Akhir-akhir ini banyak organisasi yang “mengatasnamakan rakyat” dalam aksi unjuk rasa. Ormas tua seperti Perserikatan Buruh dan Aliansi Desa “mengatasnamakan rakyat” saat aksi di depan gedung DPR. Bahkan, saking pedenya, perserikatan buruh yang awalnya menuntut kenaikan UMR tiba-tiba ikut menuntut pembatalan UU Kamnas. Ormas yang isinya anak muda juga tidak kalah pede. Seperti organisasi BEM, KM, Pemuda Pancasila, HMI, GMNI, HTI, semuanya mengatasnamakan rakyat dalam tiap aksinya. Padahal, lembaga yang direstui dan dipercaya oleh bangsa Indonesia untuk legitimasi rakyat adalah DPR.
Tahun 2012 kemarin memang kepercayaan rakyat kepada DPR merosot tajam. Maka, tahun 2013 ini harus menjadi titik balik DPR untuk membangun kembali kepercayaan rakyat. DPR yang berperan sebagai legitimasi rakyat, harus benar-benar dipercaya oleh rakyat. Jika tidak, nanti akan banyak ormas-ormas yang “mengatasnamakan rakyat” yang melawan hukum. Betapa bahaya negara ini jika “atas nama rakyat” dipegang oleh ormas-ormas, yang mungkin berniat menghancurkan negara ini.
Kita pernah melalui masa yang membahayakan itu. Yaitu saat masa gegap gempita reformasi tahun 1998. Masa dimana ormas-ormas yang dulunya bersebrangan dengan pemerintah diam karena takut dibredel, tiba-tiba turun kejalan mengatasnamakan rakyat Indonesia saat Presiden Suharto lengser.
Pada tahun 1998, 53 tahun lamaya bangsa Indonesia dipimpin gaya otoriter. Sebuah kepimpinan yang sangat presiden-sentris. Apapun yang bertentangan dengan perintah presiden, akan disingkirkan. Tahun itu juga, rakyat sudah pada titik jenuhnya dan menuntut reformasi di segala bidang. Para pemuda dari berbagai penjuru Tanah Air berdemontrasi menuntut pengunduran diri Presiden Suharto. Sedemikian banyak demonstran yang turun ke jalan, banyak dimafaatkan pihak tertentu untuk melakukan penjarahan di berbagai ibukota.
Kekacauan makin tak terkendali. Presiden Suharto akhirnya turun dari jabatannya tanggal 21 Mei 1998. Pak Habibie selaku wakil presiden menggantikannya. Bagi siapapun, tugas Presiden RI yang baru sangatlah berat, karena harus memimpin transisi menuju demokrasi secepat mungkin. Tapi juga harus selembut mungkin agar tidak terjadi perang saudara. Ibarat pesawat mendarat, harus sependek mungkin lintasannya agar tidak terperosok melampaui batas landasan, tapi juga harus selembut mungkin agar pesawat dan penumpang tidak mengalami gangguan.
Transisi yang dipimpin oleh Pak Habibie disorot tajam oleh oposisi karena dianggap meneruskan kepemimpinan Presiden Suharto. Oposisi menebar teror dengan anggapan bahwa kepemimpinan Pak Habibie tidak akan lebih dari 100 jam. Prediksi oposisi meleset. Tapi mereka juga tidak putus asa, teror baru menyebar bahwa kepemimpinan beliau hanya akan bertahan selama kurang dari 100 hari.
Selama masa teror itu juga, demonstrasi masih terjadi dimana-mana. Setelah tuntutan mundur Presiden Suharto berhasil dipenuhi, mereka masih menuntut adanya reformasi di berbagai bidang. Mulai hukum, ekonomi, sampai politik. Selama masa itulah, tokoh nasional yang berseberangan membuat kajian-kajian yang menggiring masyarakat pada opini pengleseran Habibie. Dampaknya, banyak orang yang tiba-tiba merasa mampu memimpin negeri sehingga membentuk ormas-ormas yang mengatasnamakan rakyat untuk memuluskan hasratnya.
Banyaknya orang yang ingin memimpin dan banyaknya ormas yang mengatasnamakan rakyat sangat rawan terjadi balkanisasi(perang saudara). Presiden Habibie menyadari hal itu dan tidak tuli mendengarkan aspirasi rakyat. Beliau sadar bahwa satu-satunya cara untuk membuktikan siapa yang sungguh-sungguh mengatasnamakan rakyat adalah melalui pemilu. Sebuah pemilihan yang harus bebas, jujur, dan adil dalam pelaksanaannya, dan dilaksanakan secepatnya agar tidak terjadi balkanisasi di Indonesia.
Ormas-ormas itu ditantang untuk masuk ke DPR, sebuah lembaga yang melegitimasi rakyat. Jika ormas itu banyak yang menjabat di DPR, berarti memang benar ormas tersebut mewakili rakyatnya. Kalau tidak, berarti hanya suara segelintir orang yang ambisius. Maka pada pemilu 1999, pemerintah tidak membatasi jumlah parpol yang menjadi peserta. Hingga akhirnya KPU menerima 48 partai politik yang ikut dalam pemilihan umum.
Tanggal 7 Juni 1999, pemilu dilaksanakan. Ditengah isu timbulnya pertumpahan darah, jumlah partisipasi sedikit, dan pemilu jujur dan adil adalah ilusi, ternyata rakyat Indonesia berhasil melawan semua kekhawatiran itu. Akhirnya terkuak juga organisasi yang benar-benar mengatasnamakan rakyat. Orgaisasi tersebut adalah parpol yang memenangi pemilu DPR, yaitu PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan PBB.
Lewat pemilulah akhirnya terbukti organisasi mana saja yang benar-benar pantas menjadi legitimasi rakyat. Meskipun “biaya politik” Pemilu 1999 sangat mahal, tapi sangat diperlukan dan harus dilakukan mengingat kondisi negara yang sedemikian sensitif kala itu.