Suatu malam, saat menjelang tidur, BB saya berbunyi, menandakan ada email masuk. Ternyata berasal dari Wulan, anak perempuan saya yang sedang menempuh kuliah semester 7 di Bandung. Memang sudah lama dia tidak pulang, katanya sibuk dengan ujian akhir semesternya. Hati saya sedikit berdebar, ada tanda tanya, mengapa malam-malam begini dia mengirim kabar ke ayahnya. Ternyata, entah diciptakan sendiri atau copas dari mana, ada sebuah prosa yang dia kirim untuk saya. Judulnya adalah "Kasih Sayang Ayah". Ia menggambarkan hubungan batin yang terjalin antara seorang ayah, mungkin yang dimaksudnya adalah saya, dengan anak perempuannya. Yang ini, pasti dia, Wulan. Potongan "doa" tadi, saya kutip dibawah ini : Ketika aku menjadi gadis dewasa.... Dan harus pergi kuliah ke kota lain, ayah melepasku di batas kota. Tahukah kamu, badan ayah terasa kaku memelukku. Dia hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini-itu dan memintaku berhat-hati. Padahal aku tahu, ayah tak kuasa menahan tangis seperti ibu yang sedang memelukku erat-erat. Yang dia lakukan hanya menghapus titik-titik air di sudut matanya, dan menepuk pundakku, sambil berkata "Jaga dirimu baik-baik ya sayang". Ayah melakukan itu agar aku kuat...kuat untuk pergi dan beranjak dewasa. Disaat aku butuh uang kuliah, sosok pertama yang sibuk mengeluarkannya adalah dia. Ayah selalu berusaha agar aku merasa sama dengan teman-temanku yang lain. Dia selalu berlagak kuat ketika mendidik aku, agar aku lebih kuat menjadi manusia dewasa.... Ayah......... Saya tidak tahu harus berbuat apa, ketika kerongkongan saya tersekat menahan haru di dada. Semula saya berpikir bahwa kasih seorang ayah adalah sesuatu ungkapan yang abstrak, tidak konkret, pantang untuk ditampilkan, dan harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tak disangka bahwa ternyata ia juga bisa ditangkap dengan utuh oleh anaknya. Cerita mengenai kasih ayah yang selama ini jarang dinyatakan secara dramatis, mengingatkan saya akan sebuah film yang saya tonton kira-kira 10 tahun lalu. Film lama yang entah bagaimana, kok tiba-tiba diputar di gedung theatre di dekat rumah saya. Kalau tidak salah, judulnya "Father's Heart" (FH).   Ini adalah film Amerika, buatan tahun 1970-an.  Ceritanya sangat memikat, menyentuh perasaan, dan terutama memberi pelajaran kepada saya, bagaimana seorang ayah memberi kasihnya kepada anaknya, habis-habisan. Alkisah diceritakan tentang seorang remaja laki-laki belasan tahun yang menderita polio(?) sejak bayi, sebut saja namanya Bob. Kedua kakinya mengecil, lumpuh dan selalu menggunakan kursi roda untuk beraktivitas. Tetapi, Bob dikenal sebagai murid yang pandai, mempunyai banyak teman dan selalu energik. Bob seolah-olah bertingkah sebagai remaja yang mampu berdiri, berjalan atau bahkan berlari. Suatu ketika, sebagai anak muda yang menganggap dirinya oke-oke saja, Bob ingin ikut lomba "Trilaton", adu kekuatan, ketangkasan dan kegesitan remaja di cabang-cabang lari jarak jauh, berenang dan sepeda lintas-alam. Lomba itu menjadi ajang adu gengsi, sehingga sang juara akan menjadi remaja populer di seantero kota. Dia bakalan dikejar cewek-cewek dan menjadi gunjingan seluruh penduduk kota. Ini yang membuat Bob antusias untuk mengikutinya. Disinilah cerita tentang kasih-sayang seorang ayah ditumpahkan sehabis-habisnya. Melihat kesungguhan Bob mengikuti lomba itu, sang ayah all out mendukungnya. Pertama-tama, dia bahkan dicemooh tetangganya, ketika mendaftar Bob sebagai peserta lomba. Mana mungkin seorang anak yang bahkan untuk berdiri pun tidak mampu, harus berlari jarak jauh, mengayuh sepeda dan berenang. Tidak hanya itu, kedua ayah-anak bahu-membahu, mulai berlatih.  Sang ayah menggantikan tenaga si anak apabila diperlukan. Sesuatu yang biasa-biasa saja bagi remaja normal, tetapi tidak bagi Bob. Bila memungkinkan Bob mengayuh kursi rodanya, maka dia melakukannya sendiri, tetapi bila tidak, sang ayah akan "membopong", "mendorong", "menarik" bahkan "menyeret" Bob, dengan atau tanpa kursi roda. Sesuatu yang sebetulnya sangat sulit dilakukan. Tetapi dorongan kasih seorang ayah agar anaknya terpenuhi keinginannya, mengalahkan segala kesulitan yang menghadang. Digambarkan bagaimana sang ayah harus jatuh-bangun mendukung si anak untuk menyelesaikan lomba itu. Diakhir cerita, dikisahkan bahwa Bob, meskipun tidak menjadi juara, berhasil mencapai garis finis.  Tidak hanya Bob dan sang ayah yang menangis dalam kebahagiaan, tetapi juga seluruh peserta lomba plus penonton. Mereka terharu, menumpahkan air mata dan mengelu-elukan Bob sebagai bintang perlombaan tadi. Dan siapakah "pahlawan" dibalik ini semua? Dia adalah sang ayah. Dengan kasihnya, dia mewujudkan keinginan anaknya, penderita polio, pengendara kursi roda, untuk menyelesaikan Trilaton. Cerita film di atas, adalah satu dari banyak contoh bagaimana kasih ayah kepada anak digambarkan, secara total.  Kisah kasih seorang ayah tertutup oleh banyaknya kisah cinta ibu kepada anak-anaknya, yang jauh lebih kental, dramatis dan haru-biru. Cinta-kasih orang-tua kepada anak, selalu diwakilkan ibu, dan biasanya ayah hanya melatar-belakanginya saja. Padahal, tidak sedikit kasih ayah yang meluber tumpah dari hatinya membanjiri kehidupan anak-anaknya. Ayah jarang digambarkan sebagai makhluk yang penuh kasih kepada anak-anaknya. Ia lebih sering dilukiskan sebagai manusia yang rasionil, lugas, macho dan bertugas sebagai seorang polisi atau hakim di kehidupan keluarga. Di Indonesia, bahkan tidak dikenal adanya "Hari Ayah", sementara "Hari Ibu" diperingati setiap tanggal 22 Desember. Tetapi Amerika mengenal adanya "Father's Day", yang dirayakan setiap hari minggu ketiga di bulan Juni. Pada saat itu, semua anggota keluarga memberikan penghargaan dan penghormatan khusus kepada sang kepala rumah tangga. Toko-toko dan pusat perbelanjaan memasang discount khusus untuk pakaian dan perlengkapan lelaki dewasa. Konon "Hari Ayah" di Amerika dikaitkan dengan adanya pengorbanan banyak pekerja yang berstatus ayah yang tewas dalam kecelakaan tambang terburuk di dunia. Kala itu, 362 orang hilang, lebih dari 250 perempuan menjadi janda dan 1000 anak menjadi yatim yang terjadi di Monongah, West Virginia, 1907. Suatu kisah heroik yang melatar-belakangi "Hari Ayah" di negara adidaya. Meskipun tidak terbuka, penghargaan masyarakat terhadap fungsi seorang ayah dilakukan sporadis, disana-sini. Wulan mengirim prosa ke ayahnya, meskipun mungkin masih malu-malu. Sementara film FH menceritakan betapa perkasanya seorang ayah dalam mendukung cita-cita anaknya, penderita polio, yang ingin ikut lomba Trilaton. Keperkasaan seorang ayah, juga bisa diungkapkan dalam bentuk lagu, seperti yang didendangkan penyanyi yang terkenal dengan gitar akustiknya, Ebiet G. Ade. Lagu yang berjudul "Titip Rindu Buat Ayah", menggambarkan kegigihan seorang ayah yang meskipun sudah tampak tua dan lelah, bahkan gemetar, namun semangatnya tak pernah pudar untuk tetap menuai padi milik mereka. Tak lupa Ebiet juga mengeluh tentang nasibnya, yang sedang banyak menanggung beban. Sekali lagi, bahwa ungkapan kasih seorang ayah sering dinyatakan dalam bentuk lain yang terkesan lebih "laki-laki". Saya tidak sedang mendikotomi mana yang lebih besar, kasih seorang ayah atau ibu. Saya hanya ingin mengungkap bahwa dalam bentuk, waktu dan intensitas yang berbeda, seorang ayah mencurahkan kasihnya kepada anak-anaknya, bahkan bisa juga sampai mengorbankan hidupnya. Sudah sepantasnya kalau oleh karenanya, penghargaan untuk itu diberikan kepadanya. Samar-samar terdengar suara Almarhum Charles Hutagalung, solois band "The Mercys", dari radio tetangga. Charles sedang sendu mencari ayahnya yang pergi entah kemana, seperti dinyanyikan dalam lagunya yang berjudul : Ayah. .......................................... Untuk ayah tercinta, aku ingin bernyanyi Dengan air mata di pipimu Ayah, dengarkanlah, aku ingin berjumpa Walau hanya dalam mimpi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H