Mohon tunggu...
Susatyo Kuncahyono
Susatyo Kuncahyono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berbangga-bangga telah melalaikanmu

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saya Sama seperti Unta, maka Saya Sakit Gigi

12 Oktober 2013   10:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:39 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak pengalaman dan hikmah yang diperoleh seseorang saat menunaikan ibadah haji. Kesan dan pengalaman saat menunaikan ibadah haji bermacam-macam, ada yang lucu, aneh, sedih maupun yang menyenangkan. Biasanya pengalaman-pengalaman itu sangat berkesan dan tidak akan dilupakan.

Saya berangkat haji 15 tahun yang lalu. Saat itu kuota haji masih sekitar 120 ribuan. Rombongan haji kami masuk dalam kloter awal, sehingga sesampainya di Jeddah, perjalanan disambung dengan bus ke Madinah. Sampai di Madinah suasana masih sepi. Jadi kami bisa leluasa melakukan ibadah di Masjid Nabawi.

Numpang MCK di Masjid Nabawi

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ternyata rombongan kami mendapatkan pemondokan dengan fasilitas yang kurang bagus. Satu kamar berisi sekitar 20 orang. Umpel-umpelan kata orang Jawa. Selain itu fasilitas air juga sangat memprihatinkan. Untuk ke kamar mandi harus antri berjam-jam, karena harus menunggu air mengucur.

Melihat lamanya antrian dan sulitnya air tersebut, pembimbing haji menyarankan kepada kami untuk ke Masjid Nabawi. Di sana kamar mandi sangat bayak, bersih dan airnya berlimpah. Mengetahui hal itu, saya dan beberapa teman, dengan semangat 45 langsung menuju ke Masjid Nabawi. Ternyata memang benar. Banyak kamar mandi yang kosong. Langsung saja saya mandi sepuas-puasnya.

Pengalaman mandi di hari pertama itu membuat kami menjadi “tuman”. Maka setiap hari kami melakukan aktivitas MCK di Masjid Nabawi. Biasanya setelah sholat Subuh saya menunggu sebentar sampai menjelang waktu Dhuha, menunggu para jama’ah pulang. Kemudian saya menuju ke kamar mandi di lantai basement yang paling bawah. Di lantai basement paling bawah ini tempatnya sepi, sehingga bisa berpuas-puas mandi tanpa digedor-gedor orang yang antri. Di waktu siang hari, seringkali saya pergi dari sebelum Dhuhur dan tinggal di masjid Nabawi sampai setelah Isya’. Jadinya selama di Madinah sebagian besar aktivitas saya ada di Masjid Nabawi. Mungkin ini pelajaran buat saya yang sewaktu di tanah air jarang sekali pergi ke masjid.

Pelajaran pertama: makmurkan masjid.

Jalan “berduaaan” dengan nenek dari Malaysia

Setelah sholat dhuhur di masjid Nabawi, saya berdua dengan teman berniat untuk mencari makan. Baru sampai di halaman masjid kami melihat seorang nenek yang kebingungan. Melihat tampangnya yang melayu saya pikir nenek tersebut adalah jamaah haji asal Indonesia. Merasa senasib sepenanggungan kami bermaksud untuk menolongnya. Setelah kami sapa ternyata nenek tersebut merupakan jama’ah asal Malaysia. Sang nenek sedang kebingungan mencari pemondokan.

Kami tanya alamatnya. Sang nenek kemudian menunjukkan sebuah kartu alamat pemondokan. Saya tidak tahu alamat tersebut. Saya lalu melihat ke kanan-kiri, mencari orang yang bisa dijadikan tempat untuk bertanya. Sekitar 25 m dari tempat kami berdiri saya melihat seorang laki-laki petugas cleaning service masjid Nabawi, sepertinya orang Pakistan atau India. Kami coba bertanya alamat yang ada di kartu, tentunya pakai bahasa tarzan. Tetapi ternyata sama saja, cleaning service tersebut tidak tahu.

Setelah berunding dengan teman, diputuskan untuk mengantarkannya ke kantor haji Malaysia, dan hanya saya yang akan mengantarkannya. Tetapi ini juga masalah, saya tidak tahu alamat kantor haji Malaysia. Saya bertanya ke beberapa orang, juga tidak ada yang tahu. Sampai akhirnya ada seorang bapak yang menunjukkan arah ke kantor haji Malaysia.

Selama beberapa ratus meter berjalan kaki, saya baru sadar bahwa si nenek tidak memakai sandal. Katanya hilang. Saya menawarkan si nenek untuk memakai sandal yang saya pakai, tetapi dia menolaknya. Mau tidak mau saya harus membelikan si nenek sebuah sandal. Untung tidak jauh dari Masjid Nabawi ada sebuah pasar, maka saya belikan sandal untuk sang nenek.

Singkat cerita akhirnya saya temukan kantor haji Malaysia. Jaraknya sekitar 2 km dari Masjid Nabawi. Setelah berdialog sebentar dengan petugas haji Malaysia, saya serahkan beliau ke petugas haji Malaysia. Lega sudah. Alhamdulillah. Mission accomplished.

Selama hidup belum pernah saya merasakan jalan berduaan dengan nenek-nenek. Bahkan dengan nenek saya sekalipun, yang biasanya hanya ketemu setahun sekali saat lebaran.

Pelajaran kedua: sayangi orang tua.

Mencium Hajar Aswad

Setelah 8 hari di Madinah, saatnya pergi ke Mekkah. Aktivitas di Mekkah dimulai dengan melakukan ibadah umroh. Sama seperti di Madinah, suasana di Majidil Haram masih relatif sepi. Enak juga masuk dalam kloter awal. Sebelumnya kami sempat mendapat tips dari pembimbing untuk bisa mencium Hajar Aswad, yaitu ikuti arus sambil bergerak ke dalam, selalu berdoa dan tawakkal. Dan satu lagi, jangan menyikut orang (bukannya mendapat pahala, malah mendapat dosa).

Saya mengikuti semua tips itu. Karena suasana relatif sepi saya bisa sedikit demi sedikit bergerak ke dalam. Hingga pada saat putaran ke lima saya sudah di sisi Ka’bah. Dengan tetap mencoba mempertahankan posisi, saya bergerak ke arah Hajar Aswad sambil terus berdo’a. Alhamdulillah saya berhasil menciumnya. Meskipun hanya sekitar setengah menit saya lega. Saya membayangkan surga. Saya ingat pesan pembimbing, bahwa kita mencium Hajar Aswad hanya karena meniru Nabi Muhammad SAW. Tidak lebih dari itu.

Pelajaran ketiga: ikhlas dan tawakkal.

Saya sama seperti unta, maka saya sakit gigi

Ada anekdot pada saat musim haji. Katanya hanya unta saja yang tidak sakit radang tenggorokan. Begitu juga di rombongan kami. Semua teman satu rombongan bergantian sakit radang tenggorokan. Alhamdulillah saya tidak terkena sakit tenggorokan. Saya selalu menjaga makanan dan tidak minum yang dingin-dingin. Selain itu saya juga menjaga kesehatan dengan minum kapsul yang berisi jamur. Saya mendapat informasi ini dari seorang dokter langganan saya. Katanya jamur ini bisa menjaga stamina tubuh. Tanpa terasa saya merasa bangga. Dalam hati saya berucap, dalam rombongan haji hanya saya saja yang tidak sakit radang tenggorokan.

Namun beberapa hari kemudian saya sakit gigi. Sakitnya tidak terkira. Saya coba minum obat penahan sakit, tetapi rasa sakit hanya berhenti sebentar. Padahal sebelumnya saya jarang sakit gigi, dan selama di Mekkah saya rajin sikat gigi. Setelah saya renungi, ternyata saya telah berlaku sombong. Saya sombong karena hanya saya saja yang tidak sakit radang tenggorokan. Astaghfirullah al adzim.

Pelajaran keempat: jangan sombong.

Backpacker Armina

Tanggal 8 Dzulhijjah sore kami berangkat ke Mina untuk bermalam di sana. Kami bawa semua perlengkapan secukupnya untuk dimasukkan ke dalam tas punggung yang sengaja di desain dan dibuat oleh KBIH untuk memudahkan perjalanan jama’ah. Jadilah kami backpacker. Setelah bermalam di Mina, esoknya kami pergi ke Arafah, dan sampai di sana sebelum Dhuhur.

Al Hajju Arafah.

Arafah adalah tempat mustajab untuk berdoa. Segala macam doa saya dipanjatkan. Baik yang bersifat dunia maupun akhirat. Dan janji Allah adalah benar. Semua doa yang saya panjatkan pada waktu itu sudah dikabulkan.

Pelajaran kelima: janji Allah pasti benar, Allah akan mengabulkan semua do’a.

Beralas rumput, beratap langit

Selepas waktu Ashar kami bersiap untuk melakukan perjalanan ke Muzdalifah. Bus-bus saling berlomba-lomba menuju batas padang Arafah. “Arafat ends here”. Sambil menunggu waktu Maghrib, kami derdzikir dan berdoa. Waktu setelah Ashar adalah salah satu waktu yang mustajab.

Sekitar waktu Isya’ kami sampai di Muzdalifah. Alhamdulillah rencana kami berjalan dengan baik. Kemudian dilanjutkan dengan sholat Maghrib dan Isya’ dengan di-jama’, dan mencari kerikil untuk melempar jumroh keesokan harinya.

Dengan beralaskan kain ihrom kami tidur di rerumputan. Beratapkan langit yang saat itu cerah sekali. Betapa luas alam raya ini. Tidak mungkin ini terjadi dengan sendirinya. Seperti anggapan orang atheis. Tidak mungkin semua gugusan planet, bintang dan galaksi yang tidak punya akal bisa saling berkoordinasi, sehingga masing-masing berjalan sesuai orbitnya. Kita saja sebagai manusia yang berakal, sangat susah untuk berkoordinasi. Pasti semua ini ada yang mengatur. Subhanallah. Maha Besar Allah. Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Pelajaran keenam: Allah Maha Besar dan berkuasa atas segala sesuatu.

Mengikuti kebiasaan penumpang KRL Ekonomi

Selesai melakukan thawaf ifadhah dan sa’i, kami berkumpul untuk pulang bersama naik bis. Ternyata harus berebutan. Terpaksalah kami naik di atap bis. Ternyata enak juga, tidak sumpeg dan lega. Mungkin hal inilah yang membuat penumpang KRL Ekonomi senang naik di atap kereta.

Jalanan sungguh macet sekali. Sesampainya di terowongan, kira-kira dua mobil di depan bus kami ada sebuah sedan yang mogok. Mungkin mesinnya kepanasan. Kendaraan tidak bergerak. Tiba-tiba bus yang ada di belakang sedan tanpa permisi mendorong sedan tersebut. Tidak ada yang marah dengan kejadian tersebut. Bisa jadi karena orang Arab memang kaya, atau memang keadaan harus memaksa berbuat itu. Yang penting manfaat lebih besar dari mudharat (paling hanya penyok-penyok…).

Pelajaran ketujuh: bandingkan manfaat dan mudharat

Mabit di Mina

Ssaat saya berhaji kondisi tenda di Mina tidak begitu bagus dan tempatnya terlalu jauh. Bisa lebih dari 5 km. Untuk itu rombongan KBIH kami sepakat untuk menyewa tenda yang terletak di sebuah bukit kecil yang letaknya tidak jauh dari tempat melempar jumroh, sekitar 1,5 km. Tempat ini sangat strategis, dari tenda yang terletak di atas bukit kami bisa langsung melihat tempat melempar jumroh. Kami bisa secara langsung melihat kapan tempat jumroh relatif sepi, dan kami bisa dengan cepat menuju ke sana.

Siang itu sehabis sholat Dhuhur kami duduk-duduk di luar tenda, tiba-tiba terdengar raungan sirene mobil ambulance bersaut-sautan. Kami melihat mobil ambulance hilir mudik di tempat jumroh di lantai bawah. Rupanya banyak jemaah haji yang meninggal karena terdorong dan terinjak-injak. Memang di lantai bawah arus jamaah tidak beraturan. Mereka datang dan keluar dari berbagai arah. Jadinya bertabrakan. Padahal sudah ada tanda arus masuk dan arus keluar. Namun tetap saja para jama’ah haji tidak disiplin. Petugas kewalahan untuk mengatur arus jama’ah haji. Berbeda dengan di lantai 2, orang hanya bisa masuk dari satu arah saja. Tampaknya orang memaksa untuk terus berdesakan di bagian bawah, padahal tempat itu sudah penuh dengan jama’ah haji. Menurut kabar puluhan orang meninggal akibat kejadian itu.

Pelajaran kedelapan: taatilah aturan dan disiplin.

Sabar itu subur

Sehari sebelum pulang kami berbondong-bondong mencari jerigen untuk diisi dengan air zam-zam. Setelah mendapatkan jerigen, saya berdua dengan teman menuju tempat pengisian air zam-zam di samping Masjidil Haram. Sampai di sana ternyata antrian sangat panjang. Kami mengalah dan keluar dari antrian. Sambil menunggu antrian sepi kami berjalan menuju tangga yang berada di atas tempat pengisian air zam-zam. Kami berdua mengobrol sambil mengamati antrian di bawah.

Setelah beberapa saat ngobrol tiba-tiba ada seorang Pakistan/India yang sedang mengisi air zam-zam berteriak-teriak ke arah kami yang ada di atas. Kami bertanya-bertanya, apa yang telah kami perbuat. Jangan-jangan kami sudah berbuat kesalahan. Orang Pakistan/India itu menunjuk-nunjuk jerigen. Dia menyuruh kami untuk melempar jerigen kami ke bawah. Sejenak kami bingung, tetapi kemudian kami turuti. Lalu kami lempar jerigen kami ke bawah. Jaraknya sekitar 2 meter. Kemudian jerigen kami dia isi dengan air zam-zam. Kami berdua turun ke bawah untuk mengambil jerigen kami yang telah terisi air zam-zam. Kami mengucapkan terima kasih. Anehnya orang-orang yang sedang mengantri tidak marah dengan perbuatan orang Pakistan/India tersebut. Apakah kami berdosa telah melewati antrian? Yang jelas saat melempar jerigen itu kami masih dalam keadaan terpana dan tidak sempat terpikir akan dosa. Mungkin itu balasan bagi orang yang mengalah dan sabar. Sabar itu subur. Wallahu ‘alam.

Pelajaran kesembilan: sabar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun