Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Energi

18 Februari 2016   20:28 Diperbarui: 18 Februari 2016   21:06 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kadang dijawab senang dan sering sedih. Bercampur-baur menjadi satu. Perasaan mixed feeling, dan diwarnai kebingungan, entah mau bagaimana.  Minyak murah memang kabar gembira. Anggaran negara ikut rendah. Harga BBM murah, tarif listrik turun.  Tapi, di sisi lain, investor enggan mengembangkan industrinya. Alhasil, cadangan minyak dan gas bumi turun terus dan produksi anjlog.  Sulit dibantah, data membuktikannya.

Bagaimana dengan energi bersih? Keadaannya mirip, 11-12. Karena energi fosil murah, energi bersih kalah bersaing. Nonfosil jauh lebih mahal, lama mencarinya, tak sebentar mengembangkannya. Siapa mau bikin dan siapa mau pakai?.    

Meski kini menjadi saat yang tepat untuk menggenjot energi bersih agar meraih target pemakaian 23% di tahun 2025, namun fakta tak mau seia.  Bagaimana mau berkembang bila harganya relatif mahal dengan posisi njomplang kesana-kemari, seperti ayunan anak-anak?. “Buah dimakan, ayah mati - tak dimakan, ibu tiada”. Maju kena, mundur kena. Itu gara-gara kita sangat terlambat mengantisipasinya. Tapi, itu pun masih berlanjut.

Bayangkan, suatu saat, 3, 4 atau 5 tahun lagi, ketika harga migas kembali normal,  kita kadung tak punya apa-apa. Fosil habis, nonfosil tak jua berkembang. Sementara pemakaian fosil naik terus, dengan harga tinggi plus daya rusak lingkungan yang masif. Target energi bersih semakin jauh dari cita-cita, sesuatu yang absurd, sesuatu yang mustahil. Masih mampu bertahan pun, sudah untung. Entah apa yang harus dilakukan anak-cucu kelak.  Lantas bagaimana?.

Ada 4 “pemain” dalam putaran “rolet” yang memusingkan ini. Investor, perguruan tinggi (PT), masyarakat dan pemerintah. Dengan harga migas yang (sangat) rendah dan aktivitas eksplorasi energi yang meredup, maka pengusaha angkat tangan. Sesuatu yang wajar, meski sebelumnya sudah mengencangkan ikat pinggang.  Menahan napas dengan terus mengecilkan perut, adalah langkah yang harus dilakukan lebih dahulu.  Beberapa malah sudah siap hengkang. Tak ada pengusaha yang mau rugi bukan?. 

PT pun idem ditto.  Sehebat apa pun dan seberapa banyak pun ahli dicetak, dan riset dilakukan, bila tak ada yang memanfaatkan, tentu sia-sia. Moga-moga mereka tak buru-buru lari menjadi operator Gojeg atau Uber.

Meski hari ini harga energi murah, “hemat energi” adalah slogan yang harus tetap dikumandangkan dan dijalankan oleh segenap lapisan masyarakat.  Menghemat energi adalah mengelola kehidupan. Menyimpan energi adalah perilaku brilian. Boros energi adalah kebodohan. Itu budaya yang harus tumbuh di masyarakat.

Beban terberat bergantung di pundak pemerintah. Apa yang disasar jangka pendek, menengah dan panjang, mesti dirumuskan. Dan yang paling penting, negara harus berani menjadi bumper, bagi “pemain-pemain” lain yang sedang dalam kesempitan dan kesulitan.  Fasilitas harus lebih mudah dan cepat didapat, insentif dibagikan segera, infrastruktur yang memadai disediakan, kampanye dan promosi digiatkan, pengembangan SDM diambil alih dan digalang, harga diintervensi, bila diperlukan.  Semuanya dengan predikat rush basis“Berpacu dengan waktu, bermesra dengan dengan kemenangan”. 

Masih (sangat) banyak  peran negara yang bisa dan harus ditegakkan untuk “menyelamatkan” krisis ini. Satu-satunya  tumpuan yang ditaruh agar kemelut, yang terasa tak berkesudahan ini, segera berlalu. Energi adalah mutlak bagi kehidupan.

Jangan bicara kemakmuran kalau ketersediaan energi sulit dikelola. Pengorbanan dan kepahitan mesti ditelan bersama, meski tak mudah untuk diterima. 

Sekali lagi, energi adalah tumpuan utama manusia. Jangan lupa energi bersih, jangan abaikan sumber dari sumber energi.  Ibu dari sumber energi, matahari, adalah milik kita bersama. Matahari adalah sumber segalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun