di kotak terkunci di muka kamera. Suatu siang, majikan bangun dari tidur, langsung menuduh Mimi telah mencuri waktu untuk ngobrol telepon dengan temannya, padahal ponselnya masih ada di dalam kotak ‘tahanan’. Perang mulut pun terjadi. Hingga majikan mengusirnya. Mimi bermaksud mengambil ponselnya untuk dibawa pergi. Tapi lucunya, majikan berusaha menahan ponsel Mimi. Mereka adu tarik ponsel, sampai majikan memukul muka Mimi. Anehnya lagi, demikian lanjut Mimi, majikan menghalangi Mimi dengan cara mengganjal pintu dengan rak sepatu dan memaksa Mimi masuk ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, majikan membukakan pintu dan menyuruhnya pergi. “Kamu sudah punya duit, ya sudah. Pergilah sana!” demikian Mimi menirukan majikanya. Mimi juga mengisahkan kebiasaan-kebiasaan aneh majikan perempuannya itu.
“Kakek bilang, Nyonya ada cing san peng (penyakit jiwa-Cantonese). Tiap hari minum obat, kalau malam selalu tidak bisa tidur dia,” imbuhnya. Ditanya apakah agen tahu masalah itu, Mimi menjawab bahwa agen tidak tahu .
Bila Mimi dan Rima memiliki pemahaman dan ketrampilan berhubungan dengan majikan yang bermasalah dengan kesehatan mental/jiwanya, tentu tidak harus berakhir dengan cerita sedih seperti itu. Bila agen memahami kebutuhan dan kondisi majikan, mestinya agen juga memahami kemampuan apa saja yang harus dibekalkan kepada pekerja.
Tulisan ini telah dipublikasikan Tabloid Apa Kabar Indonesia edisi Mid Mei 2012. Dengan maksud agar lebih luas dibaca khalayak ramai dan dipetik hikmahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H