Mohon tunggu...
Bayu Susatyo
Bayu Susatyo Mohon Tunggu... -

Hanya seorang berkebangsaan dan bertanah air Indonesia yang menginginkan negerinya bener

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjawab AEC (ASEAN Economic Community) 2015

25 Januari 2015   19:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:24 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan 17 ribuan pulau membentang dari Sabang sampai Merauke. Konsekuensi dari sebuah negara kepulauan menjadikan Indonesia memiliki lautan yang sangat luas. Meskipun pulau – pulau tersebar, tidak lantas menjadikan laut sebagai pemisah. Justru laut yang sebegitu luasnya harus dipahami sebagai kesadaran geo-politis untuk mencapai kemakmuran bangsa dan negara Indonesia.

Pada tahun 2015 ini, telah resmi diberlakukan sebuah pakta integrasi ekonomi di negara – negara yang tergabung dalam ASEAN, termasuk Indonesia. Tahun ini telah resmi diberlakukan AEC, yaitu ASEAN Economic Community. AEC ini merupakan salah satu pilar dari ASEAN Vision 2020 yang disepakati pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-2 ASEAN tanggal 15 Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kesepakatan ini oleh para pemimpin ASEAN ditujukan untuk menciptakan kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, makmur dan memiliki daya saing tinggi yang ditandai dengan arus lalu lintas barang, jasa – jasa dan investasi yang bebas, arus lalu lintas modal yang lebih bebas, pembangunan ekonomi yang merata serta mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. Pada kelanjutannya, ASEAN Vision 2020, yang dalam hal ini adalah AEC, ini disepakati untuk dipercepat menjadi 2015. Untuk mencapai AEC, setiap negara – negara anggota ASEAN berkewajiban untuk komitmen dalam sebuah pedoman yang telah disepakati bersama, yaitu AEC blueprint. Blueprint tersebut berisi rencana kerja strategis jangka pendek, menengah, dan panjang hingga tahun 2015, yaitu :

1.Menuju single market dan production base (arus perdagangan bebas untuk sektor barang, jasa, investasi, pekerja terampil dan modal)

2.Menuju penciptaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi (regional competiton policy, IPRs action plan, infrastructure development, ICT, energy cooperation, taxation, dan pengembangan UKM)

3.Menuju suatu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata (region of equitable economic development) melalui pengembangan UKM dan program – program Initiative for ASEAN Integration (IAI)

4.Menuju integrasi penuh pada ekonomi global (pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi eksternal serta mendorong keikutsertaan dalam global supply network

Dari situ bisa kita lihat, bahwa AEC yang merupakan integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara ini akan memberikan sebuah persaingan yang ketat di bidang ekonomi, mulai dari persaingan produk sampai ke tenaga kerja atau SDM di antara negara – negara di ASEAN. Persaingan yang terlalu kompetitif memicu kesenjangan ekonomi antar negara. Misalkan Singapura, negara dengan pendapatan perkapita tertinggi di ASEAN ini tentunya tidak bisa dibandingkan bahkan disamaratakan dengan negara – negara berkembang di kawasan Asia Tenggara, salah satunya Indonesia yang harus cermat dan teliti dalam “kebebasan” ini. Peluang dan tantangan harus dianalisis, ditanggapi dan diimplementasikan secara konseptual sehingga nantinya Indonesia tidak hanya menjadi market bagi para investor luar saja atau istilahnya menjadi kacung di negara sendiri, melainkan mampu mengendalikan pasar international serta dapat mewujudkan perubahan berarti bagi kehidupan keseharian masyarakatnya

Sektor kemaritiman yang harusnya menjadi sektor yang “sexy” justru belum mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah. Kemaritiman di masa mendatang menjadi pilar utama dalam perekonomian dunia. Karena terdapat banyak sekali potensi yang bisa didapat dan diolah. Di sektor ini, bisa kita dapatkan sumber pangan dan energi bahkan energi alternatif pun bisa didapatkan, misalnya energi gelombang dan arus laut. Jangan sampai kemaritiman hanya menjadi kejayaan masa lalu yang hanya bisa dikenang. Jangan sampai juga, kedaulatan negara Indonesia dinjak – injak karena kemaritiman yang belum diperhatikan oleh pemerintah, diambil alih oleh investor asing.

Menakar kesiapan Indonesia jelas terlihat kurang, apalagi di sektor maritim. Dalam menghadapi AEC banyak sekali parameter yang perlu dipersiapkan. Salah satu parameter tentang kesiapan penyediaan SDM yang profesional dan berdaya saing untuk bidang maritim. Kurangnya peran pemerintah dalam penyediaan SDM yang profesional dan berdaya saing berimplikasi kepada daya jual SDM Indonesia di mata dunia atau minimal di ASEAN. Para SDM di bidang kemaritiman ini, jauh dibawah dari kualitas SDM luar negeri. Yang tekualifikasi secara internasional pun jumlahnya sangat kurang. Hal ini jelas menjadi sebuah masalah besar bagi Indonesia. Negara yang terkenal akan luas dan banyaknya potensi di bidang kemaritman ini hanya menjadi penonton di negeri sendiri.

Sudah kita ketahui bersama, bahwa lautan di Indonesia ini justru dikuasai oleh luar negeri. Dikuasai dalam hal ini berarti potensi yang terkandung di dalamnya diambil semuanya, dan Indonesia hanya mendapatkan bagian yang sangat kecil. Hal ini menjadi ironi, dimana sebuah negara yang memiliki lautan membentang 5150 km dari Sabang sampai Merauke yang memiliki potensi kekayaan besar hanya mendapatkan “recehan”. Keadaan ini semakin diperparah dengan diberlakukannya AEC pada tahun 2015 ini. Hal itu berarti persaingan bebas di negara – negara kawasan Asia Tenggara.

Dampak yang paling nyata berkaitan dengan AEC di bidang kemaritiman adalah persaingan tenaga kerja yang profesional. Negara lain pastinya sudah mempersiapkan SDM yang profesional, karena melihat Indonesia yang demikian besarnya potensi yang terkandung dalam bidang martim, dimana Indonesia sendiri belum begitu memperhatikan jati dirinya. Keadaan para tenaga kerja Indonesia di bidang maritim memerlukan sebuah formulasi yang tepat untuk meningkatkan daya saingnya. Melihat kondisi SDM Indonesia bidang kemaritiman yang kurang mumpuni menjadikan celah yang lebar di era pemberlakuan AEC 2015.

Masalah yang dihadapi dalam AEC kali ini berkaitan dengan ketersediaan SDM yang profesional dan berdaya saing, akan berimplikasi kepada  industri kemaritiman, seperti industri perkapalan dan energi. Kapal – kapal buatan industri perkapalan dalam negeri tentunya juga akan mengalami kerugian karena kualitasnya kalah bersaing dengan negara lain sebagai akibat ketersediaan SDM yang profesional dari Indonesia. Galangan – galangan kapal dan fabrikasi bangunan lepas pantai pastinya bakalan mengalami kerugian dan akhirnya gulung tikar. Dan lagi – lagi, bangsa Indonesia kehilangan kedaulatannya.

Tantangan yang akan dihadapi Indonesia di AEC ini, salah satu yang paling penting tentang daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang kemaritiman pada khususnya. Hard skill dan soft skill dari tenaga kerja Indonesia harus ditingkatkan minimal memenuhi ketentuan standar yang telah disepakati. Untuk itu, Indonesia harus dapat meningkatkan kualitas tenaga kerjanya sehingga bisa digunakan baik di dalam negeri maupun intra-ASEAN untuk membendung tenaga kerja terampil dari luar sehingga Indonesia tidak menjadi budak di negeri sendiri. Memang yang menjadi kendala di Indonesia yaitu tentang kualitas dari sumber daya manusianya. Sebelum booming adanya AEC, kualitas dari sumber daya manusia di Indonesia belum begitu diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan dari warga negara Indonesia yang masih rendah. Rata – rata tenaga kerja Indonesia hanya sampai lulusan SMP. Jangankan SMP, tenaga kerja Indonesia yang lulusan S1 pun bakal menemui kesulitan dalam menghadapi persaingan di kancah AEC ini apabila tidak memiliki sebuah standar yang diakui.

Tenaga kerja Indonesia yang semacam ini belum bisa dikatakan sebagai tenaga kerja profesional. Kata profesional yang dimaksud di sini, mengandung arti sesuai dengan kualifikasi dan standar. Dalam konteks sebuah kapal atau vessel, sebelum vessel tersebut layak dan laik untuk dioperasikan harus dilakukan sebuah standardisasi atau class. Hal ini berkaitan dengan safety saat pengoperasiannya dan kualitas dari vessel tersebut dapat menahan beban gelombang dan beban lingkungan di laut dimana menjadi pengoperasiannya. Pun dengan jenis dari vessel tersebut. Jenis dalam konteks vessel, berkaitan dengan fungsi dari vessel tersebut peruntukannya untuk apa. Kalau untuk Tanker, ya harus memenuhi standar dari pembuatan dan perancangan Tanker.

Ibarat vessel, tenaga kerja Indonesia di bidang kemaritiman harus memiliki kualifikasi yang terstandardisasi yang diakui oleh dunia internasional, atau minimal dalam intra-ASEAN. Dan juga, standar bukan hanya melakukan ”class” tentang terkualifikasinya tenaga kerja tersebut, tapi juga berisi mengenai panduan untuk melaksanakan kerjanya, akan tetapi tidak membatasi kreativitas dari orangnya. Contohnya dalam pengerjaan perancangan dan perencanaan sebuah anjungan minyak lepas pantai. Dalam kasus ini, di dalam codes yang menjadi standar perancangan anjungan minyak lepas pantai diberikan panduan perletakan peralatan di top side mengenai distribusi beban dalam menunjang stabilitas dari anjungan minyak lepas pantai dalam menghadapi beban lingkungan di laut, tetapi untuk perencanaan perletakannya, sang designer tidak dibatasi kreativitasnya dalam menentukan perletakan asalkan sesuai dengan codes yang dipakai.

Inti dari standardisasi pekerja atau tenaga kerja adalah kepercayaan. Sebuah perusahaan tentunya akan menghasilkan produk baik berupa barang ataupun jasa, dalam meningkatkan daya saing akan memberikan yang terbaik. Pengakuan atas yang terbaik ini tentunya berasal dari kualitas tenaga kerjanya. Dan kualitas dari tenaga kerja terbaik dan yang menghasilkan terbaik, akan mendapatkan pengakuan dari perusahaan atau pelaku pasar apabila sudah terstandardisasi dan terkualifikasi oleh suatu badan standardisasi yang diakui dunia, atau dalam hal ini minimal diakui oleh intra-ASEAN. Ini akan memberikan implikasi kepada tenaga kerja Indonesia di bidang kemaritiman harus memiliki kualitas dan diakui kualifikasinya, atau dalam bahasa kerennya terstandar, kalau mau tetap struggle dalam menghadapi AEC yang tahun 2015 ini sudah dimulai.

Sebagai kader umat dan kader bangsa, HMI dalam menghadapi AEC ini sangat dibutuhkan untuk membantu menjadi katalisator kemajuan bangsa. Seperti yang menjadi mission HMI, para kader yang memiliki kualitas sebagai insan cendekia dan memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil makmur dalam bingkai keislaman. Memiliki tanggung jawab yang seperti di atas, para kader HMI tentunya juga memiliki kecakapan khusus, karena tidak mungkin sebuah tanggung jawab apalagi tanggung jawab yang begitu besarnya diberikan kepada orang – orang biasa. Insan akademis yang disandang oleh kader HMI, akan memberikan sebuah motivasi plus – plus dan kepercayaan diri dalam menghadapi tantangan AEC ini.

Mission HMI yang merupakan sebuah tugas suci yang diemban oleh para kader HMI yang akademis, pencipta dan pengabdi dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi Alloh swt sebagai perwujudan perjuangan yang bernafaskan islam. Kualitas insan cita HMI adalah dunia cita yang terwujud oleh HMI di dalam pribadi seorang mahasiswa yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Dari lima kualitas lima insan cita tersebut pada dasarnya harus memahami dalam tiga kualitas insan Cita yaitu kualitas insan akademis, kualitas insan pencipta dan kualitas insan pengabdi. Ketiga insan kualitas pengabdi tersebut merupakan insan islam yang terefleksi dalam sikap senantiasa bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang ridhoi Allah SWT.

Aktualisasi dan implementasi kualitas insan cita memerlukan sebuah formulasi yang tepat dalam rangka menghadapi AEC khususnya di bidang kemaritiman. Kualitas insan akademis yang digambarkan sebagai insan yang berpendidikan tinggi, mampu berpikir kritis dan memiliki kemampuan teoritis dan teknis yang sanggup bekerja secara ilmiah. Implementasinya untuk para kader HMI, khususnya yang bidang keprofesiannya di bidang kemaritiman, harus rajin mengikuti dan update khazanah keilmuan di bidang kemaritiman. Hal ini dapat dilakukan dengan sering mengikuti seminar dan publikasi jurnal – jurnal ilmiah. Tidak hanya itu, para kader HMI yang bidang keprofesiannya di bidang kemaritiman harus mendalami codes yang menjadi acuan dan diakui di dunia internasional.

Kualitas insan pencipta yang sudah didasari kemampuan penguasaan akademis dijelaskan dengan para kader HMI yang berjiwa penuh dengan gagasan kemajuan, insan kreatif yang ditopang kemampuan akademisnya mampu melaksanakan kerja kemanusiaan. Seperti dijelaskan di atas, profesional yang sudah terkualifikasi dan sesuai dengan codes yang menjadi standar, tidak dibatasi kreativitasnya. Karena ditopang dengan kemampuan akademis dan pemahamannya, kader HMI yang bidang keprofesiannya di kemaritiman, harus mampu memberikan formulasi yang baru untuk Indonesia dalam rangka menghadapi AEC. Seperti contoh, membuat desain sebuah kapal selam yang tidak bisa terdeteksi oleh sonar dari kapal lain. Hal semacam ini selain menambah daya saing kader HMI, yang bidang keprofesiannya kemaritiman pada khususnya. Karena dengan kemampuan akademis dan kreativitasnya, kader HMI mampu menyiapkan diri dan daya saing dalam menghadapi tantangan AEC, bahkan globalisasi dunia.

Penggambaran insan pengabdi yang menjadi lanjutan dari insan yang akademis dan pencipta harus ikhlas dan sanggup berkarya serta bersungguh – sungguh mewujudkan cita – cita untuk kepentingan sesamanya. Dalam implementasinya, para kader HMI, yang bidang keprofesiannya di bidang maritim, setelah kapasitas keilmuannya mumpuni dan meiliki kreativitas, harus dipraktekkan untuk kebaikan umat dan bangsa. Menjadi sia – sia tatkala kecerdasan dan kreativitas yang dimiliki seseorang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya ataupun golongan. Karena konsep berpikir dari HMI adalah untuk Indonesia. Sebagai contoh, setelah berhasil membuat desain kapal selam yang tidak terdeteksi oleh sonar, pemanfaatannya untuk kemajuan bangsa Indonesia, dalam hal ini mungkin dimanfaatkan oleh TNI AL dalam mendukung alutsista. Persoalan pertahanan dan keamanan ini penting karena dalam konteks AEC, arus keluar masuk barang, jasa dan manusia antar negara – negara di ASEAN sangat banyak. Dan tentunya meskipun sudah disepakati AEC, kedaulatan negara juga penting diperhatikan. Mengingat, batas negara Indonesia dengn negara lain hampir seluruhnya di wilayah laut.

Kualitas insan yang bernafaskan islam di sini menjadi “jiwa” dan pedoman pola pikir dan pola laku oleh para kader HMI tanpa memakai merk Islam. Karena islam telah berhasil membentuk “unity personality” dalam dirinya. Kualitas insan ini mengintegrasikan masalah suksesnya pembangunan nasional bangsa ke dalam suksesnya perjuangan umat islam Indonesia dan sebaliknya. Hal ini terjadi disebabkan nafas islam telah membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema dalam dirinya sebagai warga negara dan sebagai muslim. Sebagai kader HMI, yang bidang keprofesiannya di kemaritiman, landasan yang dipakai sudah barang tentu adalah islam. Dalam pengimplementasiannya, seorang kader HMI akan memegang teguh prinsip – prinsip Islam. Terutama yang menjadi case study kali ini, yaitu tentang desain kapal selam yang tidak terdeteksi sonar, awal perencanaannya tentu tidak men-jiplak atau palgiat dari karya orang lain karena hal itu melanggar prinsip – prinsip islam.

Menjadi insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Alloh swt adalah bentuk kesadaran akan kedudukannya sebagai “khalifah fil ard” yang harus melaksanakan tugas – tugas kemanusiaan. Keberanian moral, responsif, korektif dan mengambil peran aktif dalam suatu bidang, dalam hal ini bidang kemaritiman, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Alloh swt merupakan penggambaran dari kualitas ini. Karena dari setiap kader HMI yang membawa misi dari HMI pada hakekatnya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil makmur dan diridhoi Alloh swt. Harapan masyarakat Indonesia yang dikatakan oleh Jendral Sudirman kepada HMI, hendaknya menjadi motivasi tersendiri bagi setiap kader HMI. Tugas suci atau mission sacre yang dibawa oleh para kader HMI tidak dijadikan beban, tapi dijadikan sebuah ikhtiar demi tercapainya masyarakat yang adil makmur dan tentunya diridhoi Alloh swt.

Dengan diformulasikannya aktualisasi dan implementasi mission HMI, khususnya dalam bidang kemaritiman, dapat dijadikan “senjata utama” dari setiap kader HMI menghadapi AEC. Sehingga akan meningkatkan daya saing dari SDM Indonesia pada umumnya dan kader HMI bidang keprofesian kemaritiman pada khususnya. Yang menjadi bayangan kita sebuah standardisasi baru bisa diperoleh apabila kita sudah melepaskan status kita sebagai mahasiswa atau sudah lulus dan menjadi alumni dari HMI. Padahal di saat kita masih menjadi seorang mahasiswapun bisa dilakukan atau bisa kita mendapatkan sebuah sertifikasi yang menjadi standaridisasi dalam bidang – bidang tertentu, contoh untuk bidang kemaritiman terdapat beberapa profesi yang membutuhkan sebuah sertifikasi yang membuktikan kecakapannya yaitu ada NDT (Non Destructive Tes), WI (Welding Inspector), K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) Migas, sertifikasi bidang ilmu perkapalan dan bangunan lepas pantai dari RINA (Royal Institute Naval Architect) dan IMAREST (Institute Marine Engineering, Science and Technology).

Apabila daya saing dari masyarakat Indonesia secara umum dan kader HMI, di bidang keprofesian kemaritiman, secara khusus sudah meningkat dan dapat diandalkan, maka kesiapan dari bangsa Indonesia ini bisa dikatakan mumpuni dalam menghadapi AEC di bidang kemaritiman. Karena sebagai kader umat dan kader bangsa yang memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan masyarakat yang adil makmur dalam bingkai keislaman yang didasari atas keilmuan sebagai perwujudan insan pencipta dan pengabdi, kader HMI nantinya menjadi katalisator bangsa Indonesia menghadapi pasar global, dalam hal ini AEC. Aktualisasi Mission HMI dalam menyiapkan kader – kader HMI yang profesional dan berdaya saing di bidang kemaritiman, akan benar – benar terpenuhi dan bukan hanya menjadi teori lama dan kenangan dari HMI. Karena bagaimanapun maritim adalah jati diri bangsa Indonesia, yang harusnya dipahami dan disadari oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebagai kader HMI secara umum, kesempatan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil makmur dan diridhoi Alloh swt melalui bidang kemaritiman dalam menghadapi tantangan AEC ini harus benar – benar dimanfaatkan, mengingat potensinya yang begitu melimpah serta maritim yang merupakan jati diri bangsa Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun