Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sleeping Policeman

15 April 2011   00:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:47 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13028284861623769119

Ada lelucon  dalam bentuk tebakan tentang profesi Polisi yang agak sinis.  Pertanyaannya : "Siapakah Polisi di Indonesia yang  jujur?".  Jawabannya hanya ada 3, yaitu :  patung-polisi, polisi-tidur (PT) dan Almarhum Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, bekas Kapolri legendaris yang lurus, anti KKN dan tetap hidup sederhana sampai meninggalnya.  Melanjutkan tebakan diatas, saya   bingung ketika keponakan saya, 12 tahun, menanyakan apa bahasa Inggris "polisi-tidur", dan apakah ia juga ada di negara-negara maju, seperti Eropa dan Amerika.  Semula, saya menyangka bahwa PT adalah istilah dan "sesuatu" khas Indonesia yang hanya ada di Indonesia,  diciptakan di Indonesia, oleh orang Indonesia, dan khusus digunakan untuk keperluan lalu-lintas Indonesia.  Ternyata dugaan saya salah.  Sesuatu yang di Indonesia, disebut  PT, dikenal pula di negara-negara maju, dengan padan-kata masing-masing.  Di Belanda, PT disebut verkeersdrempel, di Rusia disebut spyashy-politseisky dan dalam Bahasa Inggris, PT mempunyai banyak sinonim, seperti traffic-bump, speed-trap, traffic-bump bahkan diterjemahkan secara harafiah menjadi sleeping-policemen.  Suatu istilah Bahasa-Inggris yang menurut sahabat saya yang lama tinggal di Amerika, tidak pernah dia dengar, dan bagi saya dengan kemampuan berbahasa Inggris pas-pasan, istilah itu terasa lucu.

Apapun yang terjadi di sana, PT adalah sesuatu yang sangat sering kita jumpai di gang-gang, di jalan-jalan kecil, bahkan di jalan-raya di Indonesia.  PT dibikin secara mencolok di jalan-jalan, dengan ketinggian dan sudut kemiringan yang runcing.  Pemasang seolah-olah marah kepada semua pengguna jalan dan memaksa mereka untuk berjalan dengan ekstra hati-hati dan kecepatan serendah mungkin.  PT seolah-olah benar-benar menjadi polisi untuk mencegah pemakai kendaraan bermotor  mengemudikannya dengan kecepatan tinggi.   Ia menjadi pemaksa agar pengendara berjalan pelan di suatu jalan atau gang yang sebetulnya secara teknis sudah tidak memungkinkan untuk kencang.  Padahal, kalau saja hukum itu ada di sana dan penegakan-hukum tidak sirna, maka di mulut jalan tadi, cukup dipasang tanda lalu-lintas dengan batas kecepatan yang ditentukan.  Apabila ada pelanggaran, si pelaku harus ditindak sesuai hukum yang berlaku. So, PT tidak diperlukan.

Tapi, mengapa PT, yang ternyata juga dikenal di negara-negara lain,  menjadi sangat populer di Indonesia?  Mengapa PT seolah-olah dibuat "hidup" dan menjadi "polisi-bangun"?  Mengapa PT dibuat ekstrem, tinggi dan jumlahnya, sementara Keputusan Menteri Perhubungan, no 3 tahun 1994, tentang pengaturan PT hanya membolehkan sudut kemiringan maksimum 15% dan tinggi tidak boleh lebih daripada 150 mm?  PT menjadi marak, sejak zaman reformasi, ketika jalan-jalan masuk di perumahan tidak hanya dibentengi  PT, tetapi juga   dengan portal-portal pipa-besi yang kokoh.  PT, dan juga pelindung perumahan lainnya, menjadi menjamur ketika keamanan mengancam masyarakat, dan yang paling kentara, masyarakat mulai menjagai dirinya secara informal dan personal, ketika penegakan hukum menjadi sangat  lemah.  Ketika peraturan tidak dihiraukan dan penegak-peraturan (dan penegak-hukum) tidak melakukan tugasnya, maka masyarakat mengambil jalan pintas untuk menyelesaikannya masalahnya sendiri-sendiri.  Seandainya peraturan mengenai batas kecepatan ada di setiap jalan-jalan, dan petugas penegak-peraturan ada dan melakukan tugas dengan benar, maka tidak akan pernah terbaca di suatu mulut gang, ancaman seram yang berbunyi : "Ngebut.....benjut", dengan ilustrasi gambar kepalan tangan yang menggenggam ketat, dan tidak terlihat PT bermunculan setiap jarak 10 meter.

Dari sisi pendapat ahli-hukum maka  kondisi masyarakat Indonesia yang saat ini sedang karut-marut, disebabkan oleh  (sangat) lemahnya  penegakan-hukum  di Indonesia.  Menurut Plato (427-347 SM), seorang Filusuf terkenal dari Yunani, praktek demikian identik dengan pemahaman bahwa hukum bagaikan jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat (Dinatropika - 11 April 2009).  Dalam pelbagai strata dan lini di masyarakat, penegakan-hukum atau bahkan hanya penegakan-peraturan masih sangat lemah dan diskriminatif.  Ia menumbuhkan implikasi kerusakan di pelbagai bidang masyarakat.  Ia membuat masyarakat sakit.  Ia menyebabkan   masyarakat mengambil jalan sendiri-sendiri untuk menjaga kepentingannya dan cenderung mengabaikan kepentingan orang lain atau umum.  Masyarakat cenderung menjadi anarkis, tidak hanya di jalan-raya, tetapi juga hampir di semua lini kehidupan.  Kuncinya hanya satu, karena penegakan-hukum atau bahkan penegakan-peraturan sangat lemah dan terus melemah.

"Fenomena polisi-tidur", demikian saya menyebutnya, adalah reaksi otomatis yang muncul dari suatu masyarakat yang merasa bahwa peraturan atau hukum sering absen.  Ia timbul karena atasan, penguasa, atau negara tidak terlihat disana sebagai penegak-hukum yang konsisten, independen dan demokratis.  Mereka, lantas membuat hukum sendiri yang biasanya justru keluar dari peraturan atau hukum  formal.  Ironisnya, "fenomena polisi-tidur" saat ini muncul secara bertahap, tapi pasti,  dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, dan, sekali lagi, ia cenderung anarkis.  Salah satu contoh adalah pungutan-liar (pungli).  Seorang Petugas Kelurahan, mengutip "uang-lelah" pembuatan KTP, yang melebihi aturan di kantornya, terkena pungli oleh Polantas saat dia melanggar marka jalan.  Sang Polantas, terkena "uang-bangku" yang inkonstitusional, saat dia mendaftar anaknya di suatu SMP Negeri, sementara sang Kepala Sekolah harus mengeluarkan "uang pelicin" kepada pegawai Depdiknas saat mengurus surat kenaikan pangkatnya.  Begitu seterusnya, lingkaran-setan ini terus berputar tanpa mau tahu siapa pemberi dan siapa penerima.  Ia terus menggelinding seperti bola salju yang semakin membesar, dan melibatkan hampir semua warga-negara.  Itulah yang sekarang sedang diderita oleh masyarakat Indonesia.  Kondisi ini, terus diperparah karena budaya kita yang sulit untuk lugas, zakelijk, apa adanya, ketika harus berhadapan  dengan teman, saudara, orang-dalam,  atau kenalan sendiri.  Kita sering berteriak-teriak  untuk membasmi KKN, tetapi justru balik badan, membela pelaku atau tersangka kalau yang terlibat adalah saudara, teman segrup atau kenalan dekat.  Kita menjadi lebih berat kepada hubungan pertemanan atau persaudaraan dibanding menegakkan peraturan atau hukum, untuk kepentingan umum.  Kita hanya bisa "sok tegas", "sok bersih" dan "sok  suci" ketika itu ditujukan kepada orang-lain, orang-luar atau orang-beda, tetapi akan menjadi sangat subyektif dan defensif ketika berkenaan dengan diri kita atau  in group.

Sebagai penutup dari artikel ini, saya ingin cerita tentang penghindaran law enforcement yang saya lakukan baru-baru ini.  Tanpa kami duga, ternyata kami melanggar marka jalan di jembatan-layang Tomang.  Tak ayal lagi,kami dicegat petugas Polantas.  Setelah sedikit basa-basi dan menerangkan alasan mengapa mobil kami dihentikan, Sang Petugas mengatakan bahwa supir kena Tilang.  Saya buka kaca jendela belakang dan  berujar : "Pak, saya terburu-buru karena ditunggu rapat Menteri ESDM".  Tentunya itu bukan sesuatu cerita yang benar.  Tanpa kami duga sebelumnya, pak Polantas langsung mempersilakan kami jalan, tanpa harus memberi surat Tilang.  Ketika penegakan-hukum menimpa saya, maka kerelaan saya untuk menerimanya, turun ke titik nol.  Saya mengelak karena  berpikir bahwa anarkisme-hukum sedang terjadi, dan saya terlibat di dalamnya. Saya sedang melakukan apa yang dinyatakan Plato diatas, yaitu  ketika jaring laba-laba sedang menjerat diri saya, saya merobeknya agar lolos daripadanya.  Itu terjadi karena saya "kuat" untuk melakukannya, dan karenanya, kriminalitas semakin tinggi, seperti yang dikatakan Albert Einstein (1879-1955), Ahli dan Profesor Fisika, pemenang hadiah Nobel 1921 : "For nothing is more destructive of respect for the government and the law of the land than passing laws which cannot be enforced. It is an open secret that the dangerous increase of crime in this country is closely connected with this." (Terjemahan bebas dari saya : Tidak ada hal yg lebih merusak suatu negara daripada membiarkan hukum dan peraturan  tidak ditegakkan dan dipatuhi. Menjadi rahasia umum bahwa peningkatan kriminalitas yg memprihatinkan di suatu masyarakat sangat erat berhubungan dengan hal ini)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun