Saya yakin anda bertanya-tanya membaca judul diatas.Tidak biasanya kaum elit, orang berada, selebriti, atau high societyterlibat dalam antrean.Lebih-lebih kalau antrean itu untuk mendapatkan atau berebut sesuatu.Bisa barang, jasa atausekedar mendapatkan simpati daripihak lain dengan harapan mendapat imbalan di lain waktu.
Yang sering kita jumpai adalah antrean kaum menengah kebawah.Mereka bisa saja antre minyak-tanah untuk mengisi kompornya, yang belum kebagian tabung elpiji.Bisa juga antre sedekah yang dibagikan tokoh-masyarakat menjelang Hari Raya tiba.Atau antre tiket KA kelas ekonomi menjelang mudik Lebaran.Masih banyak contoh antrean yang dilakukan oleh kaum kebanyakan. Tetapi, sekali lagi, kali ini saya benar-benar akan bercerita tentang kaum menengah keatas yang rela antre berdesak-desakan, untuk mendapatkan sesuatu – yang kalau dipikir-pikir – nilainya tidak sepadan dengan usaha dan waktu yang mereka keluarkan.
Saya teringat zaman orde-baru, setiap pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM.Biasanya dilakukan 2-3 jam menjelang tengah malam, sesaat sebelum harga BBM naik.(Versi pemerintah, harga BBM bukan dinaikkan, tetapi disesuaikan). Menteri yang berwenang mengurus BBM tampil di layar TV, dengan muka sok serius dan tegang, diiringi berjuta-juta sorot mata pemirsa di rumah dan puluhan di studio, dengan perasaan was-was.Belum selesai acara pengumuman ditayangkan, puluhan mobil, plus mungkin ratusan motor sudah berjejer di hampir semua SPBU di seluruh Indonesia.SPBU yang nakal, malah buru-buru menutup “warung”nya, agar tidak menanggung kerugian saat detik-detik harga BBM berganti menjadi lebih tinggi.Kala itu, kenaikan BBM sekira hanya lima ratus rupiah, sementara jumlah BBM yang dibeli untuk mengisi tanki yang kosong, maksimal 40 liter.Total jenderal, sang pemilik mobilhanya menangguk “untung” dua-puluh ribu rupiah.Suatu jumlah relatif kecil untuk seseorang yang mampu memiliki sebuah mobil.Sementara dia harus begadang sampai lewat tengah malam di pinggir jalan, dan membuat macet jalanan.
Cerita yang mirip, saya lihat di suatu hari Minggu pagi di suatu pusat perbelanjaan di kawasan Senayan, Jakarta.Rasa ingin tahu timbul, saat melihat antrean yang mengular di lantai dasar.Ketika saya tanya, petugas keamanan yang mengatur antrean mengatakan bahwa di lantai 5 (ingat : saat itu saya berada di lantai dasar) ada obral sandal.Buatan Italia, dengan merek, sebut saja, C.Mereka memberi potongan harga 50%.Apa yang dilihat ketika saya melongokkan mata ke atas, ke arah lantai 5?Ratusan manusia bak ular-naga sedang sabar antre, berputar-putar di depan toko, melingkar melalui anak-tangga, berderet dari lantai dasar sampai lantai 5.Sementara toko yang menjual sandal obralan malah belum buka.Dari hasil ngobrol-ngobrol dengan beberapa orang yang antre di lantai 4, diketahui bahwa mereka sudah berangkat dari rumah, sekitar pukul 5.00 pagi.Sementara saat itu, hampir pukul 11.00, antrean pertama belum mendapat giliran.Berapa saving yang bakalan mereka peroleh untuk mendapatkan merek sandal yang lebih berat ke pola-hidup daripada fungsinya itu?Hanya berkisar dua ratus ribu rupiah.Saya tidak tahu, pukul berapa mereka mulai dilayani untuk mendapatkan sandal, yang menurut saya, bentuknya biasa-biasa saja – tetapi harus ditebus dengan berjam-jam berdiri melingkar-lingkar di depan toko-toko itu.
Kisah berikut, terjadi baru-baru ini, di suatu pusat perbelanjaan di SCBD, Jalan Jenderal Sudirman Jakarta.Jumat, 25 November 2011.Kali ini orang-berpunya sedang antre untuk membeli merek HP yang lagi ngetrend. Sebut saja, merek B. Untuk membungkus “kehebatan” produk tadi, pabrikan menjuluki HP tadi dengan smart phone.Ribuan orang mengepung shopping centre dan suasana anarkis tak terhindarkan.HP yang aslinya berharga Rp 4,6 juta cukup dibayar 50% nya.Itupun hanya untuk 1.000 pembeli pertama.Bagaimana dengan sisa pengantre selain yang seribu? Ya, empat ribuan calon pembeli harus puas dengan harga normal.Tetapi mereka tidak mau tahu, mereka tidak mampu menghitung lagi, mereka menjadi tidak rasional.Semuanya karena iming-iming discount 50%.Konon antrean sudah mengularsejak waktu menunjukkan pukul 22.00 malam kemaren.Alhasil 90 orang pingsan, beberapa mengalami patah kaki atau tangan. Pengantre di belakang mendesak ke depan, yang di depan tidak bisa maju karena pintu dan petugas menghadangnya.Polisi dan satpam tak kuasa mengatasi.Akhirnya penjualan HP “murah” dibatalkan.Buntutnya, sang pengusaha harus dibawa ke kantor polisi, untuk diinterogasi (Kompas, Sabtu, 26 November 2011)
Cerita terakhir saya kutip dari beberapa media masa dan tontonan di TV.Kejadiannya juga baru minggu lalu, tepatnya Sabtu, 26 November 2011, di “Jakarta Convention Centre” (JCC).Terlihat 7.500-an “pesohor negara” sedang kumpul di gedung pertemuan yang ditata artistik dan apik.Presiden Republik Indonesia sedang mantu.Besannya juga bukan orang sembarangan.Dia adalah Menteri Koordinator di kabinet dan orang kepercayaan RI-1.Kisahnya sudah banyak dimuat di media masa ibukota dan daerah.“Jangan dorong-dorongan ya”, demikian seorang penerima tamu mengingatkan para undangan untuk tertib berantre, seolah menghadapi anak TK yang sedang berbaris menunggu masuk kelas.Tetapi yang layak saya sandingkan di renungan ini adalah informasi yang mengatakan bahwa undangan yang tiba di lobi JCC pukul 19.00, baru bersalaman dengan sang empunya hajat pukul 21.30.Beberapa undangan malah sudah tiba sejak pukul 17.00.Takut tidak boleh masuk ke ruang resepsi.Kalangan selebriti, cerdik cendekia, tokoh masyarakat, tokoh politik atau orang ternama harus rela antre selama 2,5 jam untuk menyalami Presidennya, ibu negara, puteranya, menantunya dan besannya. (Kompas, Senin, 28 November 2011). Sebagian sambil menggerutu, yang lain tetap tertawa.Hadir di royal wedding seperti ini memang bukan peristiwa biasa-biasa saja.Sehingga, menunggu berjam-jam pun, bukan merupakan suatu siksaan.Yang pasti, semua orang sumringah, suasana gemebyar dan penuh dengan kegembiraan.Satu contoh lagi kaum the havesharus antre lama.Kali ini untuk sesuatu yang(mungkin) sangat menyenangkan.
Sering terjadi, sengaja atau tidak,kita terjebak dalam situasi mirip kisah-kisah diatas.Ia disebut oleh ahli filsafat-ekonomi Dr. B. Herry Priyono SJ, sebagai “kecanduan konsumsi”.Masyarakat Indonesia semakin tak mampu mengontrol dan mengambil jarak dengan sesuatu yang dimakan, dipakai, didengar dan dilihat.Kebanyakan orang Indonesia tidak bisa lagi membedakan mana yang need dan apa yang want.Apa yang memang benar-benar dibutuhkan dan apa yang hanya diinginkan.“Need is something you have to have and wantis something you would like to have”.Sehingga untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan pun kita mau bersusah payah dengan cara yang tidak rasional.Need dan want sudah bercampur aduk, sukar untuk dibedakan. Sebabnya bisa bermacam-macam.Diantaranya adalah karena gencarnya iklan yang ditayangkan di media masa terutama pesawat TV dan peers presure yang acap menggencet,sulit untuk dihindari.
“Adiksi konsumsi” bahkan kini telah menjalar kepada mereka, kaum the haves not, sehingga pemaksaan diri untuk mengutamakan want dan kemudian malahan melalaikan need semakin kentara, semakin kental dan sering gampang terlihat.Sesuatu yang sebetulnya merupakan kisah tragis.
Keempat cerita tadi menunjukkan bahwa gengsi danharga diri lebih banyak dilihat dari bentuk luar semata-mata.Life style menjadi “agama baru” yang dijiwai dan diinternalisasi lebih dalam.Sesuatu yanggemerlapan, populer dan indah langsung disebut sebagai nilai kesuksesan. Tak peduli apakah itu sukses pahit (bitter success), atau sukses beracun (toxic success). Padahal kebahagiaan hidup sejati hanya dapat diraih ketika manusia mencapai sukses bermakna (meaningfull success).Sukses yangmenjadi sumberkebahagiaanbagi diri sendiri,orang lain, masyarakat luas dan alam semesta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H