Mohon tunggu...
Susi Idris
Susi Idris Mohon Tunggu... -

Menyukai dunia tulis-menulis sejak SD. Senang diajak berbincang tentang musik dan kuliner. Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Prodi Pend. Bahasa dan Sastra Indoneia dan Daerah, Universitas Haluoleo. Gemar membaca karya sastra (fiksi maupun non fiksi), dan gemar membuat coretan-coretan abstrak yang nyaris tidak jelas. Menulis puisi, prosa, esai, dan kritik sastra, yang sebagian besar masih disimpan dan dibaca sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Tidak Tahu, Tidak Mau Tahu, atau Pura-pura Tidak Tahu? (Perihal Kesalahan Berbahasa yang Terus Dipelihara)

25 September 2012   16:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:42 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Pernahkah Anda membayangkan hidup di negeri yang multietnik seperti Indonesia tanpa sebuah bahasa persatuan? Jika pernah, apa yang Anda pikirkan selanjutnya? Tentu Anda akan berpikir tentang kehidupan yang kacau balau di seluruh aspek, baik aspek ekonomi, pendidikan, pemerintahan, sosial, hiburan, keamanan, dan sebagainya, yang terjadi karena sulitnya berinteraksi dan berkomunikasi antara orang-orang yang masih menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Namun jika Anda tidak pernah membayangkan hal tersebut, maka sudah saatnya Anda harus meluangkan waktu sejenak untuk membayangkannya, sebab-jika Anda benar-benar peka-dengan satu kali saja membayangkannya, Anda pasti akan merasa bersyukur telah memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dan rasa bersyukur tersebut, mudah-mudahan dapat dimanifestasikan melalui sikap cintai terhadap bahasa Indonesia.

Sudah tidak bisa disangkal lagi bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia belum mencintai bahasa Indonesia. Bukti nyatanya adalah masih banyaknya terjadi kesalahan berbahasa-lisan maupun tulisan-di tengah-tengah kita. Kesalahan berbahasa tersebut terjadi karena tiga kemungkinan, yaitu 'tidak tahu', 'tidak mau tahu', dan 'pura-pura tidak tahu'.

Terkait dengan tiga kemungkinan tersebut, kesalahan berbahasa hadir bagaikan jamur beracun yang disangka aman untuk dikonsumsi. Ribuan kesalahan berbahasa berseliweran dari mulut ke mulut: di acara seminar, tayangan televisi, siaran radio, dan sebagainya, serta dari kertas ke kertas: di buku-buku pelajaran, di surat kabar, di spanduk, papan iklan, pampflet, dan sebagainya. Belum lagi yang tertulis dalam SMS, status facebook dan BlackBerry, tweet di twitter, maupun tulisan-tulisan yang tumpah ruah di internet.

Beberapa kesalahan berbahasa di tengah-tengah kita yang masih 'dipelihara' antara lain sebagai berikut. Pertama, menggunakan kata 'daripada' seolah-olah kata yang menandakan hubungan perbandingan tersebut sama maknanya dengan kata 'dari'. Misalnya pada kalimat, Kue ini terbuat daripada jagung. Seharusnya, Kue ini terbuat dari jagung. Kedua, menggunakan kata 'amat' dan 'sangat' secara bersamaan pada satu kalimat. Misalnya, Saya amat sangat menyukai boneka itu. Seharusnya salah satu dari kata 'amat' dan 'sangat' tersebut tidak digunakan. Ketiga, mengucapkan huruf 'Q' pada singkatan 'MTQ' dengan bunyi 'emtekyu', padahal bunyi yang tepat ketika 'MTQ' diucapkan adalah 'emteqi'. Belum lagi orang-orang yang selalu mengucapkan 'biologi', 'sosiologi', metodologi', atau 'psikologi' dengan mengganti huruf 'g' di tiap-tiap kata menjadi 'h', sehingga berubah menjadi 'biolohi', 'sosiolohi', metodolohi', atau 'psikolohi'.

Kesalahan lain yang umurnya bahkan sudah hampir puluhan tahun adalah penggunaan kata 'acuh' yang salah. Orang-orang kebanyakan mengira 'acuh' bermakna 'tidak peduli', padahal sebaliknya, 'acuh' bermakna 'peduli'. Kesalahan selanjutnya adalah banyak orang Indonesia yang selalu mengatakan 'sarapan pagi', padahal 'sarapan' sudah bermakna 'makan pagi'.

Sementara itu, kesalahan dari segi penulisan juga masih gemar 'dipelihara', misalnya menulis 'karir', seharusnya 'karier'. Menulis 'sekedar', seharusnya 'sekadar'. Menulis 'taubat', seharusnya 'tobat'. Menulis 'tribun', seharusnya 'tribune', dan masih banyak lagi kesalahan penulisan yang sepertinya sangat sulit untuk diubah oleh masyarakat kita.

Kesalahan berbahasa karena 'tidak tahu', patut kita sayangkan. Mengapa? Sebab, beratkah membeli satu buku pedoman EYD, satu buku tata bahasa baku bahasa Indonesia, dan satu kamus bahasa Indonesia? Jika untuk membeli buku tenses, grammar, apalagi kamus bahasa Inggris Anda sanggup, maka mengapa ketiga benda itu tidak?

Buku pedoman EYD, buku tata bahasa baku bahasa Indonesia, dan kamus bahasa Indonesia merupakan tiga 'benda pusaka' yang wajib kita miliki sebagai salah satu langkah untuk membina kemampuan berbahasa kita agar tidak terus-menerus berada dalam pusaran 'kesalahan berbahasa'. Jika benar-benar tidak mampu membeli ketiga buku tersebut, masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk belajar berbahasa yang baik dan benar, misalnya dengan mencari tahu di internet atau mencari tahu pada orang-orang yang kompeten di bidang linguistik. Semuanya mudah asal ada niat untuk tahu. Yang sulit adalah jika kita benar-benar 'tidak mau tahu' terhadap kesalahan berbahasa yang kita lakukan.

Orang-orang yang memiliki sikap tidak mau tahu terhadap perkembangan bahasa Indonesia maupun terhadap kesalahan berbahasa yang dilakukannya, berarti masuk dalam kategori orang-orang yang tidak mencintai bahasa Indonesia. Orang-orang yang tidak menginginkan bahasanya tetap 'lestari' di tengah tekanan bahasa-bahasa asing yang mulai membahayakan eksistensi bahasa Indonesia.

Entah mengapa, banyak orang Indonesia yang lebih tertarik mempelajari bahasa Inggris, bahasa Korea, dan bahasa asing lainnya, daripada mempelajari bahasa Indonesia yang merupakan bahasanya sendiri. Tidakkah kita merasa bersalah terhadap tindakan tersebut? Tidakkah kita harus lebih bangga dapat berbahasa Indonesia yang baik dan benar, daripada bangga telah menguasai bahasa asing?

Selanjutnya, kategori yang paling fatal adalah orang-orang yang 'pura-pura tidak tahu' terhadap kesalahan berbahasa yang dilakukannya. Ini terdengar sedikit konyol, tapi modusnya adalah masalah 'kebiasaan'. Orang-orang seperti ini biasanya sudah nyaman dengan 'kesalahan' yang diucapkannya, misalnya seorang master humaniora yang menyebut kata 'biolohi' bukan 'biologi' dalam sebuah seminar kebahasaan. Kita tentu yakin jika orang tersebut tahu mana pengucapan yang benar, namun dengan alasan 'sudah terbiasa' menyebut 'biolohi', maka kesalahan itupun meluncur tanpa beban dari alat artikulasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun