Saya yakin anda masih ingat bintang bulutangkis Indonesia dan dunia ini. Dia pernah malang-melintang di percaturan olahraga tepok-bulu-angsa. Namanya, Liem Swie King. Pria kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 55 tahun yang lalu itu, merajai lapangan badminton di tahun 70-an. Wajahnya ganteng, badannya tegap, gayanya di lapangan gagah-perkasa seperti Raden Gatotkaca. Juara All England beberapa kali disabetnya, Piala Thomas berulang kali direbutnya. Sampai kemudian terjadi peristiwa ini di tahun 1979. Tepatnya, SEA Games X di Jakarta. Pada pertandingan babak awal tunggal putra, King harus bertanding melawan pemain Singapura, Lee Hai Tong. Musuh yang tentunya akan sangat mudah ditaklukkannya. Pertandingan dijadwalkan pukul 9.30 pagi, dan King tidak muncul pada waktunya. King kalah WO. Dia terlambat datang ke arena pertandingan. Dia baru datang 5 menit setelah wasit menyatakan King WO. Seorang juara, pemain kenamaan, idola dunia perbulutangkisan dunia, yang dikenal dengan "King smash", atau "jumping smash", harus kalah WO, karena terlambat tiba di lapangan. Alasannya pun sangat sepele, dia terlambat bangun, kesiangan. Tetapi masalahnya bukan hanya sampai disitu, pesannya tidak sampai di kalah WO atau kesiangan. Ketika dia muncul di lapangan dengan wajah lesu, sang pelatih, Tahir Djide langsung menamparnya beberapa kali. King tertunduk diam, dan menerima hukuman itu dengan ikhlas. Dia mengaku salah. Seorang juara dunia Bulutangkis, pemain kenamaan, atlet terkenal, menerima tamparan dari seorang Tahir Djide, yang bahkan tidak pernah dikenal sebagai pemain bulutangkis kapan pun. Tapi, Djide adalah seorang pelatih, seorang coach, seorang guru yang sangat dibutuhkan oleh si atlet. Dan sehebat apapun King, dia sadar bahwa dia harus didampingi oleh pelatih, orang seperti Tahir Djide. (Buku : Panggil Aku King, hal 133) "Pak Tahir Djide sudah saya anggap sebagai ayah saya. Beliau lebih mengenal saya dibandingkan papa saya. Karena selama 15 tahun saya bersama dengan beliau", begitu King pernah berujar dalam salah satu kesempatan. "Dia membentuk saya menjadi juara. Kalau saya bermain bagus, pak Tahir akan sangat bangga. Tanpa dia saya tidak berarti apa-apa". Ternyata paradigma ini bukan milik King seorang. Semua atlet atau tokoh-tokoh sukses lainnya (sangat) memerlukan coach. Dan itu memang terbukti. Salah seorang atlet Golf dunia yang sekarang menjadi salah satu orang terkaya di dunia, Tiger Wood, juga mempunyai seorang pelatih. Hank Haney melatih Wood sejak 1995, dan terus melatih sampai akhirnya mereka berpisah, di tahun 2010, karena adanya perbedaan pendapat antara keduanya. Beberapa swing milik Wood lahir dari polesan Hank. Sama seperti King, Wood juga mengakui bahwa tanpa Hank dirinya tidak akan menjadi juara dunia sampai beberapa kali. Masih banyak kisah bagaimana orang besar atau orang menjadi besar karena membutuhkan coach. Rudy Hartono, sang juara All England 9 kali ternyata mempunyai pelatih yang secara fisik kelihatan ringkih. Dia adalah pak M. Irsan, yang kemudian dikenal sebagai pelatih bertangan dingin karena melahirkan pemain-pemain dunia lainnya selain Rudy. Mohammad Ali sangat bergantung dengan Angelo Dundee, sang pelatih, ketika dia merebut juara dunia sejati, selama beberapa perioda dari 3 Asosiasi Tinju Dunia. Bahkan Mother Teresa, yang dianggap Santa (orang suci) oleh banyak orang yang percaya, sampai akhir hidupnya selalu didampingi bapa-pengakuan, yang berfungsi seperti coach. Bung Karno dan Pak Harto, selama menjabat sebagai Presiden RI, juga dikabarkan sering bertandang ke daerah-daerah terpencil di Jawa-Tengah dan Jawa-Timur untuk mengunjungi dan meminta pendapat para penasehat spiritualnya. Mengapa seorang atlet yang hebat seperti King, Rudy atau Ali masih membutuhkan seorang coach? Mengapa sang pelatih bisa membentuk coachee-nya menjadi juara? Mengapa seorang coach yang bahkan tidak pernah dikenal sebagai pemain bulutangkis bisa membuat seorang atlet menjadi kampiun di bidangnya? Pertama, karena tidak ada manusia di dunia ini yang sempurna. Sehebat apapun permainan King, setinggi apapun bakat Rudy atau "sesuci" apapun Mother Teresa berkiprah di dunia sosial, mereka tetap manusia biasa yang mempunyai weaknes dan sisi-sisi negatif. Kedua, karena keterbatasan makhluk yang disebut manusia, ia mempunyai "daerah-buta" yang dikenal sebagai blind spot.  Daerah-buta adalah sebuah area yang sulit dijangkau oleh panca-indera, oleh rasa dan oleh karsa manusia karena adanya perceptual interpolation. Biasanya, blind spot dengan mudah dijelaskan dengan apa yang disebut sebagai "Kanizsa Triangle", sebuah pendekatan yang diperkenalkan oleh Tuan Kanizsa (1979), yang menggambarkan adanya segitiga imajiner, akan tetapi seolah-olah ada dan begitu mudah ditangkap oleh mata manusia. Celakanya, setiap manusia mempunyai "kelemahan" ini masing-masing, dalam bentuk dan skala yang berbeda-beda. Daerah-buta atau spot blind hanya bisa "disangkal" oleh dirinya bila ia mendapat bantuan dari "orang lain", yang secara khusus bertugas membantunya menemukan segitiga-Kanizsa. Blind spot hanya bisa diketemukan dan dihilangkan apabila ada orang lain yang membantu. Daerah-buta bisa diatasi bila seseorang yang "berbeda persepsi" mampu menemukannya dan si coachee mau menerima apa yang ditunjukkan oleh sang coach. Itulah mengapa (semua) manusia memerlukan coach. Fenomena coach-coachee ternyata tidak hanya monopoli para atlet saja. Saat ini, sudah menjadi gejala umum bahwa seorang CEO atau pimpinan perusahaan level dibawahnya, mempunyai seorang executive coach (EC). Sama seperti fungsi coach di bidang olahraga, EC juga bertugas mengamati blind spot yang dimiliki oleh "anak asuh"-nya, kemudian mencari jalan-keluar bagaimana daerah-buta tadi menjadi lebih benar persepsinya. Atlet, tokoh politik, eksekutif perusahaan bahkan para pekerja staf di suatu perusahaan, atau siapapun anda, mungkin manusia biasa-biasa saja, mutlak membutuhkan coach. Dengan kompetensinya, dengan atensinya, dengan ketelatenannya, dia dapat membantu anda keluar dari daerah-buta. Apabila saat ini, anda, apapun fungsi dan level di suatu organisasi atau masyarakat, tidak mempunyai coach, maka selain anda dianggap sebagai sombong, juga sulit untuk menghilangkan daerah-daerah buta dalam bawah sadar anda, sehingga sulit pula untuk maju. Persoalannya adalah, bagaimana anda bisa mempunyai coach, apabila anda bukan siapa-siapa. Mana mungkin ada orang yang mau membantu anda dalam menemukan dan menghilangkan blind spot? Caranya begitu sederhana. Orang tua adalah coach kita pertama dan utama. Sering dia menjadi psikolog atau pelatih-hidup yang paling dekat. Namun sering mereka tidak menyadari fungsi itu. Untuk itu, memasukkan pemahaman fungsi coach pada tugasnya harus sering dilakukan. Jalan keluar lainnya adalah mencari sahabat yang mempunyai satu panjang gelombang, dalam melihat hidup kita. Dia, apabila mau, akan gampang mendampingi anda dalam menguak daerah-buta, atau, yang terakhir, pemuka agama atau kaum tetua yang anda rasa bisa dekat dan compatible dengan anda. Blind spot adalah suatu keniscayaan yang dimiliki setiap manusia, ia menghalangi kelancaran anda untuk maju. Jalan keluarnya sudah tersedia, tinggal apakah anda mau menggunakannya atau tidak. Selamat mencoba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H