Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wong Nggolek Beling

9 November 2012   02:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:44 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1352426630329011720

Istilah yang terlalu panjang untuk menamai sebuah profesi.  Tapi begitulah kami - masyarakat Semarang waktu itu - menjuluki mereka.  Flash back ke masa lampau, sekitar 40-30 tahun lalu, predikat itu melekat pada diri mereka. Berpakaian kumal, bertopi lusuh, menyandang tenggok (keranjang besar), dan menggenggam ganco (pengait) besi dan bertelanjang kaki, mereka mengelilingi seantero sudut kota Semarang.  Tempat-sampah di  diaduk-aduk, selokan ditelusuri, ujung jalan dipelototi.  Siapa tahu dijumpai beling (pecahan kaca), puntung rokok, rongsokan, gombal atau kertas lusuh.  Dikumpulkan satu per satu, dimasukkan tenggok di belakang punggung, dibawa pergi,  entah kemana. Pada masa itu, profesi "Wong Nggolek Beling" - meskipunyang dicari bukan hanya beling - mendapat konotasi negatif.  Orang buru-buru menutup pintu pagar, saat mereka lewat.  Anak-anak lari menjauh, ketika berpapasan.  Ibu-ibu segera melipat jemuran, begitu melihat dari kejauhan.  Singkatnya, profesi itu begitu menakutkan, berbau kriminal, thus harus dikucilkan. Masa itu, kami belum menyadari,  apa yang dikerjakan,  bagaimana harus bersikap dan (apalagi) siapakah mereka.  Yang masuk dalam alam bawah sadar kami, mereka miskin dan jahat.  Jadi, jangan dekat-dekat, apalagi, ami-amit  berhubungan.  Begitu selanjutnya, sampai puluhan tahun kemudian, saya kemudian ngeh mereka  disebut "pemulung". Ternyata, pemulung tidak ada hubungan dengan kejahatan.  Dalam banyak literatur disebut bahwa mereka adalah rantai pertama industri daur ulang.  Pemulung adalah bagian penting dari suatu proses produksi.  Mereka  adalah "2  R" pertama dari "3R" yang menjadi slogan  lingkungan hidup, yaitu "Recycle, Reuse, Reduce". Koran Tempo, 6 dan 7 November 2012 mengisahkan penderitaan seorang pemulung cilik, di Bantar Gebang, Bekasi.  Namanya  Tika Lindawati.  Tapi nasibnya tak sebagus namanya.  Gadis 10 tahun yang juga anak pemulung, Mintarsih, harus dipuncak bukit sampah sejak pagi buta.  Tingginya bisa puluhan meter. Rumahnya - lebih tepat gubuknya - persis di lembah bukit sampah itu.  Tika mulai "bekerja", saat banyak teman-teman sebayanya masih meringkuk hangat di bawah selimut tebal dan hembusan udara dingin AC. "Saya cuma takut terpeleset.  Tak takut lecet atau terluka", ujarnya, ketika ditanya mengapa dia tak pakai alas kaki.  Dia langsung mengisahkan apa yang dilihatnya beberapa bulan lalu.  Seorang pemulung dewasa terperosot dan tertimbun sampah.  Tak sampai 1 jam, sekujur tubuhnya gosong terbakar gas metana.  Sejak itu, Tika trauma dan hati-hati tentang 2 hal.  Ketinggian bukit sampah dan derungan backhoe.  Apabila suara alat-berat tadi mendengung didekatnya, Tika memilih menghindar.  Kesempatan emas hilang direbut pemulung dewasa. Tika bergelut dengan sampah hingga tengah hari.  Setiap kali naik bukit, keranjang di punggungnya penuh dengan botol plastik, tutup galon, dan kaleng bekas, seberat 5 kilogram.  Sebelum itu tercapai, dia tak hendak turun bukit.  Dalam sebulan, dia berhasil mengumpulkan uang 300 ribu rupiah.  Jumlah uang yang menjadi "musuh" Tika untuk sekolah. Kalau meneruskan naik bukit sampai sore, Tika harus bolos sekolah.   Itu menjadi dilema buatnya, setiap saat. Menjadi pergumulan tersendiri ketika Nadam Dwi Subekti, pendiri Sekolah Alam Tunas Mulia, harus berjuang menarik perhatian Tika dan masih banyak teman-teman seusianya, untuk rajin bersekolah.  "Membuat mereka mau datang ke sekolah saja, sulitnya minta ampun", demikian Dwi mengutarakan tantangannya, sambil curhat.  "Mereka lebih suka memulung, karena langsung mendapat beberapa lembar rupiah". Tak aneh bila Dwi harus membagikan bahan kebutuhan pokok kepada para orang tua murid, agar melepas anak-anaknya pergi ke sekolah.  Dimanakah gerangan slogan "Mencerdaskan kehidupan bangsa", yang seharusnya menjadi tugas negara berada?  Nampaknya, kata-kata itu baru sebatas slogan yang harus disimpan rapat-rapat di hati Dwi.  Lebih-lebih untuk pemulung anak yang miskin, seperti Tika. Pemulung dan kemiskinan menjadi 2 kata yang terus berkaitan erat.  Sejak dijuluki "wong golek beling", sekian puluh tahun lalu di Semarang, sampai pemulung, bahkan pernah "laskar mandiri",  "miskin" selalu lekat dengan mereka.  Julukan terakhir dinobatkan pak Harto ketika pemerintah, ketika itu, melihat bahwa profesi pemulung bukanlah nir-manfaat. Kalau pun nasibnya mau sedikit terangkat, dia harus menjadi "bandar" terlebih dahulu.  Itu kisah yang dialami Parno.  Setelah berbelas tahun bergelut dengan "bisnis" pemulung, dia berhasil memiliki lapak, berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah saya.  Luasnya memang hanya 200 meter persegi, tapi terlihat selalu ramai dan sibuk. Parno didukung  tak kurang dari 10 pasukan "laskar mandiri", yang bergerilya setiap hari, tanpa mengenal week end atau hari libur nasional atau, apalagi, harpitnas.  Saya ikut senang, ketika melihat Parno mengendarai Avanza barunya.   Kami sempat bertegur sapa, sambil menyinggung bisnisnya yang mulai menggeliat. Salah satu pasukan Parno, adalah seorang ibu, kira-kira berusia 50 tahun.  Namanya, sebut saja Mumun,   hampir tiap pagi lewat depan rumah saya, sambil mengorek-orek tong sampah.  Bila kebetulan berpapasan, kami bertegur sapa seadanya.   Suami dan ke 3 anaknya, semuanya pemulung. Yang terkecil baru berusia 12 tahun.  "Itung-itung kami ber 5 bisa mengumpulkan 75-100 ribu rupiah sehari.  Lumayan buat makan sekeluarga".  Jangan pikir bagaimana mereka tinggal, sekolah atau menjaga kesehatan.  Nol besar. Melihat betapa lama dan dalamnya kemiskinan itu membelit, wajar disebut bahwa mereka terbenam dalam 2 jenis kemiskinan sekaligus. Kemiskinan kultural  dan kemiskinan struktural. Yang pertama disebabkan faktor  dalam diri mereka, sementara yang kedua faktor luar, seperti sistem nilai masyarakat, kebijakan pemerintah, kekuasaan, ketidak-adilan dan kesempatan.  Keduanya berbaur dan melindas mereka secara massif dan berbarengan. Menjadi pertanyaan, mengapa Tika,  Mintarsih, Mumun dan ribuan atau jutaan pemulung di seluruh Indonesia harus tetap miskin.  Padahal fungsi dan manfaatnya begitu nyata.  Jawabannya adalah keheranan yang terus tanpa jawab.  Heran, karena hampir semua manusia Indonesia mengaku beragama.  Sementara agama-agama itu mengajarkan bahwa manusia harus mengentaskan kemiskinan.  Salah satunya seperti apa yang tertulis di Lukas 14;13-14. Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta.  Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya.  Sebab engkau akan mendapat balasnya pada hari kebangkitan orang-orang benar Nampaknya, ajakan untuk mengadakan "perjamuan bagi orang-orang miskin" ini tanpa gayung bersambut.  Ketulusan seperti Dwi di Bantar Gebang belum jamak dilakukan anak bangsa. Tak heran, Warta, pemulung asal Indramayu, terpaksa menggunakan jurus lain.  Agak aneh bagi kita, karena terkesan "menjual" anak-anaknya.  Tapi itulah cerita sebenarnya. Warta sering membawa gerobak putihnya bertuliskan "Rina-Rini", yang tak lain adalah nama kedua anak gadis kembarnya. Mereka sering mangkal di sekitar perumahan Bintaro Jaya.  Biasanya, memulai "jam-kerja" dari siang hingga sore hari. Tulisan "Rina-Rini" plus sosok keduanya yang nongkrong demonstratif di atas gerobak, menarik perhatian masyarakat yang lewat.  Tak jarang orang memberi sedekah karena simpati.  Anak kembar ikut memulung bapak-ibunya.  Itu dilakukan 7 tahun lalu, sejak mereka berumur 5 tahun.  Saya menduga, Kak Seto, ketua Yayasan Nakula-Sadewa tak menyadari hal ini.  Ada 2 anggotanya yang putus sekolah, atau bahkan belum pernah sekolah malahan memulung.  Ironis memang. Kebodohan, kemiskinan dan ketidak-adilan adalah 3 "musuh utama" agama.  Semua agama.  Tapi, kita lebih sering lupa kepada mereka.  Saya, anda atau kita semua lebih senang bergelut dengan hal-hal yang kurang utama. Sementara  sebuah Hadis mengingatkan bila alpa terhadap mereka, bukanlah kita termasuk orang beriman . "Tidaklah beriman kepadaku, seseorang yang dapat tidur dengan perut keadaan sementara tetangganya kelaparan, padahal dia mengetahuinya" (HR Thabrani dan Al Bazaar). Note : 1.       Wong Nggolek Beling = Orang cari pecahan kaca 2.       Foto di atas diambil dari Majalah on line KicauBintaro, 5 Juli 2009.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun