"Pemirsa...... pe-pe, mir-mir, sa-sa......., pemirsa, tamu istimewa malam ini adalah seorang duta-besar dari negara sahabat. Bahkan bukan hanya negara sahabat, tetapi juga negara serumpun. Mari kita sambit.....eh...eh...eh....., kita sambut Duta Besar Malaysia di Indonesia Dato Syed Munshe Afdzaruddin dan isteri........". Memang, itu adalah suara Tukul, host dari acara talk show Bukan Empat Mata (BEM), yang sedang , benar-benar, sedang memanggil Yang Mulia Duta Besar Malaysia dan isteri. Dato Syed Munshe hadir pada acara malam itu bersama isteri tercintanya, dan terlihat mereka berdua sangat menikmati tontonan yang diantaranya diperagakan oleh mereka berdua. Dalam acara malam itu, Dato Syed Munshe, bahkan juga sang isteri begitu terlibat dan berkontribusi dalam membuat malam itu benar-benar geeerrr. Dia bahkan sempat meng-kick balik Tukul dengan memanggilnya "mas Tongkol", (dan.....geeerrr), dan pak Dato mengaku selalu melihat BEM, ketika dia sedang free time. Datin Afdzaruddin memuji BEM-Tukul sebagai talk show yang sekelas dengan apa yang sering mereka lihat di Amerika. Bukan main.  Begitu hebatkah Tukul dalam mengawaki acara itu, sehingga seorang Duta Besar dari suatu negara yang sering terlibat konflik dengan negara kita begitu dibuatnya cair? Apakah kunci yang menyebabkan humor bisa mengatasi permusuhan tersembunyi dan suasana tegang menjadi rileks dan sangat bersahabat? Mengapa selama ini, gesekan-gesekan yang terjadi antara Malaysia dan Indonesia sulit dilicinkan dan perundingan-perundingan jarang tuntas? Siapakah Tukul dan apa rahasianya bisa sukses membawakan acara BEM sampai lebih dari 5 tahun tanpa jedah dan selalu mendapatkan rating tinggi? Tukul memang artis fenomenal, bahkan legendaris. Dia lahir di Semarang dari keluarga yang secara ekonomi dibawah pas-pasan. Ayahnya seorang tukang-jahit sederhana, yang hanya mampu menyekolahkan Tukul sampai kelas 2 SMP. Setelah itu, Tukul mbambung (menggelandang), pengangguran, tak punya kerjaan. Tahun 1979, entah siapa yang mengajak, Tukul menjadi juara lawak di kota kelahirannya, dan 1983, dia menang di tingkat provinsi, Jawa Tengah. Tahun 1985 dia hijrah ke Jakarta dan banyak profesi rendahan menjadi penyambung hidupnya di ibukota, seperti kenek bis kota, supir, figuran, bahkan pernah menjadi preman Blok M. 13 tahun kemudian, Tukul baru berkenalan dengan grup Srimulat di Taman Ria Senayan dengan honor pertamanya Rp 75.000 per bulan. Semenjak 2006, dia mengasuh acara BEM, yang tanpa diduga meledak. Rating utama di prime time diraihnya dan, konon, Tukul pernah berhonor Rp 40 juta sekali episode. Kalau rata-rata dia manggung 20 kali per bulan, maka pendapatan yang diterimanya jauh diatas rata-rata gaji seorang CEO perusahaan terkenal di Jakarta. Bayangkan, dia menikmati kejayaan itu sudah menginjak tahun ke 6, dan belum ada tanda-tanda untuk surut. Bagi Tukul, humor adalah keberanian mentertawakan kekurangan diri sendiri. Humor adalah introspeksi, humor adalah cermin, alat untuk bisa menandai kekurangan diri sendiri dan memperbaikinya. Humor dapat menyeimbangkan kehidupan manusia bahkan menyehatkannya. Humor, selain mampu mencairkan hubungan persaudaraan Malaysia-Indonesia, juga berhasil membuat industri lawak di Indonesia bertengger di kelas istimewa.  Grup lain yang mengikuti jejak Tukul, masih di stasiun TV yang sama, adalah Opera Van Java (OVJ). Komedi ini digawangi oleh Parto, Andre, Sule, Aziz Gagap dan Nunung, dan tayang 5 malam dalam seminggu. Tak ayal lagi, tokoh kunci di OVJ adalah Sule. Bernama asli Entis Sutisna, pria Sunda berambut panjang keperakan ini, ditaksir berpenghasilan Rp 1 M per bulan dari pelbagai acaranya di TV. 5 tahun yang lalu, Sule hanyalah seorang pedagang jagung rebus keliling kampung, yang kemudian beralih sebagai pedagang ayam goring kelas murahan. Pengagum pelawak kang Ibing ini, bahkan baru berpenghasilan Rp 20 ribu per hari pada tahun 1997, ketika dia berperan sebagai pelawak udik yang ngider dari kampung ke kampung.  