Mohon tunggu...
Susanto Ariq
Susanto Ariq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas Pendidikan Indonesia

Hobi berolahraga dan Riding

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Kampung Keputihan dan Pengrajin Jaring dari Kampung Keputihan

30 Juni 2022   09:43 Diperbarui: 30 Juni 2022   10:17 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kampung keputihan terletak di Desa Kertasari, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon. Keputihan merupakan kampung yang awal mulanya bernama Kesucian. Latar belakang dinamakan sebagai kampung Keputihan/Kesucian ini karena berdasarkan kepada sejarahnya. Bangunan yang berdiri di kampung ini tidak boleh mengandung batu, batu bata, genting, hingga semen. 

Adapun toleransi penggunaan batu yaitu maksimal sebanyak tujuh batu untuk dipakai pada pembangunan. Ketujuh batu tersebut biasanya dipakai untuk di depan teras rumah sebagai langkah awal sebelum masuk rumah. 

Dinding bangunan kampung keputihan ini menggunakan bilik bambu, teras rumahnya hanya berupa tanah tanpa keramik, dan atapnya terbuat dari Welit(daun tebu). Namun, pada saat ini masyarakat kampung Keputihan mulai kehilangan jati dirinya. Sebab tradisi tersebut sudah mulai ditinggalkan akibat modernisasi. 

Menurut Bapak Sartina, "Dahulu kalau orang sini melanggar aturan dalam membangun tempat tinggal, yang tinggal di dalamnya pada sakit. 

Tapi kalau sekarang sih udah gaada mitos itu lagi, udah diusir, udah hilang." Karena hal tersebut lah para masyarakat sudah tidak seketat dahulu. Meskipun demikian, bangunannya tidak banyak menggunakan batu bata hingga semen. Hanya saja dinding rumah dan atap rumah yang awalnya berasal dari bilik bambu dan welit diganti menggunakan Kalsiboard dan Seng untuk menjadikannya sebagai dinding dan atap rumah.

Mayoritas masyarakat kampung Keputihan bermata pencaharian sebagai pengrajin. Ada pengrajin kayu dan rotan hingga pengrajin jaring-jaring. Jaring-jaring tersebut diprintahkan oleh seorang juragan kepada penduduk kampung keputihann untuk membuatkannya guna dijual ke toko-toko olahraga. 

Jaring tersebut dibanderol oleh pengrajin sejumlah Rp 5000,00 per ikat. Satu ikat jaring tersebut berukuran kurang lebih memiliki panjang 5 meter, dan lebar 2 meter. Alat yang digunakan untuk menganyam jaring bernama Coban. Pembuatan jaring tersebut lumayan sulit untuk dilakukan. Oleh sebab itu, penulis tidak dapat mencoba membuatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun