Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ranjau Paku

21 Oktober 2011   02:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:42 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Koran Tempo, Minggu, 16 Oktober 2011, mengangkat cerita tentang sekelompok orang yang hampir tiap malam berada di jalanan sekitar Daan Mogot, Jakarta Barat.  Ada kalanya mereka berenam, tapi kadang-kadang  bertujuh atau hanya berlima.  Lokasi keberadaannya tidak menentu, sering di daerah sana, atau di sebelah sini.  Mereka membawa alat seperti tongkat, yang diberi magnet-magnet seadanya, dan "sapu" itu diseret memanjang di belakang badannya. Mereka memang sedang menyapu jalanan.  Tapi, yang dibersihkan bukan sampah, bukan kotoran tapi paku.  Benar......, yang kemudian nempel pada magnet-magnet itu adalah paku. Paku-paku itu disebar dengan sengaja oleh mereka yang tidak bertanggung jawab, tetapi berkepentingan dan mengambil untung dari kesusahan orang lain.  Paku sengaja diserakkan ditengah jalan tak kenal waktu,  hampir setiap saat, dengan maksud agar menancap di ban mobil atau motor yang menggilasnya.  Kemudian, ban akan kempes dan  pelbagai skenario bisa terjadi terhadap si korban.  Kemudian, mereka bisa ditodong oleh kawan si penyebar paku, atau terpaksa pergi ke tukang ban yang juga dikelola komplotannya.  3-4 kilogram paku bisa mereka kumpulkan setiap harinya, setiap orang.  Bisa dibayangkan, betapa bahayanya orang yang mengendara mobil atau motor di sekitar Grogol.  Bisa jatuh dari motor, mobilnya bisa selip, bisa rugi harta karena ditodong, atau rugi uang untuk nambal ban.  Benar pepatah yang sering kita baca di pinggir jalan, sekejam-kejamnya ibu-tiri, masih lebih kejam ibu-kota. Kelompok orang yang saya ceritakan diatas menamakan dirinya SABER Community.  SABER adalah kepanjangan dari Sapu Bersih Ranjau Paku.  Mereka berhimpun karena mempunyai tujuan mulia, yaitu menyelamatkan pengendara mobil atau motor yang terancam bahaya dan kesusahan.  Sekali lagi, mereka bekerja suka-rela, tidak ada yang meyuruh, tanpa paksaan dan hanya didorong keinginan untuk menolong sesama.  "Motivasi kami adalah Lillahhita'ala", begitu jawabnya, ketika ditanya mengapa mereka mau bersusah-payah, hampir sepanjang malam membersihkan paku di jalan raya.  Mereka melakukan itu, di malam hari, ketika usai menunaikan tugasnya di pagi hari sebagai pencari nafkah biasa, seperti anda, saya atau kita semua.  Keberadaannya di sana bukan tanpa ancaman.  Sering mereka nyaris terserempet kendaraan yang akan ditolongnya atau bahkan dimusuhi si penyebar paku yang tak suka proyeknya diganggu. Memang mengherankan bahwa di zaman kini, ketika orang hanya memandang materi sebagai satu-satunya tujuan, ketika tanpa uang semua tidak bisa jalan, ketika orang ramai-ramai melupakan kepentingan orang lain, masih ada manusia-manusia Indonesia yang mau melakukan sesuatu, semata-mata hanya untuk keselamatan orang lain.  Semuanya voluntary, everything is for free. Mereka bersusah payah, hampir setiap hari, dan bahkan sering dianggap orang-orang yang tidak waras,   Mereka disebut sebagai orang-orang yang melakukan tugas melampaui tanggung jawabnya. They work above and beyond the call of duty. Menurut saya, apa yang dilakukan anggota Komunitas SABER adalah dalam rangka memenuhi Key Fulfillment Indicator  (KFI).  Kalau biasanya kita mengenal di perusahaan atau di organisasi tempat kita bekerja, apa yang disebut Key Performance Indicator (KPI), maka untuk memenuhi tujuan hidup yang lebih mulia, diperlukan suatu target agar  "angka-angka" KFI bisa dipenuhi.  Kalau pemenuhan KPI bisa dicapai dengan memenuhi job description tertulis yang ada, maka pencapaian KFI harus dilakukan dengan pergumulan jiwa yang terus menerus, introspeksi yang tak kenal lelah dan insight yang harus diasah tak berkesudahan.  Kalau pemenuhan KPI sifatnya transaksional, maka KFI memerlukan action yang transformasional.  Salah satu contoh obyektif KFI yang diset oleh Komunitas SABER adalah menyelematkan pengendara mobil dan  motor dari ancaman penodongan, pemerasan  dan kecelakaan.  Tidak seperti KPI yang berupakan angka-angka fixed, KFI memang bukan merupakan indikator digital yang dapat menggambarkan prestasi secara kuantitatif.  Ia bersifat jauh lebih kualitatif dan naratif dan lebih berupa rasa yang intrinsik katimbang ekstrinsik.  Kalau memenuhi KPI akan membuat manusia menjadi good, maka berhasil mencapai KFI akan mengubah manusia good menjadi great.  KPI adalah alat untuk memenuhi tujuan hidup yang penting tapi value KFI membuat manusia menjadi mulia (greatness).  Dan itulah yang ingin dicapai oleh anggota Komunitas SABER di sekitar Grogol, Jakarta Barat. Meskipun realita  kondisi sosial  masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, masih banyak orang yang tidak hanya mengejar KPI, tetapi juga KFI.  Kisah berikut ini mungkin dapat menggambarkan bahwa ternyata harapan untuk hidup mulia masih ada disana-sini.  Tetangga saya, seorang ibu yang sudah sepuh, kami memanggilnya; ibu Bambang, mempunyai pengalaman yang menarik, ketika menggunakan jasa taxi.  Ketika dia memberi tahu pool bahwa tasnya tertinggal di taxi yang baru ditumpanginya, maka petugas pool langsung mengontak sopir yang baru menyadari bahwa tas itu tertinggal di jok belakang, sementara si empunya sudah turun 1 jam yang lalu.  Jalanan sedang macet dan jarak untuk balik sudah sangat jauh.  Tetapi, sang sopir tetap memutar taxinya kembali ke rumah bu Bambang.  Diantarnya tas yang ketingggalan tanpa disentuh isinya.  Ketika bu Bambang menerima tas yang dianggapnya sudah hilang, dia berniat memberi semacam tanda terima kasih dalam bentuk uang.  Tak disangka, ternyata sang sopir menolaknya.  "Saya mengembalikan tas ini, bukan untuk mendapatkan uang, tetapi memang tas ini milik ibu, dan saya wajib untuk mengembalikannya", demikian cara dia menolak pemberian itu dengan santun dan halus.  Bu Bambang terdiam.  Dia terperangah dan   tak bisa berkata apa-apa.  Digenggam erat tangan sang sopir sambil mengucapkan kata-kata terima kasih, berulang-ulang.  Dia tak menyangka bahwa ternyata Indonesia masih memiliki anak-bangsa yang berjiwa mulia.  Sopir taxi tadi tidak hanya mengejar KPI, tetapi juga ingin meraih KFI.  Dia ingin mencapai kehormatan yang hakiki, ingin menggapai fulfillment, ingin merebut good deed, dan bukan hanya menjadi sopir taxi yang baik-baik saja. Saat ini, kita sering disuguhi atraksi dan drama di TV, di media masa cetak dan on line yang menggambarkan para politisi sedang mengumbar politik pencitraan tentang bagaimana mereka akan menggapai KPI.  Itupun banyak janji yang mereka ingkari.  Mereka hanya bicara tentang KPI, mereka tidak menyadari bahwa untuk menjadi seorang negarawan diperlukan nilai-nilai yang lebih dalam dan lebih jauh.  Nyatanya, bahkan target KPI yang mereka janjikanpun sering terlewatkan. Padahal kita perlu great leader, great statesmen, great senator, great role model, dan lain-lainnya.  Menjadi bisa dimengerti bila krisis multi dimensi yang kita hadapi sejak belasan tahun lalu tak kunjung usai, bila "hanya" KPI yang diusahakan untuk diraih.  Tidak heran kalau Jim Collins, pengarang buku best seller, Good to Great mengatakan bahwa kehidupan luhur, harus dimulai dengan pekerjaan bermakna.  Pekerjaan bermakna  kemudian menghasilkan kehidupan bermakna,  dan ini akan membuahkan kehidupan yang mulia. It is impossible to have a great life unless it is a meaningful life. And it is very difficult to have a meaningful life without meaningful work.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun