"Lo, lambat sekali. Satu lembar bisa memakan waktu hingga hampir tiga menit?" Aku terheran-heran. Nyatanya kertas foto keluar lambat sekali. Akan tetapi fotonya bagus meskipun tidak diedit dengan aplikasi milik profesional.
Aku tidak berani mengutik-utik settingan. Takut keliru. Belum lagi aku nurut kata Mas Adi, si ahli IT kami.
"Setelah ngeprin sepuluh lembar istirahat dulu."
Katanya agar kepala katrid tidak panas, dengan demikian alat cetak elektronik itu menjadi awet. Sebagai user aku sih nurut saja. Lagi pula printer seri itu memang harganya cukup lumayan, sekitar lima jutaan.
Sambil menunggu delapan lembar berikutnya, aku berselancar di internet melalui hape, sebab laptop sedang dipakai untuk mencetak foto. Kadang aku lupa, hingga satu lembar berlalu aku belum kembali juga ke ruang komputer yang hawanya seperti di dalam oven pemanggang kue.
Satu jam lebih aku menyelesaikan pencetakan foto kenangan yang akan aku bagikan hari Senin yang akan datang. Lebih dari sejam karena aku sambi dengan melakukan aktivitas lainnya.
"Cukup. Waktunya pulang," bisik batinku.
Aku pun berkemas-kemas. Sisa kopi yang sudah dingin tetap kuseruput. Setelah memastikan perabotan yang harus kubawa pulang tidak tersisa, aku segera menuju ke pintu keluar.
"Ini kunci yang panjang untuk mengunci pintu kayu, yang lebih kecil dan seperti bocah kembar ini untuk mengunci pintu besi," gumamku.
Pintu kayu segera kututup. Uff, seret. Apalagi cantolan gemboknya tidak pas pada kupingnya. Membutuhkan sedikit upaya untuk memasangnya. Sesudah itu, gembok dengan besi panjang segera kupasang.
"Beres," batinku.