Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Disiplin dan Cara Kita Melihatnya

2 Februari 2017   20:32 Diperbarui: 2 Februari 2017   20:56 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

_“Discipline is the bridge  between goals and accomplishment”_. (Jim Rohn – pembicara  motivasi dari Amerika) 

Perayaan tahun baru berlalu sudah.  Orang kembali masuk ke putaran rutinitas yang membosankan.  Resolusi yang ditulis di awal tahun, dibungkus dengan pita bunga berwarna merah muda, disimpan dalam kotak ukir, masuk ke dalam almari.  Kadang teringat, sering tidak.  

Seiring waktu, impian yang dicanangkan saat tahun baru, biasanya berangsur terbang entah kemana.  Kalau saja target terlupa,  jangan ditanya bagaimana mencapainya.  Mungkin, karena itu, Jim Rohn mengingatkan cara untuk meraih sasaran.  Kalau anda disiplin, maka tujuan mudah terwujud.  Disiplin membuat sasaran menjadi pencapaian.

Kata “disiplin” banyak dikonotasikan sebagai hal yang menakutkan.  Seperti militer yang kaku, keras dan taat aturan habis-habisan.  Pemahamannya menimbulkan perasaan antipati.  Disiplin menjadi belenggu.  Tak jarang membuat orang malah menjauhinya. 

Itulah mengapa di kalangan dunia pendidikan, “disiplin” disempurnakan menjadi “disiplin positif” (positive discipline), bukan “disiplin mati”,  sikap yang berfokus pada “ positive points of behaviour”.  Tersirat,  merupakan sesuatu yang hidup, dinamis dan membuat gairah.  Disiplin bukan harga mati.

Masyarakat Indonesia terlanjur dicap sulit disiplin.   Yang paling mudah, silakan anda lihat kondisi lalu-lintas di jalan raya.  Peraturan lalu-lintas bukan sesuatu yang mengikat dan harus dipatuhi.   Mengemudi tanpa mengindahkan rambu-rambu dan, bahkan, etika, menjadi pemandangan sehari-hari.

Disiplin tentang waktu sudah lama diganti dengan “jam karet”.    Pengingkaran budaya tepat-waktu adalah contoh nyata sikap indisipliner.  Jadwal pertemuan yang ditaati, adalah barang langka.  Membuang sampah sembarangan bukan aib.  Tisu beterbangan keluar dari jendela mobil mewah  dianggap biasa-biasa saja.  Merusak sistem antrean tak diikuti rasa bersalah.   

Masih banyak contoh soal yang merepresentasikan sikap “tidak disiplin”.  Itu terjadi tidak hanya di komunitas kecil, seperti keluarga, organisasi, perusahaan, instansi atau masyarakat RT/RW, tapi juga lingkup bangsa.  Ironisnya, indisipliner bukan hal yang aneh dan tak usah diperbaiki.  Hidup tanpa disiplin sudah biasa.

Menerapkan disiplin pada awalnya susah.   Namun, bila dicoba terus dengan konsisten dan konsekuen, yang sulit  menjadi biasa, yang berat menjadi ringan.  Bila itu dicapai, hal yang mustahil menjadi nyata.  Disiplin menjadi sarana untuk mencapai sasaran.  Disiplin membuahkan hasil yang dicita-citakan sebelumnya.

Mengapa disiplin dijauhi orang?  Pertama, karena kita tidak biasa. Sesuatu yang baru selalu membuat pening.  Hidup bahagia memerlukan pengorbanan.    “No pain no gain".

Kedua, sikap disiplin tidak menggejala, karena tidak diikuti dengan mekanisme “stick and carrot".  Orang disiplin tidak mendapat hadiah, yang indisipliner tidak dihukum.  Mekanisme “reward and punishment" menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penerapan disiplin.   “System in place” menjadi syarat mutlak.  Sistem membuahkan kebiasaan.  Sistem menciptakan budaya.  System creates culture.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun