Apa kesan anda bila mendengar kata “Hiroshima”?. Orang akan segera menjawab : “Bom atom dahsyat dengan banyak sekali korban orang tak berdosa”.
Lebih dari itu, bagi yang tertarik lebih dalam, kota Hiroshima sering dikaitkan dengan kedahsyatan senjata nuklir, kebiadaban perang dan kehancuran peradaban manusia.
Tanggal 6 Agustus 1945, dini hari, pesawat bomber Amerika B29, “Enola Gay”, dipimpin Kolonel Paul W. Tibbets, take off dari pangkalan militer North Field, Tinian, Guam, dengan komando operasi nomer 35. Perintah langsung yang dikeluarkan Presiden Harry S. Truman.
Hanya Tibbets yang tahu apa yang dibawanya. Di dalam perut “Enola Gay” ada “sebutir” bom atom yang dinamakan “Little Boy”. Meski nyempluk dan imut-imut, panjang 3 meter, diameter 71 cm dan berat 4.4 ton, jangan main-main dengan si “anak kecil laki-laki” ini. Ia membawa 64 kilogram uranium, yang siap diledakkan kapan saja.
Pasukan di dalam perut “Enola Gay” hanya tahu, Hiroshima akan diserang seperti serbuan udara sebelumnya. Akhirnya, “Little Boy” meledak di ketinggian 580 meter di atas Hiroshima, tepat pukul 08.15.
Korban tewas seketika 70 ribu orang. Itu mencakup 30% dari penduduk Hiroshima. Perempuan dan anak-anak menjadi korban terbanyak, yang tak bisa diselamatkan. Korban luka berat sebanyak itu pula. Daerah dengan radius 2 kilometer hancur luluh berantakan. Penderitaan akibat nuklir dan kontaminasi uranium masih tercatat sampai 50 tahun kemudian.
Kejadian hanya sekejab, namun sarat akan akibat. Seolah tanpa rasa bersalah, “Enola Gay” kemudian melayang-layang 9.400 meter di atas Hiroshima. Berputar-putar selama 10 menit, sebelum kabur ke pangkalannya, meninggalkan ratusan ribu orang yang menderita tak terperikan. Dari dalam cockpit, Kolenel Tibbets bergumam pelan, mungkin dengan perasaan iba yang mendalam : “It was hard to believe what see”. Tak penting mengapa Amerika menghukum Jepang dengan cara yang begitu kejam. Gara-gara pasukan Jepang yang semakin meraja-lela di berbagai belahan dunia.
Empat tahun sebelumnya, 7 Desember 1941, ratusan pesawat tempur Jepang meluluh-lantakkan pangkalan AL Amerika, di Pearl Harbour, Honululu, Hawai. Ribuan tentara Amerika tewas, dan ribuan yang lain luka-luka. Di Asia Pasifik, Jepang sudah di atas angin, sampai kemudian terjadi malapetaka Hiroshima (dan Nagasaki).
Itu kejadian 72 tahun lalu. Kalau sekarang anda membayangkan bahwa kota Hiroshima masih porak poranda karena bom atom, itu adalah anggapan yang sangat keliru. Hiroshima (artinya pulau yang luas) telah menjadi kota metropolitan yang nyaman untuk disinggahi dan didiami. Hiroshima berubah menjadi kota yang bersih dengan berbagai fasilitas pelayanan umum yang nyaris sempurna. Turis mancanegara datang dan pergi melongok Hiroshima. Castel, museum, stadion baseball, Atomic Dome, taman kota, trem, bis dan transportasi lokal yang nyaman dan aman, dan tentu saja “Hiroshima Peace Memorial Park (HPMP)”. Monumen perang yang sangat menarik untuk dikunjungi. Tak terkesan Hiroshima yang hancur luluh-lantak akibat ulah bom atom.
Awal bulan lalu kami beruntung, berkunjung ke Hirosima bersamaan dengan acara “Flower Festival”. Kontras, karena pameran itu diselenggarakan di halaman selasar HPMP. Peringatan perang diselimuti oleh bunga-bunga indah yang melambangkan cinta dan persaudaraan. “Say it with flowers”, demikian kira-kira sambutan masyarakat Hiroshima kepada kami.
Perang dan bom atom telah menjadi masa lalu. Ia dikubur dalam-dalam, karena memelihara dendam akan membuahkan sakit yang mendalam. Bukan hanya sakit fisik, tapi lebih-lebih penyakit hati yang menghalangi masyarakat Hiroshima untuk move on.
Ada 3 kata kunci mengapa Hiroshima (atau bangsa Jepang) begitu cepat berubah menjadi negara maju, hanya “sesaat” setelah menyatakan kalah perang dan bertekuk lutut kepada Amerika.
Pertama, masyarakat Hiroshima bermental pemenang dan bukan pecundang. Meski kalah perang habis-habisan, Jepang mampu bangkit dan bergerak maju, dan terus maju. Mengubur kekalahan dan membuang sakit hati.
Masa lalu yang penuh penderitaan dianggap kesalahan bersama dan harus dimaafkan. Sikap yang terus-menerus menunjuk kambing hitam sebagai biang keladi penderitaan dan excuse (memaafkan secara berlebihan) terhadap kesalahan diri menjadi penghalang kemajuan.
Kedua, selain sikap inward looking, bangsa Jepang juga bersikap outward looking. Menyadari kelemahan diri adalah satu hal. Melihat dan mengakui kelebihan orang (atau bangsa) lain adalah hal lain lagi.
Keduanya harus seimbang dan saling menguatkan. Menganggap diri selalu benar dan orang lain pasti salah, jelas menjadi hambatan besar untuk terus berjalan ke depan.
Ketiga, inklusif, atau merangkul sebanyak mungkin orang lain menjadi bagian dari kita. Inklusif menjadi bagian dari sukses bangsa Jepang. Mereka jauh dari eksklusifitas, atau memisahkan banyak orang sebagai bukan bagian inner group. Ironisnya, di beberapa bagian dunia lain, paham eksklusif malah sering diberlakukan bagi bangsa sendiri.
Tak berguna menyimpan rasa hopeless, membesar-besarkan penderitaan diri dan meneguhkan sebagai korban yang layak dikasihani.
“No More Hiroshimas”, bukan hanya slogan yang terpampang di HPMP. Bukan hanya berarti “Jangan ada bom atom lagi seperti Hiroshima”. Slogan itu juga mengingatkan kepada seluruh umat manusia, untuk menghindarkan perang. Simpan senjata ringan sampai berat. Lebih dari itu, umat manusia harus membuang dan mengubur kebencian, mudah memaafkan dan menjalin perdamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!