Apa yang menjadi benang-merah antara BEM dan OVJ sehingga bisa meraih sukses seperti ini? Beberapa pengamat humor menyimpulkan bahwa pola dan lagak ragam BEM maupun OVJ, menarik garis putus-putus dari grup Srimulat. Grup lawak yang fenomenal ini, berdiri sejak tahun 1950, meskipun kemudian harus mati di tahun 1990 an, sempat menggoreskan tradisi humor yang kadung melekat bagi masyarakat Indonesia, suku Jawa pada khususnya. Ia melahirkan pelawak-pelawak handal pada zamannya, seperti Gepeng, Johny Gudel, Tarzan, Asmuni, Tessy, Timbul, Basuki, Nunung dan masih puluhan atau mungkin ratusan lagi. Semuanya menjadi trade mark humor pada zamannya. Lantas siapa dibalik ini semua? Dia adalah Teguh, anak Go Bok Kwie dan bu Ginem. Teguh adalah suami sambung Yu Srimulat, tokoh komplet pendiri grup Loka Ria Srimulat. Teguh ahli memainkan beberapa alat musik, bertindak sebagai penulis script, sutradara, bahkan merangkap penata panggung dan piñata musik. Teguh merupakan CEO handal, yang selain mampu membentuk talent pool secara moderen, juga piawai dalam me-manage organisasi Srimulat yang kompleks, dengan rapi. Saya yakin bahwa pak Guh, demikian anak buah memanggilnya, tidak pernah belajar teori musik di konservatorium, atau magang di sekolah managemen manapun. Tetapi fakta berbicara bahwa Srimulat tidak pernah kehabisan stock akan pelawak dan pemusik besar. Srimulat tidak pernah khawatir mengalami apa yang disebut sebagai talent war, atau the rare of professional, seperti yang kini banyak diderita oleh perusahaan-perusahaan terkemuka dunia. Pelawak besar Srimulat akan padam secara perlahan namun pasti, ketika dia keluar, meninggalkan Srimulat. Seorang pelawak Srimulat menjadi besar, karena institusi Srimulat dibawah leader pak Teguh yang menciptakan dan membinanya. Teguh mempunyai konsep tentang industri humor dengan sangat sederhana, dan menjalankan roda organisasinya secara konsisten mengikuti paham itu. Lucu itu aneh - Aneh itu lucu.  Begitulah Teguh berpegang agar industri yang dipimpinnya terus maju dan bahkan sempat berjaya di 4 kota besar di pulau Jawa, Surabaya, Solo, Semarang dan Jakarta, hanya dengan pemikiran yang sederhana tentang suatu industri, suatu seni, suatu kebudayaan dan akhirnya suatu kemanusiaan.  Satu hal yang Teguh gagal dan membuat Srimulat mati adalah bahwa dia tidak berhasil mencetak pengganti dirinya. Drama Srimulat tamat ketika pak Teguh meninggal dunia. Srimulat tutup karena ditinggal Teguh, bukan karena kalah lucu dibanding grup yang "manggung" di bangunan megah samping gedung pertunjukannya, Taman Ria Senayan, seperti jokes yang sering kita dengar.  Kalau Tukul bisa membuat Duta Besar Malaysia sudi datang menjadi tamu di BEM, kalau Sule berhasil mengungguli gaji seorang CEO, kalau Teguh sukses bersanding dengan Jack Welch dalam mengelola organisasinya, mengapa kita sering meremehkan atau bahkan melupakan humor? Mengapa kita tidak lari ke humor ketika kekerasan ada dimana-mana dan menghadang di depan mata? Mengapa kita tidak mencari kejeniusan dan local wisdom versi humoris, yang sering katrok, dengan berpikir sederhana dan tidak njlimet ketika krisis melanda organisasi yang kita pimpin? Humor yang menghasilkan geeerrr bahkan ditandai para psikolog sebagai jalan keluar yang ampuh untuk meredam hectic dan menyembuhkan fatigue bahkan secara fisiologis dapatmembuat puluhan otot-otot di wajah kita menjadi rileks. Tak heran bahwa Henry Ward Beecher (1813-1887), seorang pembicara dan sosiolog terkenal Amerika, mengatakan bahwa : A person without a sense of humor is like a wagon without springs. It's jolted by every pebble on the road (Seseorang tanpa rasa humor bagaikan cikar tanpa pegas. Ia akan gampang diguncang oleh kerikil kecil di jalanan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H