Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Gorong-gorong

4 November 2011   01:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:05 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah yang semula biasa-biasa saja, minggu-minggu ini menjadi populer di media masa.  Banyak koran menjadikannya  berita-utama, stasiun TV menyorotnya dan masyarakat menggunjingkannya.  Ada apa dengan gorong-gorong hingga menjadi begitu terkenal?  Ini gara-gara pengerjaan drainase  di sepanjang Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta yang serabutan dan mengakibatkan kemacetan kendaraan yang luarbiasa, hampir setiap saat.  Konon gorong-gorong sedang digarap agar banjir di Jakarta bisa berkurang.  Dan seperti biasa, pengerjaan proyek di Jakarta selalu mis-koordinasi, berlarut-larut, berantakan  yang membuat masyarakat kalang-kabut.  Itulah mengapa gorong-gorong menjadi kosa-kata yang paling sering disebut atau ditulis orang pada minggu-minggu ini.  Masyarakat berdesah, pengendara gelisah, polisi lalu-lintas mukanya memerah dan akhirnya, kita semua marah.   Itu berawal dari ketidak-becusan Pemda DKI mengurus  public service.  Kondisi itu sudah berlangsung  sejak  lama, dan naga-naganya akan berlangsung untuk selama-lamanya. Puncak ketenaran gorong-gorong Sudirman terjadi Minggu, 30 Oktober 2011, siang, ketika Gubernur DKI, Fauzi Bowo  melakukan peninjauan lapangan.  Bagaikan dewa penyelamat yang innocent, malaekat suci tanpa  cela dan seolah-olah tak tahu apa yang sedang terjadi, pak Gubernur mulai membangun pencitraan.  Di media masa, dia  menyatakan telah menegur dua anak-buahnya yang dianggap lalai dan untuk itu dia minta maaf.  Kedua aparat Pemda, yaitu Dinas Perhubungan dan Dinas Pekerjaan Umum dinilai tidak melakukan koordinasi internal, apalagi eksternal. "Kurang sinkron.  Akan jadi pelajaran ke depan", demikian Gubernur menyimpulkan kunjungan lapangannya. (Koran Tempo, 31 Oktober 2011).  Koordinasi menjadi binatang bernama kambing-hitam, yang sepertinya bukan urusan sang kepala.  Koordinasi memang suatu aktivitas yang menjadi begitu mahal dan sulit dilakukan oleh kebanyakan urusan di Indonesia. Persoalan kemudian (dianggap) selesai dan seolah-olah karut-marut di pinggir jalan protokol terbesar di Jakarta itu menjadi beres.  Padahal, sampai tadi pagi, 5 hari setelah proyek ditinjau Gubernur, kemacetan di TKP tambah menjadi-jadi.  Kemaren sore, ketika hujan turun mengguyur bumi, puluhan,  ratusan atau mungkin ribuan kendaraan roda dua dan empat berkecamuk di sana, seperti bebek-bebek yang mencari cacing di pematang sawah.  Tanah berlumpur, basah, plus genangan air di berbagai tempat, menambah semarak sore dan malam itu.  Pejalan kaki adalah korban yang paling sengsara, karena air hujan dari atas, lumpur di telapak kaki dan gemuruh kendaraan bermotor di samping kanan-kiri seolah-olah mencengkeram nyawa mereka.  Trotoar tempat mereka berjalan menyempit, itu pun masih diserobot pengendara motor yang tak sabar antre di jalur lambat.  Lengkap sudah nasib mereka di bumi tercinta yang penderitaannya tidak pernah digubris negara.  Namun nampaknya Pemda tetap bergeming.  Usaha-usaha yang mengarah ke perbaikan managemen-proyek belum tampak dilakukan. Korban gorong-gorong, sebetulnya sudah sangat banyak.  Beberapa contoh dapat diceritakan di sini.  "....... gorong-gorong yang melintasi Pusat Grosir Cililitan dan Jl Cililitan Kecil, Jakarta Timur, telah menelan sejumlah korban. Rio, anak jalanan yang sering berada di kawasan tersebut menjadi korban hanyut keempat".  Demikian koran on line Detiknews, 28 Februari 2010, mengabarkan.  Sebelumnya, seorang nenek, tukang bangunan dan pemulung telah hilang tak berbekas seperti lenyap di telan bumi.  Satu titik yang sama memakan korban 4 orang sekaligus, karena keteledoran pengelola negara memelihara anak bangsanya.  Mereka semua adalah rakyat Indonesia yang berhak untuk menikmati jerih payah kemerdekaan dan merasakan pembangunan.  Tapi, maut malah menjadi upah bagi mereka.  Tewas mengenaskan dan seolah tidak ada apa-apa.  Pihak yang bertanggung jawab juga juga tak merasa berdaya, mereka tetap melakukan business as usual.  Kerja seperti biasa tanpa pernah menghitung bahwa warga yang seharusnya dilindungi malah dijerumuskannya. Korban gorong-gorong lainnya menurut Kompas.com, 25 Oktober 2010 adalah Dian Nur Apniyanti (21). "Dian, yang biasa dipanggil Yanti itu hilang seketika dari pandangan Samsul tak lama setelah mereka menyusuri tepi Jalan Antasari yang tergenang air di tengah hujan lebat kemarin dengan berjalan kaki". Yanti hilang terperosok ke dalam gorong-gorong Jalan Antasari yang tertutup air ketika hujan deras kemarin. Pagi tadi, jenazah Yanti yang hanyut terbawa arus banjir itu ditemukan di tepi kali Krukut Kebayoran Baru Jakarta. Berbicara mengenai gorong-gorong, seolah-olah menghadapi suatu horor yang menyeramkan.  Sarana yang semula ditujukan untuk mencegah banjir justru memakan manusia.  Itu karena gorong-gorong tidak dirancang, tidak dibangun dan tidak dipelihara dengan semestinya.  Banyak lubang menganga  di pinggir atau bahkan di tengah jalan, karena penutup gorong-gorong hilang entah kemana.  Dan semuanya menjadi jebakan yang siap merengut nyawa manusia, siapa saja, terutama mereka yang tidak punya dan harus berjalan kaki atau lewat di atasnya.  Dianggapnya semua manusia Indonesia adalah Raden Antareja, putera sang Bima, yang sakti mandraguna dan bisa ambles masuk ke perut bumi, tanpa cedera. Kota Jakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, memang tercatat selalu alpa dalam mengelola pelayanan-umum (public service).  Kebijakan pemerintah - apakah itu pusat, daerah, tingkat satu, tingkat dua, sampai level Kecamatan dan Kelurahan - tidak pernah memasukkan faktor keselamatan, keamanan dan (apalagi) kenyaman warganya.  Apa pun rencana, dan bagaimana pun  pelaksanaan suatu kebijakan, proyek atau pekerjaan selalu meletakkan masyarakat sebagai prioritas rendah, atau bahkan paling rendah. Pertimbangan keberlangsungan suatu aktivitas meletakkan posisi masyarakat yang notabene adalah pelanggan, di tempat nun jauh di sana.  Perbaikan dan pelebaran  jalan, penanaman kabel listrik, telepon, air-bersih, gas, rencana pembuatan e-KTP atau proyek apa pun, tidak lupa untuk membuat para pengguna atau masyarakat menjadi sengsara.  Jalan aspal yang semula mulus, kemudian digali seadanya dan tidak dikembalikan seperti semula.  Singkatnya, tidak hanya masalah gorong-gorong, tetapi juga pelayanan administrasi dan fisik sangat jauh dari memuaskan. Pemerintah, yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung masyarakat justru menjadi mereka yang mencelakakannya. Iri bercampur sedih perasaan saya ketika melihat bagaimana suatu proyek  yang bersinggungan dengan pelayanan-umum dilakukan oleh pemerintah kota Singapura.  Apabila proyek harus "menyentuh" premis milik masyarakat luas, maka infrastructure untuk melindungi dan membuat mereka nyaman selalu tak lupa disediakan.  Pedestrian senantiasa dibebaskan dari kemungkinan orang celaka, prasarana  dan sarana dibuat khusus untuk mengatasi agar pekerjaan tetap lancar dan manusia yang berada di sekitar sana, sama sekali tidak terganggu.  Begitulah memang seharusnya sebuah negara, suatu pemerintah, seorang pemimpin memperlakukan rakyatnya.  Wajar kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan banyak pekerja (maksudnya : pegawai) tetapi hampir tanpa pemerintahan.  Mereka selalu absen setiap dibutuhkan dan membiarkan kita hidup sendiri-sendiri. Gorong-gorong di Sudirman memang hanya suatu gejala, hanya merupakan simtomps, suatu gunung es di atas permukaan samudra.  Di dalam sana, "gorong-gorong" yang lebih kejam menumpuk dan jauh lebih siap menerkam warganya. Ia merupakan akumulasi pemahaman yang salah mengenai siapa yang harus melayani dan siapa yang harus dilayani.  Ia merupakan tumpukan kekeliruan dari suatu pengertian mengenai tugas warga-negara dan pamong-praja.  Kesalahan dan kekeliruan yang sengaja bertubi-tubi  dipelihara karena membuat segelintir orang menjadi nyaman, dan lebih nyaman.  Jangan salahkan saya kalau kemudian memlesetkan kata gorong-gorong menjadi garang-garang atau garong-garong.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun