Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Wamen

25 Mei 2012   00:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:50 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_190345" align="aligncenter" width="513" caption="ilustrasi/admin(KOMPAS.com)"][/caption] Dua tahun lalu, saya mendapat kesempatan menengokkeponakan yang kuliah di sebuah kota di Australia, Adeleide.Camelia namanya, indekos di keluarga sana, dengan membayar A$ 500 per minggu.Suatu angka yang cukup mahal untuk ukuranJakarta atau Bandung.Ketika saya sempat mengunjungi tempat tinggalnya, sekitar pukul 09.00 malam, saya terheran-heran melihat seluruh rumah, termasuk kamar tidur Camel, gelap gulita.Lampu-lampu dimatikan, kecuali sebuah lampu kecil, kira-kira 5 watt.

Ketika saya tanyakan mengapa demikian, Camel menjawab dengan enteng bahwa pemadaman lampu setelah pukul 08.00, biasa dilakukan di perumahan.Mereka melakukan penghematan energidengan ketat, karena tarif listrik di Australia sangat-sangat mahal.Pemakaian lampu dibatasi, penggunaan peralatan listrik diseleksi bahkan penggunaan perangkat elektronika pun dijatah.Singkatnya, masyarakat Australia yang notabene jauh lebih makmur dibanding kita, mempunyai perilaku yang hemat terhadap pemakaian energi listrik.

Saya lega, melihat Camel menceritakan itu tanpa rasa kesal.Nampaknya dia sudah bisa menerima keadaan ini, meskipun katanya, semula dia tidak bisa tidur berhari-hari karena kamarnya gelap.Saya bersyukur bahwa Camel sudah berperilaku dan berpikir rasional tentang bagaimana energi harus diperlakukan.Pemborosan energi, dalam bentuk apa pun, memang suatu tindakan yang bakal menghancurkan diri kita sendiri, melenyapkan peradaban manusia, menghancurkan bumi.

Pertanyaannya adalah, mengapa masyarakat Australia bisa berperilaku seperti itu?Mengapa mereka mau bersusah-payah menghemat energi, dengan mengorbankan kenikmatan yang direguknya?Mengapa mereka mau bergelap-gelap, berpanas-panas, berdingin-dingin, “hanya” karena AC atau heater menyedot listrik yang besar, sehingga harus diminimalkan pemakaiannya?Karena harga listrik yang sangat tinggi, mau tak mau, pemakaiannya harus benar-benar hemat.Sebetulnya tidak hanya listrik, tetapi harga bahan bakar, seperti BBM atau BBG juga jauh di atas sana.

Nampaknya, hukum ekonomi berlaku di sana.Harga suatu produk yang tinggi mengakibatkan konsumsi turun.Maka penghematan mutlak dilakukan.Bagaimana di Indonesia?

Silakan anda lewat perumahan elit Pondok Indah di malam hari.Yang terlihat bukan penghematan atau pengurangan konsumsi listrik, tetapi justru pemborosan.Pemakaian listrik berlebihan bahkan dipamerkan dengan vulgar.Listrik bukan hanya digunakan untuk perumahan, tetapi juga untuk taman.Beringin Putih, Palem Merah, Palem Botol dan tanaman hias lainnya, disorot dengan sokle*/ 100-200 watt.Jangankan menghemat, pemborosan luar biasa terjadi disana.Ironisnya, itu dilakukan juga oleh masyarakat menengah ke bawah.Sering saya melihat TV tetangga di rumah kontrakan menyala tanpa pemirsa.Lagu ndangdut disetel keras-keras tanpa pendengar, dan lampu di siang hari dibiarkan mencorong tanpa guna.Hukum ekonomi berlaku di mana2.Harga produk murah, akan menaikkan konsumsi secara otomatis.Bahkan oleh konsumen berpenghasilan pas-pasan.

Kisah tentang Camel yang “menderita” kegelapan setiap malam di Australia, berputar kembali di benak saya, saat Jakarta riuh-rendah dengan rencana kenaikan harga BBM, beberapa waktu lalu.Pemerintah bermaksud mengurangi subsidi BBM karena semakinmembubung tinggi, dus harga BBM harus naik.Politikus Senayan maupun luar Senayan hiruk-pikuk memlintir isu kenaikan BBM demi kepentingan politiknya.Televisi memutar acara debat yang tak jelas juntrung tujuannya.Mantan menteri-menteri ekonomi di rezim sebelumnya, berlagak sok suci dan sok pahlawan menentang kenaikan harga BBM, dengan dalih demi “rakyat”.Padahal, mereka sendiri melakukan hal yang sama, saat menjabat.Banyak pihak menari-nari menggunakan iringan “kendang kenaikan BBM”, tanpa sudi memahami apa yang sebetulnya sedang terjadi.

Diantara kegaduhan politik yang gonjang-ganjing, saya melihat seorangtokoh yang berpikir jernih dan selalu menjelaskan masalah dengan sederhana dan gamblang.Dia adalah Prof. Widjajono Partowidagdo.Jabatan resminya, kala itu,adalah wakil menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).Terlihat dia mengusai masalah, tahu konsep mendasar dan menggagas rencana implementasi yang integratif dan komprehensif.

Dalam banyak kesempatan di media massa, baik cetak, TV maupun on line,Prof. Widja selalu menekankan bahwa kita bukan lagi negara yang kaya minyak.Indonesia harus mengimpor minyak sebanyak 272.000 barel minyak per hari dan BBM 499.000 barel minyak per hari.Sementara produksinya sendiri hanya 902.000 barel per hari.Dan yang paling menyedihkan adalah, kita membeli minyak dengan harga pasar yang terus naik secara drastis.DImana logikanya BBM yang dibeli dengan harga pasar yang mahaldipakai membuat listrik untukmenerangi Beringin Putih di Pondok Indah agar lebih cantik?

Mas Woojie, demikian para sahabatnya alumni ITB ‘70 biasa memanggilnya, pernah menulis tentang 4 anggapan keliru yang sering beredar di masyarakat Indonesia saat ini.Pertama, Indonesia adalah negara kaya minyak.Anggapan ini langsung dibantah dengan angka-angka di atas.Indonesia pernah menjadi negara kaya minyak, 30-40 tahun lalu.Saat itu produksinya mendekati 2 juta barel per hari, sementara konsumsinya hanya kurang dari 1 juta.Sekarang masa keemasan itu sudah sirna, diganti dengan keadaan yang semakin memprihatinkan.

Anggapan keliru kedua adalah harga BBM harus semurah-murahnya, tanpa mempertimbangkan akibat negatif yang mengikutinya.Harga BBM yang murah (sekali), jauh dibawah harga pasar, menyebabkan terkurasnya dana pemerintah, yang seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan.Selain itu, ketergantungan masyarakat akan BBM, yangdibeli dengan harga (sangat) mahal sulit terputus.Plus tertutupnya jenis energi lain untuk berkembang.BBM akan “manja” tanpa saingan, karena harganya palsu, harga imitasi, yang lebih dari separuh ditomboki negara.

Ketiga, adalah anggapan keliru bahwa investor (minyak dan gas) akan datang berduyun-duyun, tanpa kita harus bersikap bersahabat dengan mereka.Kompetisi konsesi lahan minyak di dunia semakin ketat dengan fasilitas yang semakin menarik, sementara kita tetap bergeming dengan konsep PSC versi 1970-an atau malah makin tidak bersahabat.

Keempat, adalah anggapan keliru bahwa peningkatan kemampuan nasional akan terjadi dengan sendirinya tanpa keberpihakan pemerintah.Pemerintah harus terus mendorong dan menciptakan iklim yang kondusif agar kapasitas bangsa terus berkembang.

Apa yang disampaikan mas Woojie, pria gondrong, cuek, nyentrik, apa adanya dan terus terang ini, sebetulnya sudah membuat “lawan-lawan” debatnya keok bertekuk lutut.Secara rasional, mas Woojie sulit dibantah.Tetapi, mas Woojie bukan politikus.Dia seorang ilmuwan yang berjalan lurus, tidak neko-neko, dan dari pemikirannya sering keluar betapa tingginya nilai-nilai kemanusian yang dijunjungnya.Itu yang menyebabkan dia digempur terus untuk dipojokkan.Tetapi, wamen kita ini bergeming.Dia terus konsisten dengan pemikirannya.

Ketika siang itu, Sabtu 21 April 2012, saya mendengar bahwa mas Woojie sakit dan harus dievakuasi dari punggung gunung Tambora ke Rumah Sakit Mataram, perasaan saya menjadi galau.Pria sederhana, dosen senior yang terkesan awut-awutan ini, akhirnya menyerah kepada Sang Khalik.Sore itu mas Woojie memenuhi panggilanNya.Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un (انّا للہ و انّا الیہ راجعون).Mas Woojie “berangkat” ketika sedang mendaki gunung Tombora, menuju ke rumah Tuhannya, ketika sedang menjalankan keinginannya, hobinya, dan pemikirannya.

Saya tidak mengenal mas Woojie secara dekat.Ketika itu saya hanya sering mendengar namanya sebagai asisten dosen yang pandai, baik hati dan suka membantu.Itu terjadi ketika saya masih di ITB, sekian puluh tahun lalu.Ingatan sayaakan mas Woojie digugah kembali ketika almarhum diangkat menjadi wamen ESDM, di akhir tahun 2011.Kemudian, pemikirannya menyentak banyak orang, orisinil dan ceplas-ceplos.Ternyata itu tidak lama. Mas Woojie disayang Tuhan.Konon, orang baik cepat dipanggilNya, agar segera berada di PangkuanNya.Teringat saya akan tulisan mas Woojie di salah satu milis ITB ‘70, yang semakin meyakinkan saya bahwa mas Woojie adalah Profesor dan wamen yang rendah hati :

Yang memberi paling banyak…….yang memperoleh paling banyak.

Yang mengajar paling banyak………yang belajar paling banyak.

Tuhan Maha Pengasih lagi Penyayang……jadi, Dia akan kasih (memberi) dan sayang kepada ciptaaanNya yang kasih dan sayang kepada sesama ciptaanNya.

Salam, widjajono (11 Januari 2011 : 14.50)

Selamat jalan mas Woojie !!

Terima kasih atas kemaren yang tiada lagi.

*/sokle = lampu sorot

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun