“Berilah kail, jangan ikan”.Begitu pepatah lama mengajarkan kepada kitabagaimana memberdayakan orang.Konsepnya simpel, gampang dipahami,mudah diikuti dan sederhana untuk diterapkan.
Ikan dimasak, disantap dan habis, tapi kail lebih tahan lama.Bisa dipakai untuk mencari ikan, dan makanan akan tersedia lebih lama, sepanjangkail belum rusak.
Namanya pepatah,memang tidak persis sama dengan alam nyata.Banyak hal bisa didebat.Pertama, mengapa harus kail dan bukan jala.Bukankah jala bisa meraup ikan lebih banyak dibanding kail?.Masih bisa dikejar lagi, mengapa jala, bukan pukat harimau, yang bisa menguras ikan plus isi lautan untuk kekayaan anak-cucu tujuh turunan.
Kedua, bagaimana kalau orang yang kita tolong hidup jauh dari area perairan?.Tentu dia bukan “orang pelaut”, keturunan nenek-moyangku,seperti yang sering dinyanyikan anak-anak zaman dulu.Jangankan mancing atau menjala ikan,melihat air menggenang saja, dia menjauh.Diberi mata pancing untuk mencari ikan pasti dicampakkan.
Ketiga, orang hidup tak hanya dari ikan.Meski ikan dalam jumlah berlebih bisa ditukar dengan kebutuhan lainnya.Mana mungkin uang sekolah, rumah sakit, ongkos angkot, pulsa telepon atau sewa kontrakan bisa dibayardengan ikan.
Singkatnya, memberdayakan sesama bukan perkara mudah.Memberi ikan lebih mudah, memberi kail jauh lebih susah. Sudah punya niat pun sering sulitmenerapkannya.Apalagi bila niat tidak ada di sana. Jangankan kepada orang lain, kita sendiri pun sulit berdaya.
Itu yang terjadi 2 bulan lalu. Ketika Udin, kenalan lama, sopir di sebuah perusahaan di bilangan Sudirman, datang ke rumah saya. “Saya kena PHK pak.Kontrakkerja tidak diperpanjang.Bapak bisa bantu saya?”.Kata-katanya terputus-putus, seakan tersekat di kerongkongannya.Dia tampak murung.
Saya tertegun sesaat.Pikiran saya tiba-tiba blank,memikirkan kail atau jala macam apa yang bisa saya berikan untuk Udin.Terbayang isteri dan anak perempuannya yang sering main ke rumah untuk sekedar silaturahmi.Anak tunggalnyaduduk di kelas 2, sebuah SMP Negeri, dekat rumah mereka.Kabarnya, dia selalu mendapat ranking di kelasnya.Jangan-jangan bulan depan harus DO karena tidak punya biaya.
Memberdayakan orangternyata bukan perkara sepele.Udin, yang sedang kesusahan saat ini ada persis di depan saya.Tapi saya tak berkutik.Memberi ikan mudah, memberi kail jauh lebih susah.Udin sopir yang baik, tetapi nasibnya kurang beruntung.Dia adalah contoh soal yang tepat.Beberapa teman yang mungkin dapat membantu, saya hubungi untuk mencari jalan keluar.Tetapi, semua hanya menjawab,“Saya akan usahakan”.Udin tetap menganggur.
Saya berdiri di barisan paling depan yang gagal menolong Udin.Padahal, saya hafal luar kepala pepatah dan teori tentang “memberdayakan manusia”atau “people empowerment”.Sering saya kutip saat memberi pelatihan di perusahaan tempat saya bekerja.“Berilah kail, jangan ikan”.Begitu indah kata-kata itu dirangkai oleh pujangga zaman dulu, tapi membuat saya KO, saat kisah nyata tiba-tiba berada persis di muka batang hidung saya. Saya kehabisan akal untuk memberi kail.Yang paling mudah adalah menyodorkan beberapa ikan kecil ke genggaman tangannya.Ikan-ikan sangat kecil, tidak mampu mengubah raut mukanya yang suram.
Satu minggu setelah kedatangan Udin,saya dikejutkan oleh sebuah artikel“resensi film”, di Kompas Minggu, 9 Februari 2014.Cerita yang seolah-olah menjawab bagaimana kesusahan yang mendera Udin, bisa ditangani.Artikel yang bercerita tentang seseorang yang heroik memerangi kekerasan remaja dengan membuka pelatihan bagi para anggota gang anak nakal, di kawasan timur Los Angeles, Amerika Serikat.Tokoh ituadalah seorang Pastor Jesuit, Gregory “Greg” Joseph Boyle.
“Nothing stops a bullet like a job”.“Hanya pekerjaan yang bisa menghentikan kekerasan”.Itulah kredo yang diyakini Greg untuk memerangi kriminalitas.Kalimatnya singkat, logikanya sederhana, tetapi mengandung kebenaran yang hakiki dan kebajikan yang mulia.Kalau seseorang mempunyai pekerjaan tetap, mendapatkan penghasilan yang memadai dan job securityyang menjamin sisa hidupnya, niscaya jauh dari perilaku kekerasan.Kemudian dia mempunyai harga diri, merasa PD dan harkatnya sebagai manusia terjunjung naik ke atas.Di depan masyarakat, tumbuhself actuation dan self recognition.Tak sempat memikirkan - sendiri atau kelompok - menjadi pencuri, pencopet, perampok, penodong, pemabuk atau pecandu obat bius.Dia terus bekerja dan bekerja, mencari mata pencaharian untuk diri sendiri dan keluarganya.
Level paling bawah dari kekerasan, paling sering dilakukan anak muda,yang menyandang predikat jobless.Nilai kemanusiaan harus diangkat dengan menghilangkan cap sebagai pengangguran.Peluru berhenti secara otomatis, bila pekerjaan tersedia.Tingkat kekerasan akan meningkat di kalangan penganggur dengan perputaran ekonomi yang rendah.
Karena film itu berkisah tentang usaha kemanusian Father Greg, yangsering berfungsi sebagai anjing-gembala, yang setia tapi tegas, mengasihi sambil menghibur, menemani dan menjadi sesama mereka,maka ia diberi judul G Dog.Tentu saja “G” di sana berasal dari nama panggilan, Greg.
Romo Greg membuka tempat pelatihan khusus bagi remaja nakal, mantan anggota geng tawuran, kriminal jalanandan pelaku kejahatan lainnya.Mereka mendapatkan pelatihan keterampilan seperti membuat kue, menjadi pramusaji, parenting, mengelola amarah, melatih mekanik dan yoga.Juga diberi pelayanan bagaimana menghapus tato dari tubuh mereka.Rumah pelayanan itu dinamakan “Homeboy Industries”.Mungkin dimaksud agar anak-anak muda tadi kembali menjadi anak rumahan yang manis dan bermanfaat, terutama bagi diri mereka sendiri.
Sampai kemudian Homeboy mencatat keberhasilan merestorasi 70 persen alumninya.Semula,angka ini berkisar hanya di sekitar 30 persen.Tapi G dan tim pengelola serius dan passion untuk terus mengasuh domba-domba gembalaan mereka.“Memberi lapangan pekerjaan” kepada mantan anak-anak nakal menjadi produk Homeboy Industries.Bukan hanya membuat mereka terampil dan berpenghasilan tetap, tetapi terutama meredakan iklim yang kental dengan kekerasan jalanan.
Agak aneh saat mendengar komentar Freida Mock, sutradara G Dog.Mock ditanya apakah faktor agama punya peranan dalam kesuksesan program ini.Jawabannya, “Tidak ada”.Tidak dapat dipungkiri bahwa Greg Boyle adalah seorang Pastor Katolik.Tetapi komitmen yang menggugah rasa peduli kepada anak-anak malang inilah yang menjadi spirit dari perjuangan Romo Greg dalam memerangi kekerasan.Ini yang disebut kebesaran jiwa yang mengantar sampai program ini sukses. Komitmen seperti ini bisa dimiliki siapa saja.
Pengangguran identik dengan kekerasan. Ini karena pekerjaan adalah sebuah nilai penting yang ada di dalam diri semua manusia, secara universal.Tanpa itu, maka penyaluran yangkeliru mudah terjadi. Keberadaan para penganggur adalah kondisi buruk yang menyangkal kehidupan itu sendiri, bahkan lebih buruk dibanding suatu kematian.An unemployed existence is a worse negation of life than death itself(Jose Ortega y Gasset – Filosof Liberal Spanyol, 1883-1955)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H