Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Salzburg

30 Agustus 2012   16:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:07 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1346345760453112465

Seorang nasionalis, tentu bukan oportunis. Tidak egois.  Dia tidak termasuk sektarian atau parokial.  Gampangnya, orang disebut nasionalis bila menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas dirinya, keluarganya, atau kelompoknya.   Definisi yang singkat dan sederhana tapi mempunyai arti dan implikasi yang sangat kompleks. Salah satu contoh bagaimana seorang nasionalis yang colourful, tidak hitam-putih, saya saksikan di film "The Sound of Music".  Meskipun, sudah lebih dari 5 kali menikmatinya, tadi malam saya masih juga terpaku selama 174 menit di depan layar kaca.  Hampir tanpa beranjak dari sofa yang saya duduki. Film bikinan 1965 itu diadopsi dari kisah nyata perjalanan hidup seorang tentara Austria, Kapten Angkatan Laut Georg von Trap.  Kalau tidak jeli, orang akan menyangka bahwa film itu "hanya" berkisah tentang cerita melo-drama keluarga atau percintaan romantis seorang duda, ditinggal mati isteri - plus 7 anak -  dengan calon novis, suster Maria.   Baru di akhir kisah, pemirsa baru ngeh kalau Kapten Von Trap ternyata seorang nasionalis Austria yang tidak sudi bekerja sama dengan penjajah Nazi-Jerman. Film yang berhasil meraih 5 Academy Award, setelah sebelumnya dinominasi 10 medali, dibuka dengan scene suatu biara susteran di kota Salzburg, sekitar 100 km dari Viena, ibukota Austria.  Biara yang dikesankan tua, angker, sakral dan penuh doa serta nyanyi-nyanyian Gregorian nan agung dan suci, diceritakan mempunyai seorang postulant (calon biarawati) bernama Maria. Maria ternyata bukan seorang kandidat suster yang "baik".  Dia tergolong sulit  diatur dan sering dirasani seniornya, diantaranya suster Margareta.  Kehebatan Maria adalah, suaranya merdu, melengking bak malaekat.  Dia pintar menyanyi, bermusik dan menguasai banyak lagu bernada ceria.  Plus sabar  dan sayang kepada anak-anak. Maria kemudian ditugaskan menjadi "pengasuh" anak-anak keluarga von Trap, yang sudah berganti governess 6 kali karena kenakalan mereka.   Maria tinggal di "istana" von Trap dan menjadi "ibu-angkat" mereka. Anak-anak von Trap yang selama ini biasa dikungkung  disiplin kaku, seperti perintah dengan tiupan peluit, aba-aba baris-berbaris dan hukuman militer, diubah Maria dengan lagu-lagu riang gembira diiringi musik merdu.  Anak-anak "nakal", yang semula memusuhi Maria, berbalik sikap. Mereka berubah mencintainya.  Mereka tak mau ditinggal Maria. Cerita di film menjadi hiruk-pikuk karena kemudian Maria dan Georg saling jatuh cinta. Maria berhasil menaklukkan Kapten von Trap meskipun sebelumnya sudah ada Baroness Elsa Schroeder, tunangan Georg.  Sampai disini, keadaan masih aman-aman saja. Tiba-tiba, konflik itu datang.  Kapten von Trap mendapat panggilan untuk bergabung dengan Markas Besar Angkatan Laut Nazi  staf mereka.  Von Trap harus segera lapor ke Bremerhaven, Jerman.  Sebagai prajurit Austria, yang negaranya sedang dijajah, von Trap tidak bisa mengelak. Tetapi hatinya memberontak.  Darah dan tulang Austria tidak rela  harus  mengabdi penjajah.  Hanya Austria tanah tumpah darahku.  Bukan Nazi. Bukan Jerman. Aksi pertama yang dilakukan von Trap, adalah merobek bendera Nazi yang dipasang di depan rumah dinasnya.  Ini mirip aksi heroik yang dilakukan arek-arek Suraboyo, dibawah komando Bung Tomo. Mereka merobek bendera Belanda, yang terpasang di halaman hotel Yamato.  Peristiwa yang terjadi tanggal 27 September 1945 itu, kemudian berujung tewasnya Brigjen Mallaby, komandan pasukan Inggris.  Pertempuran Surabaya, kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, setiap 10 November. Von Trap tidak mau mengakui kekuasaan Nazi. Bung Tomo menolak kembalinya Belanda ke Nusantara.   Mereka  nasionalis, karena hanya bangsanya yang boleh berdaulat di tanah-airnya. Ketika penguasa Nazi memaksa  segera bergabung, von Trap menolak.  Dia berdalih bahwa keluarga von Trap harus tampil di Festival Musik Salzberg, esok malam.  Dibawah pelatih Maria - yang  sudah menjadi isteri Kapten Georg von Trap dan ibu ketujuh anaknya - mereka dinominasi menjadi  pemenang.  Hans Zeller, wakil Nazi di Austria menyetujui alasan yang diajukan.  Syaratnya, begitu festival usai, Kapten von Trap harus segera berangkat ke Markas Besar. Lagu terakhir yang ditampilkan di festival, "So Long Farewell", diiringi kreografi yang memungkinkan keluarga von Trap meninggalkan panggung pelan-pelan.  Mereka langsung beringsut ke pinggir panggung, mlipir di sepanjang dinding  "concert hall", dan.....kabur.  Mereka menyeberang pegunungan Alpen dan melintas perbatasan.  Akhirnya mereka menjejakkan kaki di Swiss.  Keluarga von Trap hidup dan tinggal sementara di Swiss tetap sebagai bangsa Austria yang bebas dari penjajah Nazi. Predikat  nasionalis bagi seseorang  memang sering absurd.  "The Sound of Music" yang dipersepsi orang sebagai film dengan tingkat musikal tinggi karena menyenandung lagu-lagu manis, seperti : "The Sound of Music", "My Favourite Things", "Edelweiss", "Sixteen Going on Seventeen", "Do Re Mi", ternyata mengandung spirit nasionalisme di akhir cerita. Baik Bung Tomo di Surabaya-Indonesia atau Kapten Georg von Trap di Salzburg-Austria, keduanya meletakkan kepentingan dan keutuhan bangsa dan negaranya di atas    kebutuhan pribadi, keluarga, atau kelompoknya.  Tetapi keduanya mempunyai perbedaan manifestasi yang tidak gampang untuk dipilah.  Sikap nasionalis memang kemudian samar-samar.  Sering menjebak dan tidak terlalu jelas untuk dihakimi. Kumbakarna dan Lesmana - keduanya adik kandung Prabu Rahwana - mempunyai perbedaan sikap yang hitam-putih.  Padahal mereka sama-sama menjadi simbol nasionalisme Kerajaan Alengka Direja.  Kumbakarna, raksasa yang sakti mandraguna, banyak   makan, suka tidur, tapi polos dan hatinya lurus, memilih membela negaranya, meskipun tahu kakaknya, Raja Alengka, adalah seorang durjana.  Sementara Lesmana, satria tampan, sakti mandraguna, memilih membela Prabu Rama, musuh Rahwana.  Dia sadar bahwa memihak kebenaran identik bergabung dengan musuhnya, memerangi negaranya. Penonton wayang sepakat bahwa kedua satria itu berjiwa nasionalis  meskipun dengan paham nasionalisme yang berbeda.   Itulah, mengapa nasionalisme  dan nasionalis sering menimbulkan polemik dan debat yang tak gampang didamaikan. Bukan hal yang mudah ketika Kapten Georg von Trap, Maria dan ketujuh anak mereka harus meninggalkan negaranya tercinta.  Von Trap harus memilih 2 alternatif yang sama berat.  Bergabung penjajah, mungkin hidup keluarganya akan lebih tenang dan nyaman, atau melawan Nazi.  Yang terakhir pasti melalui perjuangan yang susah payah.  Akhirnya von Trap memilih yang kedua. Ketika masuk babak akhir cerita, mereka meminta agar Tuhan tetap memberkati Austria, tanah tumpah darah tercinta.  Mereka mendendangkan lagu perpisahan yang melankolis, "Edelweiss".  Suatu jenis bunga yang tak kenal layu.  Itulah yang semakin meyakinkan saya bahwa Kapten Georg von Trap adalah seorang nasionalis sejati. Edelweiss Edelweiss, Edelweiss Every morning you greet me Small and white clean and bright You look happy to meet me Blossom of snow may you bloom and grow Bloom and grow forever Edelweiss,Edelweiss Bless my homeland forever. Small and white clean and bright You look happy to meet me Blossom of snow may you bloom and grow Bloom and grow forever Edelweiss,Edelweiss Bless my homeland forever

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun