Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Energi

18 Februari 2016   20:28 Diperbarui: 18 Februari 2016   21:06 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tiba-tiba saya teringat saat duduk di bangku SD, puluhan tahun lampau.  Pak guru menerangkan kebutuhan manusia untuk bertahan hidup. “Agar bisa hidup layak, manusia memerlukan pangan yang cukup, sandang yang pantas dan papan yang memadai”. Cukup 3 hal, pangan, sandang dan papan.

Mungkin takut kalau para murid sulit memahaminya, pak guru meringkas dan hanya menyebut 3 kebutuhan. Padahal Maslow menyebut ketiganya sebagai basic need. Kebutuhan paling dasar dari 5 lima kebutuhan manusia yang berjenjang di atasnya.

Ajaran pak guru yang (di)sederhana(kan) tadi, mulai terasa tak cukup, seiring bertambahnya pengetahuan yang saya serap. Pertanyaan-pertanyaan lanjutan kemudian muncul bergantian. Bagaimana “trio kebutuhan” itu bisa tersedia dan dinikmati manusia? Dari mana mereka berasal?. 

Sampai kemudian, saya menemukan jawabannya. Ia adalah: “energi”.  Saya tahu, itu bukan jawaban terakhir. Masih bisa diuji lagi, agar  mendapatkan yang lebih “hakiki”. Namun saya “tak berani” dan “tak mampu” melakukannya.

Energi adalah “kebutuhan” manusia yang paling pertama dan utama.  Suatu kekuatan yang dibutuhkan agar manusia dapat melakukan berbagai proses kegiatan, termasuk “membentuk” dirinya. Berawal dari energi, yang dapat mengubah sesuatu menjadi pangan, sandang dan papan, bahkan juga kenikmatan dan kemewahan lainnya. Baru kemudian teori pak guru mendapat pijakan. Tanpa energi, manusia mati. "Energy, like the biblical grain of the mustard-seed, will remove mountains".

Tak heran, timbul kekhawatiran ketika dunia dilanda krisis energi. Bayangkan, sesuatu yang begitu kritis, tiba-tiba menjadi ancaman.  Krisis energi tak mudah diterangkan.  Ia tak berpola, sulit ditelusuri kausalitasnya. Terasa ada, terjelaskan tidak.

Minyak bumi dan gas (migas) dikenal sebagai salah satu sumber energi yang paling tua. Bersama batubara, mereka disebut energi fosil.  Yang lain adalah energi nonfosil, energi bersih atau energi terbarukan, seperti panas-bumi, bayu, ombak, air, dan nabati. Namun, ibu dari sumber energi atau sumber dari sumber energi adalah sang surya.  Energi matahari membuat semua itu ada.

Tak heran kalau migas menjadi primadona. Ia mendominasi 80% pemakaian energi dunia. Indonesia bahkan memenuhi 93% kebutuhan energi dengan energi fosil, dus hanya 7% energi bersih yang ditelannya. Bisa dihitung, betapa besar ketergantungan bangsa ini akan energi fosil yang perilakunya semakin nyleneh.

Tapi hiruk-pikuk belum usai. Cadangan dan harga migas naik-turun semaunya. Hukum supply-demand ditabrak sekenanya. Mirip seperti maneuver sopir Bajaj, yang tak satu pun orang bisa menebak arah beloknya. Tak ada ahli, sehebat siapa pun, yang bisa menduganya. Kemaren harga sangat tinggi, hari ini turun, besok sangat rendah dan lusa entah bertengger di mana. 

Kalau perilaku bengal seperti itu, plus dikenal sebagai komoditas kritis, dipakai banyak sekali orang, dominan dalam menggerakkan roda ekonomi, diperdagangkan di seluruh dunia, dipakai alat politik dan perang, tak pelak lagi, negara dengan bargaining position lemah, kelimpungan setengah mati menghadapinya.  Indonesia termasuk di antaranya. 

Ya, tapi kan ada energi bersih? Itu yang kita selama ini lalai. Dan nampaknya, kelalaian masih berlanjut. Dilema terus bergulir. Hari ini, harga migas (sangat) rendah.  Apakah Indonesia, yang setiap hari minum 1.1 – 1.2 juta barel minyak mentah, boleh gembira atau harus sedih? Tak mudah untuk menjawabnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun