Anda tidak perlu kecil hati kalau tidak mengenal siapa dua orang yang namanya saya sebut berikut ini. Buy Akur dan Lisa. Semula, saya, dan mungkin masih banyak lagi penduduk Indonesia, juga tidak mengenal mereka. Tetapi, kalau saya sebut nama lagu ciptaannya, saya yakin anda akan mendesah pelan : ".....Oh...itu to". Buy Akur adalah pencipta lagu Keong Racun, dan Lisa adalah penyanyi pertama yang mempopulerkannya. Kedua nama itu memang tenggelam dalam hinggar-binggar ketenaran lagu Keong Racun yang secara tiba-tiba di lip sync oleh dua mahasiwi Bandung, Shinta dan Jojo, dengan sangat amatiran di dunia maya. Saya tidak bisa menebak dan membayangkan, apa yang mengilhami Shinta dan Jojo untuk merekam dirinya sendiri di kamar tidurnya, dengan peralatan yang sangat sederhana dan kemudian mengunggahnya di dunia virtual. Sejak itu, ratusan ribu penonton dunia maya, mulai mengunduhnya. Lagu Keong Racun kemudian mendadak sontak menjadi top hit  dan didengar dimana-mana. Tak kalah pamornya, Shinta dan Jojo menjadi buah-bibir masyarakat dan diundang kesana-kemari untuk diwawancarai bak seorang selebriti yang telah sukses mengeluarkan maha karya yang luar biasa. Tawaran main film, dan iklan lagu datang bertubi-tubi. Lagu Keong Racun adalah lagu dangdut yang sangat biasa, lirik dan nadanya memang sedikit seronok, sementara action yang diperagakan Shinta-Jojo juga tidak istimewa. Mereka hanya komat-kamit menirukan syair lagu itu, sementara gerak badan dan tangannya juga tergolong sederhana. Entah apa, dan teori psikologi-masa mana yang bisa menerangkan mengapa mendadak-sontak, video clip itu mencatat penonton yang membludak.  Karena kehabisan teori untuk menerangkannya, psikolog menggolongkan diseminasi informasi seperti ini disebut fenomena word of mouth, yang di Jawa Tengah, disebut getok tular (bahasa Sunda : Pabeja-beja). Lagu Keong Racun, yang semula anteng-anteng saja, secara getok tular, telah diledakkan oleh Shinta-Jojo dengan cara, yang saya yakin, semula tidak diperkirakan oleh mereka, kemudian meledak gegap-gempita. Shinta-Jojo hanya iseng merekam secara amatiran dan meng up load clip itu ke dunia maya, di getok tular oleh, mungkin, teman-temannya sampai meng-Indonesia. Fenomena getok tular memang bukan monopoli Shinta-Jojo dengan clip Keong Racunnya saja. Ia sudah dicatat oleh teori komunikasi moderen sebagai sarana untuk menyebar informasi dengan metoda yang sederhana, murah dan sangat efektif. Sampai dengan 50 tahun lalu, metoda ini masih diartikan sebagai metoda tradisional, yaitu menularkan informasi, benar-benar, dari mulut ke mulut, dalam bentuk bisik-bisik dan menular seperti virus yang mewabah. Kecepatan penularannya tidak diketahui, tetapi berjalan pasti dan merambat bagai epidemik penyakit yang menyerbu masyarakat.  Manfaat getok tular pernah dinikmati sebuah industri fashion di Amerika, Hush Puppies. Seperti yang ditulis Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point, masa suram Hush Puppies sampai tahun 1994, dikejutkan oleh cerita seorang perancang mode terkenal dari New York kepada pemilik Hush Puppies, tentang meledaknya permintaan model klasik sepatu Hush Puppies di klub-klub dan kafe-kafe di kawasan pusat bisnis Manhattan. Cerita mengenai meledaknya kembali pemakaian sepatu kanvas Hush Puppies oleh para hipster menjadi fenomena word of mouth di seluruh antero Amerika, kemudian dunia. Diakhir tahun 1995, penjualan sepatu Hush Puppies meningkat 15 kali dibanding tahun 1994. Hush Puppies tiba-tiba saja meledak, padahal awalnya hanya ulah beberapa remaja iseng di East Village dan Soho. Tanpa iklan yang spektakuler, tanpa biaya marketing yang besar, itulah kehebatan getok tular yang begitu efektif meskipun didunia moderen, seperti Amerika. Dengan lain sudut pandang, Gladwell menyebut ini sebagai Tipping Point. Secara harafiah, Tipping Point adalah suatu titik yang dapat membuat sesuatu menjadi miring. Akan tetapi, Gladwell mengartikan ini sebagai suatu kejadian yang sederhana, kecil dan nyaris tak berarti, yang pada saat ajaib, bisa menimbulkan efek yang masif dalam jangka yang sangat pendek, sementara cara menjalarnya seperti epidemik yang bergerak dengan media getok tular.  Apakah getok tular selalu berkonotasi positif? Kasus meledak kembalinya Hush Puppies di tahun 1995, adalah fenomena positif. Akan tetapi, karena efektivitas dan kecepatannya sangat luar biasa, getok tular bak pisau bermata dua. Iapun bisa bernuansa negatif. Penularan menguap (bahasa Jawa/Sunda : angop) dari seseorang kepada yang lain, ditenggarai menggunakan sarana getok tular. Hanya karena mendengar, melihat atau membaca kata "menguap", seseorang bisa tiba-tiba ikut (benar-benar) menguap. Tak ayal lagi bila seseorang melihat orang disekelilingnya atau bahkan hanya melihat film di layar kaca yang menunjukkan adanya orang lain menguap, dia bisa tiba-tiba ikut menguap. Bagaimana fenomena ini bisa diterangkan? Psikolog menduga bahwa perasaan bawah sadar seseorang akan bereaksi, ketika membaca, mendengar, melihat, orang lain menguap.  Ketika itu, pikirannya mendikte syaraf yang menyimpan rasa lelah atau mengantuk untuk bereaksi. Dia menjadi seolah-olah terhipnotis untuk ikut merasa lelah atau mengantuk dan akhirnya ikut menguap. Getok tular memang powerful dalam mengirim pesan, baik yang positif maupun negatif dan sering tidak dapat diikuti dan diterangkan dengan logika. Contoh lain yang sedang in adalah pemberitaan gosip yang kebenaran isi beritanya tidak dapat dijamin. Penyebaran video porno mirip artis beberapa waktu yang lalu, juga merupakan hasil getok tular yang berakibat negatif. Tak pandang usia, jender, ras dan status sosial, semua lapisan masyarakat mengaku dengan rasa bangga, pernah menonton film-pendek itu dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Penonton tidak merasa bahwa dirinya sudah terkontaminasi epidemi film porno melalui sarana getok tular dengan begitu cepat. Getok tular memang hanya alat, hanya sarana, tergantung bagaimana manusia dapat memanfaatkan secara maksimal atau justru menjadi petaka yang mencederainya. Celakanya, ia sering sulit untuk dikelola.  Karena efektivitas dan kecepatannya yang tinggi, saat ini banyak organisasi yang menggunakan metoda ini sebagai sarana untuk menyebar informasi internal maupun eksternal. Untuk menjaga agar content informasi tidak melenceng keluar dari isi berita, sepanjang perjalanan getok tular, sumber informasi membuat titik-titik kontrol (check points). Ia berfungsi meluruskan isi berita yang mulai melenceng dari aslinya, sehingga aliran berita bisa kembali ke jalan yang benar.  Kalau saja belum secara sengaja menggunakan metoda ini, tak salah kalau anda mulai mencobanya. Ia dapat dipakai untuk menyebar informasi apa saja, kepada siapa saja, dan kapan saja. Ia dapat digunakan untuk "menjual" kemampuan pribadi anda. Ia dapat menyentuh ribuan anggota organisasi dengan diam-diam, tapi pasti. Ia dapat menularkan pesan positif yang anda kirimkan ke kerabat dan handai-taulan. Ia efektif sebagai sarana komunikasi, bahkan dengan media yang tergolong primitif.  Tak heran kalau tokoh periklanan Amerika, William Bernbach (1911-1982) mengatakan bahwa Word of Mouth is the best medium of all.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H