Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

First They Came*/

28 Maret 2012   09:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:22 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul headline media massa nasional, baik cetak maupun on line, saat ini memang sering menakutkan.Kompas, Senin, 26 Desember 2011, tepat sehari setelah Hari Natal, berbunyi : “Maut Mengancam di Dalam Angkot”.Suasana Natal yang baru kemaren berlalu seolah tak meninggalkan titik-titik kedamaian seperti yang dipesankan hari raya itu.Kompas langsung tancap-gas dengan mengangkat topik yang hingar-bingar, seperti tak memberi kesempatan para pembaca untuk menikmati saat-saat penuh kasih, damai dan penyelamatan umat manusia.

Dengan was-was sayamembaca beritanya dan ternyata Kompas tidak berlebihan.Ia hanya mengajak pembaca untuk waspada dan ikut peduli dengan apa yang terjadi di angkutan kota, sekitar kota Jakarta.Saya yakin, bahwa ancaman yang sama, terjadi juga di kota-kota besar lainnya di Indonesia.Paling tidak ada 7 kejadian yang dicatat Kompas, dan layak diberi predikat“mengerikan”.Modus operandinya juga bergeser dari kejahatan kecil-kecilan, seperti pencopetan, hipnotisatau perampasan ke arah yang lebih berat, seperti perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan.Korban juga bervariasi; seorang karyawati yang dirampok, tukang-sayur yang dirampok dan diperkosa, sampaimahasiswi, yang diperkosa, dirampok dan dibunuh.Semuanya terjadi di dalam angkot, di jalan raya, di kota Jakarta.Kalau saja hanya itu yang menjadi catatan, tentunya hati ini tidak tambah risau.Tetapi 2 kejadian lainnya yang hampir berurutan dan menyita halaman pertama surat-kabar nasional, layak untuk disimak.

Pertama adalah bentrok berdarah di Sumatera Bagian Selatan.Lazim disebut “kasus Mesuji”.Kabar resmi dari Kepolisian menyebut angka 9 orang meninggal dan puluhan luka-luka.Sementara dari “pihak sana”, menyebut 30 meninggal dan puluhan luka-luka.Yang menjadi hot issue adalah bahwa dari 9 atau 30 orangdi atas, 2 diantaranya tewas dengan kepala lepas dari badan.Ya....mereka digorok lehernya. Masya Allah...... Mungkin oleh temannya sendiri, mungkin tetangganya, yang pasti oleh saudara sebangsa. (Kompas.com, 23 Desember 2011, 08.48).

Tak lama sesudah “kasus Mesuji” meledak, muncul kasus serupa.Iadikenal sebagai “kasus Bima”.Dalam bentrok antara warga melawan polisi di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, persis pada malam Natal itu, 3 orang dikabarkan meningggal dan belasan luka-luka.Kembali nyawa manusia hilang sia-sia tanpa tega, oleh saudaranya sebangsa.

Dengan menceritakan beberapa peristiwa yang menyesakkan, saya tidak bermaksud mengaduk-aduk perasaan anda, di akhir tahun ini.Suatu masa, yang sebaiknya digunakan untuk bersenang-senang menutup tahun lama, menyongsong tahun baru.Harapan baru, cita-cita baru, dan suasana baru.Peristiwanya sendiri sudah banyak dibicarakan orang; di surat-surat kabar, media on-line, web, facebook, twitter, gedung Parlemen, bahkan Istana Negara.Sebagian orang memang benar-benar ingin melihat kasus-kasus di atas selesai, tapi yang banyak justru “menjual”-nya demi kepentingan politik, kelompok atau pribadi.Biarlah itu menjadi urusan mereka masing-masing.

Kembali ke headline Kompas tentang suramnya kondisi angkot di Jakarta. Saya mencoba melakukan riset kecil-kecilan.Dari 10 teman, yang saya duga membaca koran Kompas, dan berasal dari golongan menengah ke atas, hanya 1 yang mengaku membaca dan tertarik dengan berita itu.Sisanya, menjawab tak peduli, atau bahkan tidak tertarik sama sekali.Padahal, ia ditempatkan di halaman depan, dengan huruf yang eye catching.Kebanyakan dari mereka tidak tertarik, karena dia, isterinya dan anak-anaknya tidak pernah naik angkot di seputar Jakarta.“Kalau saya tidak pernah berhubungan dan berkepentingan dengan angkot, mengapa harus repot?”, demikian kira-kira jawaban yang keluar dari mereka.Memang, mayoritas kalangan menengah ke atas; saya, anda atau kita semua, mengacuhkan, tidak peduli atau mendiamkan banyak (sekali) cerita yang memprihatinkan, yang sedang terjadi di negara tercinta ini.Rasa-rasanya alasannya sah-sah saja.Kita berhak untuk tidak icam (ikut campur) dengan kejadian-kejadian “nun jauh di sana”, sementara urusan sendiri, banyak yang terbengkelai.Tetapi, pengalaman seorang pastor asal Jerman, Martin Niemoller (1892-1984), tentang akibat dari keacuhannya, bisa menjadi contoh dan pelajaran.

Romo Martin adalah pendukung setia Nazi yang ketika itu sedang jaya, meskipun kemudian dia sungguh menyesal karenanya.Dia kemudiansadar bahwa mendukung sesuatu ketidak-adilan, kebobrokan, atau tindakan semena-mena, atau mungkin hanya mendiamkannya, pada waktunya akan menjadi bumerang bagi kita.Korban pertama, kedua, ketiga atau kesepuluh bukan diri saya, tetapi mungkin korban keseratus, adalah saya.Kebrengsekan, kalau kita diamkan, meskipun saat ini tidak mengenai saya, cepat atau lembat akan menghantam semua orang, termasuk diri saya.Kutipan Romo Martin yang terkenal, yang merupakan penyesalan atas kelakuannya di hari kemaren, banyak ditulis di banyak tempat.Salah satunya di United States Holocaust Memorial Museum, Washington DC.

First they came for the communists,

And I didn’t speak out because I wasn’t a communist.

Then they came for the trade unionsts,

And I didn’t speak out because I wasn’t a trade unionst.

Then they came for the Jews,

And I didn’t speak out because I wasn’t a Jew.

Then they came for me,

And there was no one left to speak out for me.

Puisi kreasi Romo Martin, yang semula menjadi pendukung Nazi, menggambarkan bagaimana kekuasaan kejam menghancurkan kaum komunis.Romo Martin, sebagai agamawan yang berdiri frontal head to head dengan komunis,justru mendukung Nazi, yang saat itu mendzolimi musuhnya.Begitu pula ketika Nazi melakukan ketidak-adilan terhadap trade unionist, dan kemudian menyiksa kaum Yahudi.Gereja masih tetap bergeming.Mereka menganut prinsip: “Lawan dari musuhku, adalah temanku”.Tak peduli bagaimana sikap dan perangai “temanku” itu.

Ketika komunis, trade unionst dan Yahudi habis tergilas, makaGereja Katolik menjadi sasaran berikutnya dari kesemena-menaanNazi.Giliran itu akhirnya tiba.Buah dari diamnya clergyman terhadap ketidak-adilan dan kebrengsekan Nazi.Itulah akibat keacuhan dan ketidak-inginan icam, siapa saja, karena pada saatnya, dia akan mendapat gilirannya, sebagai korban.

Diam kitaterhadap kisah ketidak-adilan, yang kini berseliweran sebagai berita-utama di media massa, pasti akan menjadi back fire ke arah diri kita.Ketika kita tidak icam terhadap kejahatan yang mengerikan di angkot; ketika kita diam seribu-basa terhadap kasus Mesuji dan Bima; ketika kita “pura-pura” meleng (menengok ke arah yang lain) terhadap pengrusakan bangunan dan pembunuhan pengikut salah satu aliran agama di Cikeusik – Banten; ketika kita pura-pura tuli dan buta terhadap pencabutan IMB sebuah tempat ibadah di Bogor plus umatnya harus kleleran (berserakan) berdoa di trotoar dan diancam disana-sini; dan masih banyak kata-kata “ketika kita”. Kita bukan bagian dari sang korban, kita bukan yang dikhianati, kita bukan yang didzolimi dussah kalau diam saja.Tunggu tanggal mainnya, kita akan akan menjadi korban First They Came versi Romo Martin, entah kapan.

Kalau saja anda belum mempunyairencana untuk tahun 2012, saya usul, agar bersama-sama saya, memasukkan “penyesalan” seperti yang dilakukan Romo Martin, dalam resolusi 2012.Kita senantiasa menjadi peduli terhadap segala bentuk ketidak-adilan, terhadap siapapun, tanpa pandang bulu.Saya juga tidak tahu bagaimana caranya melawan kesemena-menaan yang sifatnya masif dan berskala besar. Kalau anda mentok, sebaiknya kita turuti saja apa yang ada di Hadis Muslim, “Siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan lisan, jika juga tidak mampu, maka tolaklah dengan hati dan hal itu adalah selemah-lemahnya iman”.

*/ Terima kasih untuk sahabat saya, Petrus, yang memberi inspirasi untuk menulis artikel ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun