Hanya 3 film India yang saya tonton. Pertama adalah “My Name is Khan”. Yang kedua, “3 Idiots”, dan yang terakhir, “PK”. Kebetulan ketiganya bagus, jauh dari tontonan drama percintaan India, yang biasa diwarnai tari-menari dan menyanyi, sambil kadang-kadang ngumpet di belakang tiang atau pohon besar.
Sama dengan 2 yang pertama, PK adalah film yang luarbiasa. Saya memberi nilai “sangat bagus”. Meski penuh tawa, saya dipaksa berpikir, terutama tentang hubungan manusia dengan Penciptanya, komunikasi yang terjalin dan posisiNya dalam hidup saya. Itulah mengapa PK saya sebut kisah yang komplet.
PK adalah film drama komedi, tentang seorang(?) alien yang datang dari luar angkasa untuk melakukan penelitian di bumi. Celakanya, remote control yang dikalungkan di lehernya, yang harus digunakan untuk memanggil pesawat luar angkasa, bila tugas sudah selesai, dicuri “makhluk bumi”, yang disebut manusia. Sesaat setelah tiba di sebuah dataran antah berantah, yang bisa jadi, di India sana, sang alien langsung mendapat musibah.
Tanpa alat itu, dia menjadi luntang-lantung, tak jelas juntrungannya, entah mau apa. Tugas meneliti kacau balau, sementara kemungkinan kembali ke “rumah”-nya, nun jauh di sana, tertutup sudah. Dia menjadi gelandangan, yang harus belajar bagaimana bergaul dangan manusia, penghuni bumi yang “aneh”, tentunya versi makhluk luar angkasa.
Jalannya terhuyung-huyung, perilakunya gamang, bahkan saat-saat pertama, dia tak bisa bicara dan tak berbaju. Orang menamakannya “Pee-Kay”, kemudian disingkat PK, bahasa Hindi yang berarti limbung. Singkatnya, PK menjadi “orang aneh” di kalangan manusia “normal” di bumi ini.
Bagi PK, percakapan bumi tak dimengerti. Penutup badan, menjadi sesuatu yang menggelikan, dan yang paling mengherankan, cara berpikir manusia sungguh tak dapat diterima akal-sehatnya.
Wajar, kalau PK berpikir demikian. Bayangkan saja, ada orang yang tiba-tiba dewasa, tanpa melalui proses pertumbuhan dan pemahaman seperti yang dilalui manusia “normal” lainnya. “Hum bahut hi confusiya gaya hoon”. Saya sungguh bingung dengan semua ini. Atau, rasa kesalnya, saat “alat sakti”, yang sangat penting, dicuri orang. “Humra gola par log jhoot nahi bolta hai”. Orang di planetku tak ada yang berbohong (dan mencuri).
Selain baju didapat dari mencuri milik pasangan yang sedang bercinta di dalam mobil, bahasa manusia akhirnya bisa dikuasai. Semua usaha itu dilakukannya agar bertahan hidup. PK yang mempunyai kehebatan berkomunikasi dengan hanya berpegangan tangan, lambat laun menjadi manusia bumi seperti kita. Tentunya dengan pemahaman “budaya” manusia yang terbatas.
Meski terkesan dipaksakan, ada anak-cerita yang membawa penonton hanyut dalam luapan emosi yang mengharukan. PK masih film India. Kisah percintaan antara Jaggu, si cantik jelita dari Delhi, beragama Hindu, dengan Sarfaraz, pemuda tampan asal Pakistan, Muslim, akhirnya harus putus karena beda bangsa dan agama. (Meski akhirnya nyambung kembali di akhir cerita)
Kisah cinta yang indah dengan setting kota Brussels yang romantis, membuat kisah putus cinta semakin dramatis. Jaggu patah hati dan pulang kampung. Kemudian bertemu PK dan menjadi kawan curhat. Pertemanan yang malahan menjadi pintu masuk bagaimana pesan dari film ini ingin disampaikan kepada penonton. Persahabatan yang menguak siapa sebenarnya PK dan konflik yang dialami saat berada di bumi yang “aneh” ini. Dari sinilah kemudian spirit dari film ini mulai dapat diikuti dan enak ditonton.
Saat mengeluh soal remote-nya yang hilang, PK mendapat banyak petuah. Isinya mirip. “Berbicaralah kepada Tuhan, hanya Dia yang dapat menolong kamu”. Dan berbicara dengan Tuhan, hanya bisa melalui “agama”. Dan dalam agama, “pemimpin umat” menjadi kunci yang sangat menentukan.