[caption id="attachment_316330" align="aligncenter" width="451" caption="http://knightnews.com/wp-content/uploads/2013/09/HK_Starbucks_Coffee_in_Caine_Road.jpg"][/caption] Di kawasan Bintaro berdiri 2 perumahan elit yang cukup terkenal di Jakarta. Mereka adalah "Bintaro Jaya" dan "Bintaro Permai". Keduanya jelas bukan kelas BTN, apalagi RSS. Mungkin lebih tepat disebut perumahan kelas menengah atas. Meski ada di sekitar sana, sayang, kami tidak tinggal di kedua perumahan itu. Rumah kami terletak di sebuah jalan-kampung, sekitar 1 kilometer dari kedua real estate tadi. Namanya gang PLN. Saya sering bingung menjawab saat ada pertanyaan dari teman, di Bintaro, sektor mana saya tinggal. Sektor adalah tanda lokasi di perumahan tadi. Padahal alamat rumah kami tak bersektor. Masih dengan gaya canda, saya menukas, "Rumah saya di Bintaro tidak Jaya". "Oh, kalau gitu, di Bintaro Permai"?, demikian biasanya sang teman mengejarnya. "Bukan juga. Saya tinggal di Bintaro tidak Permai". Jelas, itu membuat sang teman tambah bingung, tapi begitulah resiko tinggal di kawasan Bintaro, yang tidak jaya dan tidak permai. Alamatnya membikin bingung banyak orang. Untung, meski tinggal di perkampungan, kami ikut menikmati fasilitas kedua perumahan tadi. Diantaranya adalah mall dan restauran. Juga café dan gerai waralaba lainnya.   Salah satu gerai elit yang prestisius, yang berdiri di sana adalah Starbucks. Anda tentu sepenuhnya mahfum, bahwa ini adalah kedai kopi biasa, meski datang dari negara super moderen, Amerika. Hebatnya,  di Bintaro, dalam kawasan seluas dan seramai setara dengan 2-3 kecamatan, terdapat 3 gerai Starbucks. Ketiganya hampir selalu ramai, terutama saat akhir minggu atau hari libur. Khusus akhir pekan, salah satu gerai bahkan buka 24 jam. Minum kopi - sesuatu yang dulu di Indonesia hanya dilakukan oleh orang-orang tua - kini bergeser menjadi sebuah kebiasaan. Lintas umur, tak peduli anak kecil, remaja, dewasa atau, apalagi, kaum sepuh. Semua suku di Indonesia, mengenal kopi sebagai minuman harian. Tak terdengar ada suku yang pamali minum kopi, atau (aliran) agama yang mengharamkannya. Kopi adalah minuman universal, yang boleh diteguk secara terbuka oleh hampir semua lapisan manusia. Banyak teman yang malah masuk dalam kategori kecanduan. Lepas anda suka atau tidak dengan rasa kopi Starbucks, ia telah menjadi market leader komoditi "minum kopi" dunia. Ia menjadi semacam Mc Donald untuk hamburger atau KFC untuk ayam goreng. Starbucks menjadi ikon minum kopi bahkan minuman pada umumnya. Kini, seperti kedua waralaba makanan Amerika tadi, Starbucks merambah masuk Indonesia. Menyebut Sturbucks, tak mungkin tidak mengingat siapa yang membesarkannya. Dia adalah Howard Schultz, saat ini, CEO dan salah satu pemilik Starbucks International. Dia mengatur Starbucks di seluruh dunia dari kantor pusatnya di Seattle, Washington, Amerika Serikat. Schultz bergabung dengan Starbukcs tahun 1982, saat itu baru 4 gerai, padahal, Starbucks sudah berumur 11 tahun. Sebelum dia bergabung, Starbucks bukan sebuah merek yang menjanjikan. Hanya kedai kopi yang banyak pelanggannya, tetapi sulit untuk berkembang. Setelah era Schultz mulai, baru Starbucks tumbuh dengan pesat. Tetapi, Starbucks bukan tanpa hambatan. Ia tidak besar seperti sekarang dengan proses yang mulus dan lancar.  Di sana-sini diwarnai onak duri yang meramaikan perjalanan kejayaan Starbucks. Pengalaman pahit dimulai sepeninggal Schultz di tahun 2000. Ia mulai mencatat kemunduran yang mengkhawatirkan. Nilai penjualan merosot, harga saham jatuh drastis, moral pegawai di titik nadir. Itulah sebabnya mengapa Howard Schultz, yang sudah pensiun, ditarik kembali. Langkah dramatis dilakukan Schultz, ketika pada suatu petang, 26 Februari 2008, dia menutup 7.100 gerai di seluruh Amerika. Pengumuman yang ditempel di semua pintu gerai hanya menyebutkan : "Kami memerlukan waktu panjang untuk menyempurnakan Espresso kami. Espresso yang dahsyat menuntut latihan yang keras. Itu sebabnya kami sengaja menempa diri guna meningkatkan kemampuan bisnis kami". Sejak itu, Schultz mulai menggulung lengan baju, cantut tali wondo. Dia melakukan pelatihan besar-besaran terhadap puluhan ribu "barista"-nya. Schultz blusukan ke hampir semua gerai Starbucks di Amerika, untuk memastikan bahwa proses pembuatan minuman dilakukan sesuai standar yang benar. Yang paling esensial, dia mengubah paradigma. Starbucks tidak melulu jualan kopi, tetapi ia membangun lingkungan yang harmonis untuk menjalin sebuah persahabatan. Kopi hanya bagian dari paradigma yang hendak diciptakan. Usaha Schultz tidak sia-sia. Starbucks yang hampir mati, berjaya kembali. Beberapa catatan prestasi bisa disebutkan di sini. Tahun lalu, Starbucks mencatat memiliki lebih dari 21.000 gerai yang tersebar di 62 negara. Di Indonesia, ada lebih dari 100 gerai tersebar di banyak kota besar. Mereka memperkerjakan 150.000 "barista" dengan pelatihan yang mumpuni tentang bagaimana membuat kopi yang mendukung lingkungan yang bersahabat. Tahun 2012, mereka mendapatkan net income sebesar USD 1.38 milyar, dengan total revenue USD 13.39 milyar. Tidak hanya angka statistik. Kopi Starbucks telah menjadi budaya, bahkan peradaban. Ia bukan sekedar obat penghilang haus, atau pengusir rasa kantuk, tetapi menjelma sebagai life style. Minum kopi Starbucks adalah gengsi bahkan harga diri. Ia merepresentasikan status sosial dan selera lingkungan tertentu. Harga segelas kopi Starbucks di Indonesia, yang termurah, 20 kali lebih mahal dibanding kopi yang dijual di pinggir jalan. Tetapi pembeli Starbucks tak pernah sepi. Starbucks sedang mencorong. Semuanya diraih dengan kerja keras seluruh tim yang ada dalam organisasi itu. Ia menjadi image kopi dunia, dituntun oleh cita-cita yang melangkah jauh ke depan oleh seorang CEO visioner, Howard Schultz. Starbucks adalah Schultz, dan Howard Schultz adalah Starbucks. Beberapa pelajaran dapat ditarik dari kisah sukses Starbucks. Pertama, meski ini sebetulnya ungkapan klise, tapi sulit untuk dijalankan dan dicerna otak dan hati manusia biasa. "Kegagalan adalah hal yang biasa. Tetap berusaha untuk terus bangkit adalah hal yang luarbiasa". Andai saja pendiri dan pemilik Starbucks saat itu, (Jerry Baldwin, Gordon Bowker, dan Zev Siegl) tidak segera menyadari tanda-tanda merosotnya prestasi bisnis Starbucks dan melakukan langkah-langkah penyelamatan yang jitu, mungkin hari ini kita tidak bisa minum kopi Starbucks lagi. Kedua, memilih kembali Howard Schultz, yang telah 8 tahun absen, merupakan langkah yang tepat, meski berat. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ketiga pemilik melakukan diskusi yang melelahkan dan adu argumentasi yang hangat, untuk sampai pada keputusan itu. Saat ini, semua orang memuji langkah mereka. Tapi, saat itu, ia bukan merupakan keputusan yang ringan dan gampang untuk diambil. Dia dipilih kembali terutama bukan karena kecakapannya, tetapi karena mereka percaya akan tata-nilai Starbucks yang dianut oleh Schultz. Ketiga, Starbucks mempunyai kultur yang demikian kuat. Tata-cara organisasi boleh berubah. Gaya managemen silakan berbeda. Anggota tim selalu berganti. Tetapi, spirit dari Starbucks harus tetap dipegang teguh. Roh yang terinternalisasi di dalamnya selalu menjaga tubuh Starbucks. Spirit ini telah melahirkan Starbucks. Dengan spirit yang sama, kemudian melahirkannya kembali, saat ia dalam ancaman bahaya. Starbucks selamat dan sukses bukan karena Schultz, tetapi karena ia memegang teguh spirit yang pernah diikrarkan bersama. Hari ini, remaja dan anak muda di Jakarta berebut segelas kopi Starbucks. Mungkin mereka tak peduli, bagaimana Starbucks jatuh-bangun saat menghadapi kemelut di Seattle, Amerika Serikat, sekian tahun yang lalu. Ternyata, Starbucks bukan hanya cairan kopi, yang ditampung di dalam sebuah gelas plastik, yang bisa dijual dengan harga mahal. Ia lebih dalam dan luas dari itu. Ia adalah sebuah cita-cita, tata-nilai dan kerja keras, dikemas menjadi sebuah budaya yang mendunia. "Starbucks represents something beyond a cup of coffee".(HowardSchultz) Note :
- Horward Schultz menuangkan pengalamannya memimpin Starbucks dalam sebuah buku yang berjudul "Onward" (2011). Judul ini dia pilih, karena ingin menunjukkan semangatnya untuk "maju terus-pantang menyerah", saat menghadapi kemelut di Starbucks.
- Barista = nama yang diberikan Schultz untuk memompa semangat anggota tim Starbucks yang bekerja di garis depan (front liner). Berasal dari bahasa Italia untuk sebutan seorang penyeduh kopi yang sudah bertaraf "seniman".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H