[caption caption="Sumber gambar: http://mvymca.org/stewards"][/caption]
Anak kecil. Satu sosok manusia yang merasa dunia adalah surga. Bermain dengan lepas, tak pernah ada beban, menjadikan semuanya adalah hiburan. Bertengkar tak pernah mau lama-lama, selalu bertanya atas nama penasaran, mengkorelasikan apa yang sudah ia pelajari dari orang dewasa dengan realita yang terjadi.
Pola pikirnya sederhana, dan ia hanya mengerjakan apa yang ia suka. Potensinya ada karena ia banyak mencoba, dan sebenarnya ia sama sekali tak ingin dikekang sekalipun atas nama “demi kebaikanmu di masa depan”. Memang siapa yang tahu masa depan, dan bagaimana orang tua tahu bahwa apa yang mereka paksakan adalah bekal terbaik untuk anaknya di masa depan?
Mereka banyak bertanya karena memang ingin tahu, mana mungkin mereka bertanya untuk menyindir apalagi menguji seseorang. Hasratnya adalah kepuasan akan sebuah jawaban, dan itu adalah naluri alaminya sebagai seorang anak kecil. Yang ia katakan adalah jujur, tak peduli bagaimana orang lain menilainya. Hatinya tulus, karena apa lagi kepentingan hidupnya saat itu selain bisa terus bermain dan mengeksplorasi dirinya?
Sekali lagi, ia hanya ingin terus bermain. Itulah dunianya. Memaksanya untuk tidur siang atau pulang cepat bisa jadi akan meninggalkan kesan menyebalkan di hatinya. Rasa kesal yang akan terus ia bawa sampai ia tumbuh (makin) besar, dan akan membawa rasa tak terpuaskan dalam memanfaatkan masa kecilnya. Juga rasa sesal karena tak berhasil memanfaatkan waktunya di masa lalu untuk mengembangkan minat yang bisa saja menjadi sebuah kemampuan dan karya besar kala ia dewasa.
Ia juga akan terus bertanya. Bertanya tentang hidup yang baru saja ia jalani sekalipun sebagai seorang bocah yang tak tahu apa-apa. Bertanya tentang bagaimana sebaiknya ia menjalaninya. Dan bertanya tentang mengapa yang ia dapati dalam kehidupannya tak sesuai dengan hal-hal ideal (dan indah) yang dikatakan oleh orang tua dan gurunya. Ya, ia akan terus bertanya, dan hanya ingin tahu. Tak ada pertimbangan lain.
Ia melakukan semuanya karena ia suka, dan meninggalkannya karena ia merasa tak ada jiwa dalam mengerjakannya. Ini adalah sebuah perilaku “riset” sederhana untuk menemukan bakat dan kemampuan dalam dirinya, yang seringkali “dihambat” oleh orang dewasa yang umumnya adalah orang tua. Ini tidak menghasilkan banyak uang di masa depan adalah alasan utama orang tua dalam menghambat eksplorasi sang anak, dan dikemas dengan seindah mungkin agar sang anak percaya. Mungkin masa depan sang anak menjadi baik, hidupnya tercukupi, meski kita tak pernah tahu apa yang terjadi jika bakatnya yang sebenarnya meledak dan diapresiasi orang secara luar biasa di masa yang akan datang.
[caption caption="Sumber gambar: http://www.dreamstime.com/editorial-photography-football-mud-klaten-indonesia-october-indonesian-children-play-rice-fields-school-irlani-image45545387"]
Ia jujur. Jujur mengutarakan apa yang ia rasakan. Ceplas-ceplos, tak perlu lah ia berpikir apakah ini baik atau tidak karena toh orang lain juga akan maklum bahwa ia masih anak kecil. Jujur mengatakan dan mengekspresikan kesukaan maupun ketidaksukaanya kepada orang lain. Bahkan kejujurannya bisa menjadi menohok untuk orang dewasa ketika kejujurannya itu berupa semacam pengingat saat seorang dewasa melakukan hal yang tak pantas –apalagi jika itu ditujukan untuk orang tuanya sendiri.
Sebuah pembelajaran dari kepolosan. Nilai-nilai yang perlahan makin terkikis seiring bertambahnya umur. Parameter kebahagiaan akan sebuah pilihan semakin bertambah ketika manusia semakin dewasa, tak lagi cukup hanya apa yang ada di hatinya saja.
Bagaimana jika orang tua tak mengizinkan?