Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Boston (3) : ERP

15 Juli 2011   01:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:40 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13106944561592905680

Pesawat United Airline dengan nomer-penerbangan UA-864, tujuan Boston-Los Angeles baru saja mengudara dari bandara Logan Boston, tepat pukul 18.15.  Kami bertiga duduk sejajar di dalam perut pesawat, dan saya berada disisi jendela.  Perasaan sedikit tidak nyaman ada dalam hati, mengingat perjalanan  yang akan kami tempuh akan memakan waktu 5-1/2 jam.  Diperkirakan UA-864 akan mendarat pukul 21.15, setelah dihitung adanya perbedaan waktu Boston dan LA.  Setelah menikmati snack and drink yang disajikan, kami bersiap-siap tidur, dan memang benar, kami tertidur lelap.  Belum terasa lama memejam mata, tiba-tiba kami dibangunkan oleh kegaduhan  yang ditandai oleh suara pramugari. "Wake up.... wake up.  Fasten your seat belt.  We will make an emergency landing".  Masya Allah, apa yang terjadi?  Dibumbui dengan kesadaran yang belum pulih benar, kami menegakkan tempat duduk, mencek seat belt yang memang tidak kami lepas sejak take off dan bersikap duduk tegak untuk siap-siap mendarat.  Ini adalah pertama kali kami mengalami pendaratan darurat, setelah puluhan atau ratusan kali berada dalam domestic dan international flight.  Pramugari hanya sempat menjelaskan bahwa ada sesuatu yang harus dicek, dan pesawat akan mendarat darurat di kota Rochester.  Pesawat tetap terbang normal, tidak ada guncangan yang terjadi, tidak ada sesuatu yang mencurigakan.  Saya terdiam, kami terdiam dan semua penumpang terdiam.  Saya tidak dapat menerka apa yang ada di benak mereka, tetapi di hati saya, semua jurus dan rumus doa yang saya hafal dan yang keluar otomatis sudah saya ucapkan.  Meskipun keadaan sunyi, tetapi penumpang nampak tegang.  Malahan pramugari dan pramugara yang justru terlihat tergesa-gesa berjalan kian-kemari, ke depan dan ke belakang, ke kanan dan ke kiri, sambil mengatur dan merapikan semuanya untuk mendarat.  Saya tidak peduli apa yang sedang mereka lakukan, melainkan hanya komat-kamit berdoa. Ternyata pesawat tidak langsung mendarat.  Setelah mengurangi ketinggian sampai daratan dan kota Rochester terlihat dari atas, pesawat berputar-putar diatas bandara Greater Rochester.  Disitulah ketegangan sebenarnya mulai terjadi.  Saya melihat 8 atau 10 truk pemadam kebakaran yang stand by di pinggir landasan, dengan lampu-putar yang berkelip-kelip.  Masih dari dalam perut pesawat, saya juga mencatat paling tidak 2 ambulans, dan 2 mobil rescue sedang siap-siap di depan terminal.  Mereka juga dilengkapi dengan lampu-putar yang justru menambah ketegangan saya.  Setelah berputar-putar sekitar 45 menit, akhirnya pesawat mulai menurun dan menurun dan akhirnya mendarat.  Semuanya normal, semuanya mulus dan penumpang bertepuk-tangan tanda kesuksesan yang berhasil ditoreh pilot.   Ketika pesawat sedang melaju di landasan pacu, truk-truk pemadam kebakaran ikut melaju di kanan dan kiri pesawat, menambah seram suasana, persis seperti yang terlihat di film action yang sering saya tonton di TV.  Akhirnya pesawat berhenti, jauh dari terminal. Pilot mengumumkan bahwa pesawat terpaksa mendarat darurat, karena tercium bau hangus di cockpit, dan tidak berhasil diidentifikasi asalnya.  Fire Department akan melakukan pemeriksaan kira-kira 30 menit, untuk mencari tahu dari mana asal bau terbakar tadi.  Tak sampai 20 menit, pesawat dinyatakan aman dan 5 menit kemudian, seorang crew dari UA naik keatas pesawat, mengumumkan bahwa para penumpang harus menginap 1 malam di Rochester, di suatu hotel yang akan diberitahu kemudian.  Besok pagi, pukul 09.30, perjalanan ke LA akan dilanjutkan lagi, dengan pesawat yang akan didatangkan dari New York.  Ternyata Rochester adalah sebuah kota kecil di New York State, dengan jumlah penduduk "hanya" sekitar 250.000 orang, akan tetapi, dan itulah hebatnya Amerika, Rochester dilengkapi dengan bandara international yang besar dan terdapat 2 Perguruan Tinggi elit, yaitu Rochester Institute of Technology dan Rochester University.  Jarak-terbang antara Boston ke Rochester hanya 1-1/2 jam, sementara dari New York memerlukan waktu sekitar 1 jam.  Infrastructure kota yang tersedia juga sangat memadai, seperti fly over, jembatan, gedung bertingkat, dan jalan-raya. Hiruk-pikuk yang saya duga akan timbul setelah penumpang tiba di terminal kedatangan, ternyata tidak terjadi.  Dengan begitu rapi, petugas langsung mengumumkan bahwa penumpang boleh mengambil bagasinya atau boleh meninggalkannya di bandara untuk langsung diangkut besok pagi.  Assignment kamar hotel langsung dilakukan di terminal, dan dengan tepat mereka bisa mengetahui jumlah anggota rombongan dari setiap penumpang.  Saya mendapat jatah kamar di Hotel Clarion, yang dilengkapi dengan extra bed,  karena memang kami bertiga.  Tak lupa diumumkan bahwa morning weak up akan dilakukan besok, pukul 05.30, untuk menikmati breakfast dan langsung check in ke bandara.  Semuanya tertata rapi, seolah-olah kejadian ini bukan suatu keadaan emergency.  Mini bus untuk mengangkut penumpang dari bandara ke hotel sudah tersedia, lengkap dengan nama penumpang di kaca jendela tiap-tiap bus.  Tak sampai 1 jam, kami tiba di hotel dan segera masuk kamar untuk istirahat.  Keesokan harinya, tepat pada waktu yang dijanjikan, kami kembali mengudara, dengan pesawat yang berbeda, dengan route Rochester-LA. Singkat cerita, proses penanganan  emergency landing pesawat UA di Rochester, dilakukan dengan sangat apik.  Terlihat bahwa mereka sangat siap menghadapi keadaan bahaya.  Saya menduga bahwa Emergency Response Plan (ERP - Rencana Penanggulangan Keadaan Bahaya)  ditulis dengan saksama, dan ini yang penting, diketahui oleh semua orang yang terkait dan dibuat latihan, drill  atau simulasi  secara periodik, untuk memastikan bahwa  rencana tersebut bisa dijalankan dengan lancar ketika keadaan bahaya benar-benar terjadi. Tidak ada kebingungan, tidak ada teriakan, tidak ada protes dan tidak ada orang yang dibuat menderita, tidak ada penumpang yang merasa dirugikan.  Semuanya bisa memaklumi, bahwa keadaan darurat sedang terjadi yang sedang ditangani dengan cara yang correct, professional dan on time. Cerita tentang pendaratan darurat dan pananganannya mengingatkan saya ketika Amerika diserang teroris, yang dikenal dengan peristiwa  "9 September Hitam".  Hampir seluruh kota New York collapse.  Listrik, saluran telepon, gas-kota dan air-bersih shutdown,  bandara ditutup. Lalu lintas KA, Metro, jalan raya, sungai dan laut dihentikan dan diperiksa dengan ketat.  Pemerintah kota gamang, tak tahu apa yang harus dikerjakan terlebih dahulu.   Untung mereka mempunyai seorang hero, yang layak disebut pahlawan penyelamat Amerika.  Dia adalah walikota New York, Rudy Giuliani.  Sesaat setelah penyeranganan terjadi, Giuliani menyatakan diri menjadi Major in Command.  Semua perintah dan arahan keluar dari kantornya, dan, lagi-lagi, ERP menjadi faktor penentu keberhasilannya.  Dia membuka ERP sektor demi sektor  dan mengikuti apa yang diperintah oleh Plan itu.  Dia membuka Posko di lantai 23, gedung 7 World Trade Centre, suatu lokasi yang pernah diincar teroris di tahun 1993, titik yang berdekatan,  dari titik dimana pesawat teroris menabrak gedung.  Protes tak dihiraukan, melainkan Major Rudy hanya memimpin dan memimpin, siaga dan siaga, bekerja dan bekerja.  Tak jarang dia harus melek 24 jam di Posko, dan tak sedetikpun memicingkan matanya untuk istirahat.  Dia berjanji bahwa dalam waktu 2 minggu, New York akan kembali seperti semula.  Keputusannya tak ada yang berwarna ragu-ragu, selalu percaya diri akan kepemimpinannya dan menjauhi pembangunan citra.  Dan itulah yang disebut sebagai leadership.  Tak disangkal bahwa dia kemudian disebut oleh Oprah Winfrey sebagai Walikota Amerika  (America's Major) dan digelari Majalah Time, 24 Desember 2001, sebagai Person of the Year 2001. Tak disangkal bahwa 1 hari setelah 9 September 2001, Giuliani, Major of America, mendeklarasikan tekadnya dan kelak membuktikannya bahwa dia adalah seorang Walikota, seorang panutan, seorang pemimpin kuat di masa krisis, dengan meneriakkan slogan yang inspiratif bagi warganya, menumbuhkan keyakinan dan memandang ke depan dengan pasti : "Tomorrow New York is going to be here. And we're going to rebuild, and we're going to be stronger than we were before... I want the people of New York to be an example to the rest of the country, and the rest of the world, that terrorism can't stop us". (Esok pagi, New York akan kembali disini.  Dan kita akan membangun kembali, dan kita akan jauh lebih kuat dibanding kemaren. Saya ingin penduduk New York menjadi tauladan bagi bangsa, bagi dunia, bahwa paham teror tidak akan mampu menghentikan kita)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun