Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berkorban

2 November 2012   00:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:06 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1351817404941692262

Sulit memastikan kapan manusia mulai Berkorban (dengan "B" huruf besar).  Sama sulitnya menentukan apakah seseorang "berkorban" menggunakan B huruf besar atau b huruf kecil.  Yang pertama bisa diambil dari buku sejarah atau kitab suci.  Pertanyaan kedua hanya bisa dijawab oleh lubuk hati kecil mereka yang sedang melakukannya.  Itulah diskusi yang tak kunjung habis sepanjang peradaban manusia.  Lebih-lebih ketika Hari Raya Idul Adha menjelang tiba. Kitab suci Perjanjian Lama, Kitab Kejadian 4, menyebutkan ada perbedaan mendasar. "Berkorban" dengan "B" atau "b".  Ini sudah dimulai sejak awal sejarah manusia.  Kain dan Habel, kedua putera Adam dan Hawa memulainya dalam "pertikaian" ini. Melihat hasil korban persembahan ditolak Tuhan, hati Kain sangat panas, dan mukanya muram.  Sementara Habel, yang mengambil anak domba sulung yang tambun dari ternaknya, diterima-Nya.  Asap korban persembahan Kain berwarna hitam, mengepul berputar-putar memenuhi sekeliling altar, dan turun ke bumi.  Asap Habel putih seperti kapas, membubung tinggi ke angkasa.  Seolah ditarik Penguasa Dunia yang sama-sama sedang mereka sembah. Hasilnya sudah  kita ketahui.  Diambilnya tongkat, dipukulnya kepala Habel dari belakang.  Habel tewas di ujung senjata abangnya. Kisah tadi merupakan "drama" pertama yang membuka sejarah manusia.  Berkorban dengan tulus dan diterima Tuhan, atau berkorban sambil bersungut-sungut dan ditolakNya.  Itulah dunia.  Itulah manusia.  Itulah dosa.  Itulah pahala.  Dan dosa satu, diikuti dosa lainnya.  Korban persembahan ditolakNya dan adiknya dibunuh.  Kekerasan jilid pertama ditoreh manusia di awal kehidupannya.  Ia diikuti oleh anak-cucunya, sampai kini. "Tidaklah darah dan daging hewan korban itu sampai kepada Allah, tetapi ketakwaanmu yang sampai kepada-Nya", (Al Quran, 22:37).  Sekali lagi, yang hakiki bukan ujud wadag si kambing, kerbau atau sapi, yang menjadi obyek Berkorban atau berkorban, tetapi ketulusan dia yang melakukannya.  Itulah yang tidak dipunyai Kain, tetapi ada pada Habel.  Korban persembahan Kain membawa korban lainnya.  Habel malah mati di tangan Kain.   Tetapi dia sampai di sebelah Tuhan. Sekian abad setelah peristiwa Kain-Habel, Ibrahim (atau Abraham) menghadapi   dilema yang mirip.  Diminta-Nya agar dia mengorbankan anak yang sangat dikasihinya.  Ketika keduanya sudah rela untuk dikorbankan kepada "Pemilik Hidup" ini,  datanglah keajaiban kedua.  "Sang Putera" diganti-Nya dengan kambing gemuk dan besar.  Yang ini pantas untuk dipersembahkan kepada-Nya. Kisah yang semula dramatis berakhir happy ending.  Ia dikisahkan terus-menerus, turun-menurun, kepada anak cucu "Bapa kaum beriman", Nabi Ibrahim, sampai sekarang.  Berkorban dilakukan setiap tahun, serupa dengan apa yang  dilakukan Ibrahim.  Diikuti oleh jutaan atau milyardan manusia di dunia, di Indonesia, di Jakarta.  Tak kecuali mak Yati, seorang pemulung miskin, 64 tahun, di kawasan Tebet, tahun ini. Selama ini mak Yati dan Maman, suaminya, selalu antre di halaman masjid atau tanah lapang di dekat kampung pemulung.  Mereka menanti pembagian daging korban yang disumbang orang kaya.  Tak banyak.  Mungkin hanya ¼  kilo per kresek plastik yang dibawanya pulang. Tahun ini mereka ingin mendekat ke pintu surga.  Dijualnya perhiasan emas yang bertahun-tahun disimpannya sebagai tabungan, yang - siapa tahu - kelak dibutuhkannya. Yati  ingin mencontoh apa yang dilakukan Habel.  Yati ingin merasakan bagaimana Ibrahim dan puteranya memegang leher  domba tambun untuk disembelih dengan perasaan rindu agar sampai ke tangan-Nya.  "Sekarang saya sudah plong.  Rasanya seperti naik ke surga", demikian ujarnya ketika ditanya mengapa dia "senekad" itu.  Iman telah menggerakkan hatinya. Korban yang dilakukan Yati tahun ini adalah ketulusan Habel, ketakwaan Ibrahim.  Bila dibakar, ia akan mengeluarkan asap putih yang membubung ke angkasa.  Tanda Tuhan menerimanya.  Ia akan diganti dengan "domba" yang jauh lebih besar, seperti yang dialami Ibrahim. Yati dan Maman memberi dari kekurangan, bukan dari kelebihannya.  Tetapi pengorbanan yang ikhlas membuat mereka merasa seperti masuk surga.  Plong. Kisah Yati dan Maman di sekitar Tebet, mengingatkan saya akan cerita sufi yang sudah saya baca berkali-kali.  Cerita ini - meskipun tidak bisa disebut sahih - sering diperdengarkan dari mulut ke mulut.  Dibaca dari buku ke buku.  Dari artikel ke artikel.   Kisah yang menginspirasi banyak orang, terutama ketika Hari Raya Idul Adha tiba. Suatu ketika, seorang ulama besar Hasan Al Basyri, menunaikan ibadah haji.  Ketika sedang tidur, beliau mimpi melihat 2 Malaikat sedang ngobrol. "Ada sekitar 700 ribu jemaah haji yang sedang berada di Mekah.  Kira-kira, berapa dari mereka yang mabrur?". "Wah itu sih kehendak Allah". "Dari sejumlah itu, tak ada satu pun yang mabrur". "Masak?, kenapa?". "Ada yang karena riya, ada yang berhaji tanpa melihat tetangganya yang sedang sakit dan tak mampu berobat, ada yang meninggalkan saudaranya yang sedang kelaparan dan terbelit kemiskinan, ada yang dibayari pemerintah atau perusahaannya, dan pelbagai sebab lainnya". "Lalu?". "Tapi, ada 1 orang jemaah yang mendapatkan pahala haji mabrur, tahun ini". "Lho? Bagaimana mungkin". "Ya, karena dia tidak ada di sini.  Dia adalah Sa'id bin Muhafah.  Dia ada di Damsik, Siria.  Sa'id seorang tukang sol sepatu". Sepulang dari Mekah, sang ulama tidak langsung pulang ke Mesir, tetapi mampir ke Damsik.  Dicarinya tukang sol sepatu bernama Sa'id bin Muhafah.  Akhirnya Hasan Al-Basyri menemukannya di sebuah kampung kumuh, di tepi kota. "Tolong ceritakan, apa yang kamu lakukan sehingga menjadi haji mabrur, sementara sedang di Damsik?", demikian Hasan Al-Basyri mulai menyelidik. "Saya sendiri tidak tahu apa yang terjadi.  Sudah lama saya menyisihkan uang  untuk naik haji.  Sebetulnya, dana itu sudah terkumpul tahun ini.  Rencananya, saya mau naik haji". "Tapi kamu tetap berada di sini bukan?  Mengapa batal?". "Ketika saya mau berangkat, isteri saya yang sedang hamil, ngidam aroma daging tetangga miskin sebelah rumah.  Saya tidak tahu makanan apa yang sedang mereka masak.  Ternyata, mereka tidak mau memberi secuil pun kepada saya. "Jangan!! Daging itu halal untuk kami, tetapi haram untuk tuan", demikian tetangga tadi mengelak. "Kenapa?",  kembali Sa'id mencecarnya. "Daging ini adalah bangkai keledai. Sudah busuk.  Ia halal bagi kami, karena bila kami tak memakannya, kami mati kelaparan.  Kami tak punya uang untuk membeli daging segar". "Ketika saya sampaikan kisah itu kepada isteri saya di rumah, kami berdua menangis.  Pantaskah kami naik haji, sementara tetangga sebelah hampir mati karena kelaparan?.  Uang bekal hajiku kuberikan semua untuk mereka". Habel, Ibrahim, mak Yati dan Sa'id bin Muhafah adalah  para Haji Mabrur.  Mereka Berkorban dan diterima Allah.  Mereka memberikan kepada Tuhan - melalui sesama -  dari kekurangannya bukan kelebihannya, dan itulah takwa. Mumpung belum terlalu terlambat, "Selamat Idul Adha - mohon maaf lahir batin".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun