Seorang teman - sebut saja namanya Agus - yang baru 1 tahun didapuk sebagai CEO di suatu perusahaan besar yang berkantor di Segitiga-Emas, Jakarta, tiba-tiba menelpon saya. "Saya mau curhat", ujarnya singkat.   Kemudian, kami bertemu di suatu cafe di bilangan Senayan, berbincang-bincang, untuk menampung keluhannya. Agus curhat tentang kesendiriannya, sejak diangkat menjadi pimpinan tertinggi di perusahaan tempat dia bekerja. Meskipun gaji, fasilitas, gengsi dan kehormatan naik beberapa kali lipat, semuanya tidak membuat Agus lebih nyaman. "Saya sendirian, saya terasing, teman-teman seakan menjauhiku. Saya merasa ditinggalkan, padahal level stres terasa semakin menekan. Saya memerlukan kehadiran mereka seperti dulu", demikian Agus menutup keluh-kesahnya. Apa yang dialami Agus, jamak dirasa oleh orang yang sedang menapak naik jalan hidupnya.   Tidak hanya di jalur karier, tetapi juga untuk hal lain. Semakin tinggi posisi seorang, semakin dijauhi teman-teman kerjanya. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin banyak kawan mainnya yang mengambil jarak. Semakin banyak harta seseorang, semakin takut saudara-saudaranya mendekat. Semakin tenar nama seseorang, semakin sedikit yang mau menemaninya. Akhirnya, orang-orang seperti itu menjadi kesepian. Mereka hidup seolah seorang diri. Mereka menjadi pencilan yang terasa sendirian. Tidak ada kehangatan yang melingkupinya. Tiada keakraban yang menyertainya. Sesamanya satu per satu meninggalkannya. Kalau pun ada beberapa orang yang mendekat, terasa ada ketidak-tulusan di sana. Tersamar ada ketidak-aslian disela-sela wajahnya. Kepura-puraan membekas di bayang-bayang matanya. Nampaknya, keadaan ini menjadi hukum-alam yang menyertai kehidupan seorang anak-manusia yang melejit seorang diri ke atas sana. Entah apa alasannya. Bak seorang psikolog memberi konsultasi, saya mencoba menenangkan Agus. Gejala yang dialami Agus merupakan hal yang jamak di dunia ini. Itulah dunia, itulah manusia dan itu terjadi dimana-mana. Ketika seseorang menanjak naik, meskipun terlihat gemebyar, jiwanya sering tidak seiring. Orang-orang yang terlihat mengerumuninya - kalau pun ada - kebanyakan bukan sedang benar-benar menyapanya. Mereka sedang mendekati gemerlapnya, kilaunya, gaungnya atau cipratannya, dan bukan pribadinya. Kepalsuan sedang mengelilinginya, dan itu terasa oleh mereka yang peka menangkapnya. Singkatnya, orang seperti Agus, karena kesepian, akan berusaha mengompensasi ketidak-nyamanan yang mengganggunya dengan pelbagai cara. Kadang positif, tidak jarang negatif. Cerita serupa baru saja meledak menjadi top hit dan bertengger di headline media massa lokal maupun internasional. Kisah tentang seorang pesohor (celebrity). Dia adalah Whitney Houston. Wartawan sering memanggil dia dengan julukan WH. Lahir dengan nama panjang Whitney Elizabeth Houston, 9 Agustus 1963, akhirnya harus mati-muda, karena drugs. Saya mengenal Whitney dari 2 media. Pertama adalah film yang sukses dibintanginya, The Bodyguard (1992), dan suara emas yang mendendangkan lagu hit sepanjang masa, I will always love you (1992). Whitney, yang pada tahun 2009 dinobatkan oleh Guinness World Record, sebagai perempuan yang paling banyak menyabet penghargaan (415), termasuk 6 Grammy, 30 Billboard dan 22 American Music Award (Majalah Tempo, 26 Februari 2012, halaman 130), akhirnya harus bertekuk lutut, mengakui "kekuasaan" narkoba dalam hidup rumah tangga mereka. Menikah dengan sesama pecandu narkoba, Bobby Brown, dan tenggelam dalam kehidupan teler, membuat Whitney kehilangan pesona sebagai penyanyi dan artis film. Suara emasnya yang bening dan tingkahnya di depan kamera yang mempesona, begitu saja musna ditelan fly yang menghinggapinya. Bahkan akhirnya, semuanya habis karena obat bius. Whitney "lari" ke narkoba karena tidak tahan menjadi pesohor. Dia merasa sendirian, kesepian dan terasing dari teman-temannya, bahkan dari suami dan anak tunggalnya. Whitney tidak tahan menjadi populer. Banyak  manusia terkenal kelas dunia, yang senasib dengan Whitney. Ada yang lari ke narkoba, seperti Bruce Lee dan bahkan Sigmund Freud (bapak psikologi dunia yang memperkenalkan teori psikoanalisa). Atau bunuh diri, seperti ratu Mesir kuno, Cleopatra, tokoh Nazi, Adolf Hitler dan sastrawan dunia, Ernest Hemingway. Mereka menjadi korban kepopuleran dirinya dan tak tahan sendirian untuk menyongsong musuh kesepian dan keterasingan yang terus menyertai. Bagi orang yang tidak berjiwa soliter, maka kesendirian adalah sebuah malapetaka. Kesendirian adalah hampa. Kesendirian adalah siksa. Bunuh diri dan narkoba adalah jalan keluar yang paling pintas. Berbicara mengenai popularitas, kesepian dan bencana, saya ingat akan seorang tokoh, seorang bintang drama TVRI, sekitar tahun 1970-an. Saya lupa-lupa ingat apa nama judul fragmen yang ditayangkan seminggu sekali. Kalau tidak salah, menggunakan nama sang tokoh, "Keluarga M". Ia bercerita tentang sebuah keluarga ideal yang terdiri dari seorang ayah yang tegas dan berwibawa, kalau tidak salah namaya pak Awal. Selain itu ada seorang ibu yang lembut, bijaksana, selalu membawa kedamaian, menenangkan seluruh isi rumah dan bahkan para tetangga. Sebut saja dia ibu M. Mereka mempunyai 3 orang anak. Yang pertama adalah Kak Didu, dan 2 perempuan, Riri dan Kiki. Yang menonjol dari keluarga tadi adalah tokoh sang ibu yang selalu membawa kesejukan saat berbicara. Nadanya selalu rendah, ramah, penuh keteduhan. Semua masalah seolah sirna karena kasih dan kelemah-lembutan sang ibu. Singkatnya, dia menjadi idola masyarakat pada zamannya. TVRI, yang saat itu merupakan satu-satunya stasiun TV yang beroperasi di Indonesia, berhasil menampilkan seorang figur ibu yang mendominasi cerita inspiratif. Tak pelak lagi, tokoh ibu tadi menjadi idola. Bahkan sampai keluar kotak kaca. Perannya dikagumi sebagai ibu abadi yang bijaksana. Namanya sering dirujuk, bila perilaku ibu ideal sedang diperbincangkan. Sampai pada suatu ketika, masyarakat digemparkan dengan suatu berita tentang tokoh ibu tadi yang bunuh diri, dililit hutang. Sebagai anak muda ketika itu, saya sedih. Mungkin tidak hanya saya, tetapi juga masyarakat pada umumnya merasa kaget. Tak menyangka bahwa tokoh yang menjadi idola banyak orang, bahkan sampai diluar perannya di dalam drama, harus meninggal tragis. Dia tak kuasa menahan ketenarannya. Dia tak betah terus tersenyum sebagai ibu idola yang dikagumi banyak orang. Akhirnya semua harus kehilangan semuanya. Setelah sekian puluh tahun berlalu, saya ingin menundukkan kepala menghormat almarhumah, ibu idola yang harus pergi tanpa dinyana. Dia pergi karena ketenarannya. Tokoh lain yang layak dikenang karena populer di seluruh dunia, dan kemudian mati sia-sia adalah Jimi Hendrix. Lahir dengan nama Johnny Allen Hendrix, di Seattle, Amerika pada 27 November 1942, Jimi Hendrix harus mati muda ketika baru berusia 27 tahun. Dia dikenal sebagai gitaris, penyanyi dan pengubah lagu yang tak ada banding, di zamannya. Dia bahkan disebut sebagai gitaris elektrik terbaik dunia ketika itu. Salah satu hits-nya yang terkenal sampai kini dan dibawakan bersama band Gypsys, adalah "The Cry of Love". Sama seperti beberapa pesohor lainnya, Jimi Hendrix akhirnya harus mengakhiri hidupnya dalam kekuasaan obat-obatan. Dia pecandu pil tidur "Vesparax", yang ditelan dengan sengaja melebihi dosis. Jimi Hendrix akhirnya mati sia-sia. Entah karena menjadi pintar, kaya, mempunyai kekuasaan, pangkat tinggi atau sebab yang lain, seseorang bisa tiba-tiba memasuki era ketenaran, popularitas. Dan saat itulah kemudian dia diuji. Populer memang sering diidentikkan dengan hingar-bingar, tetapi itu hanyalah tampak luar. Jauh di dalam sana, justru sering bercokol kesendirian dan kesepian. Dia tidak tenang, menjadi sulit menerima "kekalahan". Tak heran bahwa Abraham Lincoln, (1809-1865) Presiden ke 16 Amerika yang sangat terkenal dan kemudian mati terbunuh  mengatakan bahwa ketenaran identik dengan ketidak-tenangan. Ketenaran melahirkan kegelisahan. Ketenaran membuat kesepian. "Avoid popularity if you would have peace".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H