Dua video pidato Bung Karno dalam Bahasa Inggris sedang viral di media sosial. Keduanya tentang Pancasila, disampaikan pada 2 kesempatan yang berbeda.
Video pertama, saat Bung Karno berada di depan Konggres Amerika, tahun 1956. Yang kedua, saat beliau di depan Sidang Umum PBB, tahun 1960. Bung Karno memukau bahkan menyihir kedua hadirin sidang dengan pidatonya yang oratoris, karismatis, dengan intonasi prima. Tepuk tangan dan gemuruh sorak berulang kali terdengar menyambut kehebatan isi dan cara Bung Karno menyampaikannya.
Lantas apa yang aneh? Bukankah memang Bung Karno seorang orator ulung? Ternyata, bukan soal bagaimana beliau menyampaikan pidato. Banyak yang mengira bahwa Bung Karno telah keliru mengutip urutan sila-sila dari Pancasila. Dalam kedua kesempatan, Bung Karno meletakkan sila Persatuan Indonesia, yang disebutnya sebagai Nationality, sebagai sila kedua setelah sila pertama, Believe in God (Ketuhanan). Berturut-turut, kemudian Humanity (Kemanusiaan), Democracy (Kerakyatan) dan Social Justice (Keadilan Sosial).
Kekeliruan itu terjawab kemaren sore, Jumat, 2 Juni 2017, saat saya menghadiri seminar tentang Pancasila, yang diadakan di sebuah gedung megah di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Salah satu seminaris, DR. Baskara T. Wardaya SJ, ahli sejarah, dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, sepintas menjelaskan “kekeliruan” itu.
Mengapa Nationality menjadi sila kedua?. Ternyata bukan kekeliruan. Bung Karno “sengaja” meletakkan pada urutan yang lebih tinggi, karena menganggap Nationality, atau Kebangsaan atau Persatuan Indonesia, adalah sila yang sangat penting dalam penghayatan dan pencapaian kita sebagai warga negara dari sebuah nationstate.
Seratus juta lebih (saat itu) manusia Indonesia, yang tersebar di belasan ribu pulau, dengan berbagai budaya dan kebiasaan, dengan banyak agama dan kepercayaan, dengan bermacam tingkat sosial dan pendidikan, dengan ratusan adat-istiadat dan (ini yang kritikal) mayoritas belum pernah saling bertemu harus bersatu tekad, karena diangankan membentuk sebuah Negara Kesatuan berbentuk Republik, bernama Indonesia.
Membentuk suatu negara-bangsa laiknya seperti suatu mimpi, kaya sebuah cita-cita, yang tak seorang pun tahu bagaimana kelak wujudnya. Syaratnya tak banyak, yang harus ada hanyalah satu niat bulat, yang oleh Bung Karno disebut Nationality dan diletakkan sebagai modal utama dan pertama, (setelah BelieveinGod), sebelum hal-hal lain dibereskan. Kemajemukan Indonesia mutlak memerlukan semangat Persatuan untuk mejalin keaneka-ragaman.
Keyakinan Bung Karno akan pentingnya Persatuan Indonesia, bahkan sudah dinyatakan pada tanggal 1 Juni 1945, saat berpidato di depan BPUPKI. Bung Karno menyampaikan rumusan Pancasila, dengan meletakkan Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), yang kemudian menjadi Persatuan Indonesia, sebagai sila pertama.
Lebih dalam lagi, Bung Karno juga mengunci paparannya tentang Pancasila dengan mengatakan “Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi. Sila-sila itu menjadi satu, utuh, mempunyai kesatuan makna, yang tak dapat dipisah-pisahkan, panca-pancaning atunggal”.
Ketika hari-hari ini hiruk-pikuk politik sedang melanda bangsa Indonesia, “kekeliruan” Bung Karno itu, menemukan relevansinya. Saat bangsa Indonesia sedang diuji (sejatinya oleh dirinya sendiri) oleh kemelut dan tarikan berbagai kepentingan sektoral, parokial, primordial, bahkan individual, maka Nationality dan Persatuan Indonesia menjadi jawabannya.
Pertanyaan adalah, sebagai elemen bangsa, bagaimana mulai menggunakan sila Persatuan Indonesia itu untuk mengurai masalah yang sedang membelit ini?. Jawabnya adalah : “Berperilakulah inklusif dan jangan eksklusif”.