Mohon tunggu...
Susanto
Susanto Mohon Tunggu... Guru - Seorang pendidik, ayah empat orang anak.

Tergerak, bergerak, menggerakkan. Belajar terus dan terus belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Belajar Berbahasa di Luar Kelas

13 September 2022   15:09 Diperbarui: 13 September 2022   15:27 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibuat dengan Canva oleh Penulis (Dok. Pribadi)

Belajar Bahasa di Luar Kelas

Belajar bahasa sudah kita lakukan sejak duduk di kelas satu sekolah dasar. Dari kelas satu sekolah dasar hingga kelas dua belas, kita belajar bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa internasional. Bahasa Indonesia dipelajari sebagai mata pelajaran wajib. Bahasa daerah diajarkan pada daerah tertentu, seperti Sunda, Jawa, dan Sumatera. Bahasa asing atau bahasa internasional seperti bahasa Inggris, Mandarin, Perancis, dan Jerman dipelajari secara formal mulai sekolah menengah pertama.

Khusus pelajaran bahasa Indonesia, saya sering mendengar cibiran. Ah, bahasa sendiri aja mesti dipelajari. Toh, tiap hari kita pakai.

Mendengar kalimat bernada cibiran seperti itu kuping saya panas. Sudah mempelajari sejak masih kanak-kanak pun hingga usia dewasa menjelang pensiun ini, kalimat yang saya buat kadang masih acak-acakan. Acak-acakan pada penulisan kata, maupun penggunaan pungtuasi.

Jika netizen berkomentar, Lo aja yang bebal kali. Tidak kuladeni. Sebab, yang berkomentar belum tentu juga bisa. Ha ha ha ....

Di satu sisi, bahasa Indonesia dicibir perihal memelajarinya, pada sisi lain kadang menjadi ladang unjuk kebolehan bagi yang menguasainya. Hal ini karena ada bentuk-bentuk unik yang berbeda bila dibandingkan dengan bahasa asing, Inggris, misalnya.

Contoh ringan misalnya, penggunaan di sebagai awalan dan di sebagai kata depan. Hal sederhana ini sering menjadi bahan tulisan. Sebab, penulisan kata "di" pada kedua fungsi tersebut memang berbeda. Anehnya, seringnya dijadikan bahan tulisan tidak berbanding lurus dengan kepatuhan terhadap penggunaan keduanya.

Ini aneh. Jika sudah menjadi bahan tulisan, misalnya di Kompasiana seperti ini: https://www.kompasiana.com/yantiamb/631a823f4addee26d53ce6b2/penulisan-di-sebagai-prefiks-dan-di-sebagai-preposisi pengetahuan itu diterapkan dalam tulisan. Termasuk digunakan pada penulisan puisi.

Dia:
"Pak De, ini puisi. Bentuknya lebih bebas daripada prosa. Jadi, suka-suka saya lah menulis "di" dirangkai atau dipisah."

Saya:
"Halo ... apakah berpuisi itu bukan berbahasa?"

Dia:
"Berbahasa, dong!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun