"Terus, gimana, Bu?" setengah berteriak, bungsu menanyakan kelanjutan proses pembuatan opak kepada ibunya. Dari dalam kamar ibunya memberi petunjuk.
"Campurkan bumbu ke dalam parutan ubi. Jangan lupa dicicipi, asin atau tidak," jawab ibunya dengan suara lirih karena seharian ia sakit tenggorokan disertai pegal di bagian bahu. Belakangan ketahuan setelah diperiksa dokter, sakit yang diderita ibunya adalah penyakit yang sedang melanda sebagian besar warga yang berobat ke dokter Jerry. Dokter Jerry adalah dokter keluarga para pemegang kartu BPJS di desa kami.
Mendengar penjelasan ibunya, bungsu pun mencampur bumbu ke dalam parutan ubi. Setelah itu, ia keluar rumah memetik daun pisang. Daun pisang disisir dengan pisau dan dibersihkan, kemudian parutan ubi pun diratakan di atas helai daun yang sudah dibersihkan.
"Tipis-tipis saja agar setelah jadi opak tidak keras, Mas!" imbuh ibunya pula.
Bungsu pun menurut. Ia ambil satu sendok parutan ubi lalu meratakannya di atas daun pisang. Ia ratakan setipis yang ia bisa.
Langkah selanjutnya, bungsu mengisi dandang kukusan dengan air dan menjerangnya di atas api kompor.Â
"Memasukkan opaknya kalau sudah mendidih atau langsung saja, Bu?" tanya bungsu kepada ibunya,
"Ya nanti kalau sudah mendidih agar uap panasnya cepat mematangkan adonan opak."
Saya membantu merekam video kegiatan bungsu yang baru masuk kelas sepuluh itu.
Beberapa kali tutup kukusan dibuka. Ia ingin memastikan opak yang dibuatnya matang.