Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kritik

5 September 2014   03:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:35 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya punya idola baru. Nama panggilannya Ahok, lengkapnya Basuki Tjahaja Purnama. Saat artikel ini ditulis, jabatannya Wakil Gubernur DKI. Tapi, tak lama lagi, Ahok akan menjadi pejabat definitif, setelah bosnya naik pangkat menjadi Presiden RI.

Yang saya suka dari Ahok adalah sikapnya yang blak-blakan, spontan dan satu tekad untuk membuat Jakarta lebih baik. Dia tak menoleh ke kiri atau kanan, jalan lurus, dan berkali-kali mengatakan tidak takut akan apa pun, selama dia ada di jalan yang sesuai aturan.

Saat ditanya di acara “Kick Andy” minggu lalu, apakah dia tak takut dibunuh karena sikapnya itu, dia menjawab dengan enteng. Kira-kira begini, “Mati adalah takdir. Mati sekarang atau nanti, ya sama saja. Lebih baik saya mati untuk sesuatu yang bermakna”.

Ahok terlihat tak punya rasa takut. Namun, belum pernah saya mendengar bahwa ‘kritik’ tidak membuat dia bergetar dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin di DKI. Perlu diamati bagaimana reaksi luar, apalagi dalam, bila pak Wagub menerima kritik. Mungkin perlu ada suatu penelitian tersendiri, tentang sikap orang ‘pemberani’ seperti Ahok, ketika kritik datang menerpanya.

Kritik memang sesuatu yang, pada umumnya, tidak mengancam nyawa kita, tetapi sejatinya lebih menakutkan. Ia lebih tajam daripada sembilu dan lebih runcing ketimbang belati. Kritik bisa membuat seolah-olah dunia berakhir, dus, harus dilawan dan ditolak mati-matian. Itu yang menjadi mindset kebanyakan masyarakat kita. Tak heran kalau kritik tak disukai orang.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah mengapa, sepemberani siapa pun dia, orang lantas ciut, ketika menghadapi kritik. Hatinya langsung kecil, perasaannya tak nyaman dan pasang kuda-kuda untuk menangkis. Siap melakukan counter attack tanpa diperintah oleh otak rasionil.

Padahal, ketika manusia dilahirkan di dunia hanya mempunyai 2 rasa takut, yaitu suara keras dan ketinggian. Lingkungan sekitar kemudian yang mengenalkan dan mendidik manusia dengan banyak rasa takut lainnya. Tanpa sadar, larangan dan perintah yang keluar dari orang tua atau guru atau masyarakat, membekas dan berkembang menjadi ketakutan yang sering tanpa alasan.

Kebanyakan, orang takut akan sesuatu yang tidak ada, atau kalau pun ada, kemungkinan untuk muncul probabilitasnya sangat kecil.
Nick Vujicic, motivator dunia yang tak mempunyai lengan dan tungkai pernah mengatakan : “Fear is a bigger disability than having no arms or legs”. Ya, ketakutan (akan apa saja) adalah ketidak-berdayaan yang lebih besar dibanding tak punya lengan dan kaki. Takut menjadi pisau bermata dua. Satu sisi menjadi ‘pelindung’ dari bahaya, sisi lain adalah momok yang menghambat manusia untuk lebih baik dan maju. Dua sisi yang mempunyai ketajaman yang setara. Tinggal bagaimana kita pandai-pandai menggunakannya.

Ketakutan akan kritik disebabkan karena sejak kecil, kesalahan dan kegagalan dianggap tabu, aib atau bahkan dosa. Hukumannya pun begitu berat, yaitu ‘masuk ke dalam api neraka’. Salah dan gagal adalah monster yang mengerikan dan harus dihindari. Padahal, salah dan gagal, dari sisi positif, menjadi anak tangga seseorang untuk menapak menjadi lebih baik. Yang terjadi adalah, kalau suatu saat gagal atau salah menimpa kita, lempar sebisa mungkin kepada orang lain, agar selamat dari hukuman. Ini yang disebut sebagai perilaku defensif. Biasanya spontan keluar, karena berada di alam bawah sadar manusia.

Seorang perfectionist menderita ketakutan akan kritik begitu besar. Dia tidak memberi kesempatan hidupnya untuk gagal atau salah. Begitu mendengar dirinya mempunyai kesalahan, maka reaksi penolakan menggumpal begitu besar dan keluar begitu saja. Itulah sebabnya mengapa sang perfeksionis biasanya mempunyai perilaku defensif yang masif. Tak banyak yang sadar bahwa kritik, jika di-manage dengan benar, dapat membuat seseorang lebih baik dan lebih baik lagi. Kritik adalah suara malaekat pelindung yang membisikkan sesuatu kepada seseorang untuk melangkah ke arah yang lebih benar.

Menyikapi kritik memang tidak mudah. Ia harus disiasati dengan pas. Default reaksi yang keluar saat menerima kritik harus dalam suasana yang welcome. Baru kemudian dipikirkan bagaimana menindak-lanjutinya. Kritik yang serta-merta ditolak, apalagi dengan cara yang keliru, jelas berubah bentuk menjadi serangan yang kontra-produktif.

Takut akan kritik tidak boleh didiamkan atau malah dipelihara. Pertama, ia harus disadari ada di dalam diri kita, dan perlahan-lahan diobati. Baru kemudian dikembangkan pola pikir yang mengatakan bahwa kritik adalah obat mujarab yang menyehatkan. Rasa takut akan kritik yang didiamkan bisa berkembang ke arah yang eksesif dalam bentuk mentally disorder yang disebut ‘Enissophobia’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun