Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Austria

24 September 2010   02:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:01 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sayang restoran itu sudah tutup.  Ketika masih buka, masakan yang disajikan disitu, diantaranya Wiener Schnitzel (daging sapi muda), Rindsuppe (sup daging sapi), dan Beuschel (daging cincang berbumbu gurih) selalu menggoda selera kuliner saya, untuk mencicipinya. Ia adalah Café Wien.  Sebuah restoran di pusat perbelanjaan Plaza Senayan, di bilangan Jakarta Selatan, yang mengambil nama ibukota Austria, Wina, atau Vienna atau Wien. Karena kesengsem masakan  Austria di Café Wien, saya mulai penasaran dan mencari tahu apa kekhasan, dimana letak dan bagaimana masyarakat  Austria itu.  Sampai suatu saat, kurang lebih 4 tahun lalu, saya beruntung  mendapat kesempatan mengunjungi Wina untuk menghadiri suatu konferensi internasional, tentunya dengan predikat abidin (atas biaya dinas).   Pesawat Emirates Boeing 777-300 ER dengan nomer penerbangan EK 359, Jakarta-Dubai-Wina, akhirnya mendarat  di bandara Schwechat, di suatu hari Sabtu, sekitar pukul 09.00 pagi.  Tidak terlalu lama untuk mencapai hotel yang telah kami pesan sebelumnya, yang terletak tepat di jantung kota Wina.  Kesan pertama  di pagi hari libur, Wina adalah kota tua yang bersih, tertib dan rapi.  Jauh dari hiruk-pikuk kota metropolitan, seperti Jakarta, Tokyo atau New York.  Karena lelah menempuh perjalanan 15 jam dari Jakarta, setelah check in dan sarapan pagi di hotel, saya tertidur sampai menjelang sore.  Pukul 4.00, saya jalan-jalan untuk menjelajahi kota Wina, sight seeing, sebelum terbelenggu waktu  konferensi, yang dimulai Senen pagi.  Tak jauh dari hotel, hanya kurang-lebih 15 menit berjalan kaki, saya temui sebuah gereja Katolik yang megah dan besar.  Gereja yang kira-kira berukuran 3 kali gereja Katedral, di lapangan Banteng, Jakarta, berbentuk gothic dan klasik, khas gereja kuno di kawasan Eropa.  Ia adalah Katedral Santo Stephanus (St. Stephen's Cathedral).  Sore itu, gereja Katedral Santo Stephanus sedang bersiap-siap menyelenggarakan misa Sabtu sore.  Sebuah misa yang disamakan dengan misa hari Minggu.  Saya masuk ke dalam, dan ingin ikut misa di sebuah gereja yang dibangun pada awal abad 12.  Misa dimulai pukul 5.30, dipimpin seorang Pastor yang sudah tua, kira-kira berumur 70 tahun.  Mereka menggunakan bahasa Jerman, bahasa resmi Austria, yang tentu saja tidak saya mengerti maknanya.  Doa-doa baku dan nyanyian gerejawi tetap saya ucapkan dalam bahasa Indonesia, karena tata-cara liturgi dan lagu yang didaraskan sama persis dengan apa yang ada di gereja-gereja Katolik di Indonesia.  Yang menjadi pertanyaan besar di hati saya adalah, gereja yang kira-kira berkapasitas 900-1000 orang, hanya diisi  tak lebih dari 75 umat.  Lebih dari separuhnya kulit berwarna.  Bandingkan dengan gereja Santo Mateus Bintaro, Tangerang Selatan, yang setiap kali misa mingguan, dihadiri oleh tak kurang dari 900-an umat, sedangkan setiap minggu diselenggarakan 5 misa-kudus.  Austria, yang 90% penduduknya beragama Katolik, dengan gereja Katedral St Stephanus yang megah, benar-benar miskin dalam jumlah umat yang hadir pada misa sabtu-sore itu.  Misa berlangsung hanya selama 45 menit, atau 30 menit lebih cepat dibanding waktu misa    di kebanyakan gereja di Jakarta.  Ketika misa selesai, diluar gereja saya bertemu dengan 2 orang calon pastor, yang masih cukup muda, kira-kira 30 tahun.  Cukup mengagetkan bahwa di benua Eropa masih ditemukan (calon) Pastor yang masih sangat muda, karena selama ini bayangan saya untuk seorang Pastor di Eropa adalah mereka yang sudah sepuh.  Setelah mengenalkan diri secukupnya, dan berbasa-basi sebentar, saya memberanikan diri untuk bertanya, "Romo, mengapa di Austria, jumlah umat yang hadir di misa mingguan sedikit sekali?, sementara di negara saya gereja selalu penuh, bahkan sampai duduk di luar gedung gereja".  Sang Pastor muda menukas dengan sedikit khotbah, tapi masih dengan nada rendah dan cukup berhati-hati. "Mungkin orang Austria berpendapat bahwa semakin banyak orang mencurahkan waktu dan perhatian untuk Tuhan, semakin sedikit waktu dan perhatian untuk sesama".  Saya terhenyak dan dibuat shock.  Pertanyaan yang saya lontarkan dengan nada bangga mengenai situasi keberagamaan (Katolik) di suatu negara yang dia bahkan tidak mengenalnya, dijawab telak oleh Pastor muda, dan membuat saya tersipu-sipu malu.  Saya langsung pamit dan minta diri, setelah sang Pastor sempat mengucapkan kata-kata perpisahan khas seorang Pastor, "Semoga anda senantiasa mendapat berkat dari Tuhan kita". "Amin", jawab saya sambil cepat-cepat balik kanan, dan ngeloyor pergi.   Sambil berjalan pulang menuju hotel, saya merenung kata-kata bijak dari Pastor muda tadi.  Mungkin ada benarnya apa yang dipikirkan oleh orang-orang Austria.  Karena setiap saya pulang dari gereja Bintaro, dijumpai lalu-lintas yang macet karena kendaraan umat yang keluar dari gereja saling serobot dan tak mau mengalah satu sama lain.  Sementara lalu-lintas di Wina, meskipun  padat, tapi tetap diwarnai antrian dan tertib.  Pengemis dan anak jalanan tidak terlihat,  jalur orang bersepeda difasilitasi dengan jelas, dan penyeberang jalan, kaum disabled serta orang-orang tua dihormati oleh pengguna jalan lainnya.  Ketika  berjalan menuju hotel, saya melewati sebuah taman-kota yang sangat asri. Rumput menghijau dan bunga berwarna-warni, beraneka-ragam, disana-sini. Tertata dan terpelihara sangat baik. Saya sempat duduk di bangku taman, sambil menyaksikan orang Wina yang bergembira menikmati keindahan taman bunga, yang entah bisa saya temui dimana, di kota Jakarta ini.  Saya terus berjalan menuju hotel dan masih menyaksikan banyak kejadian, yang dengan malu-malu, harus saya akui titik-titik kebenaran pendapat orang-orang Austria yang disinyalir oleh sang Pastor, bahwa masyarakat Wina lebih banyak  menghormati kemanusiaan dan menempatkan sesama sebagai subyek yang harus diberi kepedulian, meskipun gerejanya kosong, ketika misa mingguan.   Minggu pagi, ketika ingin berjalan-jalan keliling kota Wina, saya menggunakan angkutan bis kota, yang terminalnya tersedia pas di depan hotel.  Terlihat angka digital yang menunjukkan waktu  kedatangan bis berikutnya, dan keberangkatannya kembali.  Angka digital menunjukkan pukul tertentu, lengkap dengan menit dan detiknya.  Tepat 3 menit sebelum bis itu dijadwalkan berangkat, entah dari mana, tiba-tiba sebuah bis berhenti di depan terminal.  Saya buru-buru naik, dan tepat 3 menit kemudian bis berangkat kembali.  Bahkan sampai jadwal keberangkatan sebuah bis kotapun, Wina memilih untuk tepat waktu, sampai hitungan detik.  Masih banyak cerita yang membuat saya, sebagai penduduk kota Jakarta, iri.  Pertunjukan opera yang sangat cantik dan dikelola dengan saksama, stasiun KA Wien Westbahnhof yang bersih, teratur dan tepat waktu, kota Salzburg, 300 km dari Wina, yang sangat indah, tempat kelahiran musisi-musisi kelas dunia seperti Mozart, Schubert dan Vivaldi serta lokasi shooting film legendaris, Sound of Music  yang seolah melihat film dalam dunia nyata, sampai teguran seorang nenek, tanpa diminta, yang menanyakan :  "Are you lost young man? Where are you going? May I help you?",  ketika dia melihat saya clingukan mencari petunjuk jalan menuju gedung tempat biasa diadakan festival Bregenz (Bregenzer Festspiele),  pertunjukan  seni yang diselenggarakan setahun 2 kali.   Kontroversi mengenai mana yang  lebih penting antara menghadiri misa-kudus atau menghormati sesama, mengingatkan saya akan sebuah artikel tulisan Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, dosen Fakultas Kedokteran UI, yang dimuat beberapa tahun lalu di sebuah majalah terbitan ibukota, berjudul : Ke AS Bertemu Islam, ke Arab Bertemu Muslim.  Dari judul artikel tersebut dapat ditebak bahwa Prof. Hasbullah menenggarai kontradiksi antara masyarakat AS yang sekuler tetapi  humanis, dibanding masyarakat Arab yang sebaliknya.  Orang cenderung memilih hanya salah satu diantara 2 yang seharusnya dipilih bersama-sama, karena pilihan pertama jauh lebih mudah dibanding  keduanya.  Tak heran kalau ada pepatah bahasa latin yang mengingatkan kita akan hal ini, yang dalam bahasa Inggris kira-kira berbunyi : God is glorified when men respect one another (Tuhan dimuliakan apabila sesama manusia saling menghormati).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun