Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Si Lemah

10 Januari 2014   07:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba dia menjadi selebriti.  Namanya ditulis di berbagai media cetak mau pun on line.  Kisahnya menjadi buah bibir banyak grup chating.  Infotainment memberitakan dirinya bak artis terkenal. Kelompok remaja, ibu-ibu dan bapak-bapak menggunjingnya. Tetapi, peenampilan sederhana tetap tergambar  dalam pribadinya.  Bila senyumnya menyungging, wajah manis terlihat di sana. Seorang gadis berambut panjang, berusia 25 tahun, bernama Putri Herlina.

Semula dia warga-negara biasa saja.  Pegawai administrasi di sebuah panti asuhan di kota Yogja.  Yang membuat dirinya istimewa justru terletak pada "kekurangannya".  Lina, demikian teman-teman memanggilnya, adalah seorang difabel.  Sejak lahir, dia  tak mempunyai kedua lengan.  Dahulu, orang menyebutnya "anak cacat".  Sebutan yang salah itu kemudian diralat.  Lina tidak cacat.  Dia mempunyai kemampuan berbeda (different ability people = difable) dibandingkan teman-temannya

Semua aktivitas sehari-hari dilakukan seperti biasa.  Dia bisa menulis, memakai baju, menyisir rambut, menelpon kawan, atau, sebutkan suatu aktivitas - apa saja - yang dilakukan teman sebayanya, Lina pun bisa melakukannya.  Lina menuntut ilmu di sekolah umum sampai lulus SMA.  Sampai di sini kisah hidupnya masih tak istimewa.  Sampai kemudian dia dilamar seorang pemuda tampan,  musisi - dan ini yang membuat heboh - anak seorang mantan pejabat, yang tentunya termasuk kaum the haves.  Pemuda itu bernama Reza Hilyard Soemantri.

Pacaran antara Lina dan Reza dilanjutkan dengan upacara pernikahan di penghujung tahun 2013. Gadis manis, tanpa kedua tangan, saling mengukir janji setia, untuk hidup semati, bersama pemuda tampan, lengkap anggota badannya, baik hati, sabar, musisi, dan ........ dari keluarga berada.  Nampaknya ini yang menjadi bahan diskusi di banyak obrolan.

Pada umumnya, opini publik berpendapat bahwa si gadis sangat beruntung, sementara sang jejaka sebagai pihak yang penuh pengorbanan.  Mayoritas menganggap telah terjadi pernikahan yang tak seimbang.  Pihak pria  disebut sebagai yang "dirugikan".  Begitu absurd masyarakat menilai karena semata-mata melihat pada sesuatu yang kasat mata.  Tanpa sadar, mereka menghakimi secara sepihak bahwa Lina tak utuh, sementara suaminya adalah laki-laki "sempurna".  Mereka menilai hanya kulit, tanpa mempertimbangkan isi.   Telah terjadi ketidak-adilan pendapat, yang mungkin, berangkat dari faktor budaya, bahwa "kelemahan", "kekurangan" atau  "ketidak-punyaan" adalah sesuatu yang tak pantas untuk disandingkan dengan "kekuatan", "kelebihan" atau "kecukupan".

Tipikal kesalah-pandangan masyarakat seperti halnya dalam menilai pernikahan Lina dan Reza, dibantah oleh seorang penulis terkenal, mantan wartawan Washington Post, Malcolm Gladwell.  Dalam buku terbarunya yang berjudul  "David and Goliath : Ketika Si Lemah Menang Melawan Raksasa",  penulis buku best seller, "Outliers" itu, menasehatkan agar kita tidak menganggap remeh mereka yang lemah.  Jangan menilai dari tampak luarnya saja.  Don't judge the book from its cover.

Goliath, si raksasa gagah-perkasa, berbaju perang, bersenjata pedang dan lembing,  panglima perang bangsa Filistin, takluk kepada Daud, seorang bocah gembala, yang kecil dan lemah, duta bangsa Israel, yang hanya bersenjata ketapel dan peluru batu.  Akhir dari cerita telah melegenda dalam kisah peperangan yang heroik.  Daud mengambil batu, membidik dahi Goliath, satu-satunya bagian tubuh sang raksasa yang terbuka, dan peluru itu tepat mengena sasaran.  Goliath rebah di tanah.  Pingsan, berbarengan dengan cucuran darah keluar dari keningnya.  Daud, si lemah tanpa seragam dan senjata, buru-buru mengambil lembing milik musuhnya, menusuk tepat di dada raksasa itu, kemudian, dalam sekejab  matilah Goliath.

Kisah mengenai Daud dan Goliath adalah salah satu cara kitab suci perjanjian lama menasehatkan bagaimana  si lemah tidak mesti kalah.  Si lemah tidak harus salah.  Si lemah belum tentu rendah.  Alkitab mengajarkan bagaimana seseorang atau sesuatu tidak dipandang dari yang terlihat oleh mata kepala saja.  Karena suatu kekuatan tersembunyi sering kali menipu otak kita, mengelabui panca indera.    Raksasa bisa jadi bukan besar dan kuat secara fisik saja.  Ia bisa berwujud ketampanan, kecantikan, kelengkapan, kepandaian, kekayaan dan bahkan "kebaikan".  Sangat pas saat Gladwell mengutip ayat kitab suci, 1 Samuel 16:7, dan dipampang pada bagian depan bukunya : "Tetapi berfirmanlah Tuhan kepada Samuel : 'Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab aku telah menolaknya.  Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati".

Lina dan Daud mengalami nasib yang mirip.  Mereka terlanjur dicap sebagai underdog, si pecundang, the looser, yang diprediksi kalah atau salah.  Stigma terlanjur dijatuhkan bahwa Lina tidak layak bersanding dengan Reza dan Daud kalah bertanding dengan Goliath.  Untung, mereka membuktikan hal yang sebaliknya.  Publik lupa bahwa apa yang tidak kelihatan acap kali justru menjadi penentu dalam memastikan pantas atau tidak, menang atau kalah.

Kisah pertarungan Daud versus Goliath, mengingatkan saya akan kegigihan pejuang Tentara  Keamanan Rakyat (TKR) Republik Indonesia, di awal perang kemerdekaan.  Mereka miskin pengalaman, bersenjata seadanya, tak punya organisasi, tetapi berhasil mengusir tentara sekutu, yang jauh lebih advance, enyah dari bumi pertiwi.  Atau gerilyawan Vietcong, yang dianggap masih primitif dan sederhana, sukses menaklukkan tentara  Amerika Serikat, yang moderen dan tangguh, enyah dari daratan Vietnam Selatan.

Dunia olahraga mencatat banyak cerita, saat si lemah mengalahkan si kuat.    Kapten tim PSSI, Ramang, dan kawan-kawan, adalah contoh lain lagi.  Meski jauh berbeda kelas, mereka mampu menahan kesebelasan Uni Sovyet dengan skor 0-0, di Olympiade Melbourne, tahun 1956.   Itulah pelajaran yang dipetik ketika gajah kalah sama semut, dalam  gamsuit.  Atau puteri desa yang bodoh dan norak, malah mendapatkan cinta sang pangeran, mengalahkan kakak-kakak tirinya yang cantik-cantik, meski atas dukungan si cebol, dalam cerita Cinderella.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun