Tanggal satu bulan depan, Pak Eko memasuki usia pensiun. Ia sudah mengabdi di sekolah dasar itu selama dua puluh lima tahun. Pada usia tiga puluh lima, ia dimutasi dan menjadi tenaga pendidik di sekolah yang berada di simpang jalan desa itu, hingga sekarang.Â
Fisiknya masih gagah. Belum terlihat lemah. Rambut yang memutih di kepala dan kulit yang tidak kencang lagi tidak bisa menyembunyikan bahwa Pak Eko masih bugar. Satu bulan lagi, lelaki tua berkaca mata itu genap berusia enam puluh tahun.
Pada jam istirahat, Pak Eko duduk-duduk di bangku taman sekolah. Di bawah rindang pohon peneduh, guru kelas enam itu menghabiskan jam istirahatnya di sana. Biasanya setelah minum teh di ruang guru, Pak Eko menuju bangku taman yang dibuat dari semen berlapis keramik. Ia memperhatikan anak-anak yang gembira bermain di halaman. Sesekali menegur jika ada anak yang berlarian, atau ada anak yang bertengkar karena memperebutkan bola.
Guru tua itu sangat akrab dengan anak-anak. Oleh karena itu, tidak heran jika anak-anak terlihat berani dan tidak canggung mengajaknya bicara atau menanyakan sesuatu. Seperti Tiara yang mendekati Pak Eko di bangku taman. Tiara tidak sendirian. Ia mendekati gurunya berdua dengan Ines. Â
"Bapak mau pensiun ya, Pak?" tanya Tiara. Gadis kelas enam memberanikan diri bertanya kepada guru kelasnya.
"Iya, Mbak. Kenapa?" jawab Pak Eko balik bertanya.
"Tidak apa-apa, Pak. Jika pensiun artinya ...," gadis manis itu tidak melanjutkan perkataannya.
"Artinya, Bapak berhenti bekerja. Tidak mengajar lagi. Kalian akan diajar oleh guru lain. Mungkin guru baru atau guru yang ada di sekolah ini," jelas Pak Eko.
Tapi, Pak .... Kami kan belum lulus. Masa Pak Eko berhenti?" tanya Ines pula.
"Sini, duduk sini!" ajak Pak Eko kepada dua orang muridnya itu.