Mohon tunggu...
Susanti Lona Silalahi
Susanti Lona Silalahi Mohon Tunggu... -

i'm? who am i? just a girl who want go out from this life to achieve the better life.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Berantas Korupsi dengan Good Governance"

27 Juni 2012   11:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29 4187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maraknya kasus korupsi saat ini tentunya sudah menjadi masalah besar yang tak henti – hentinya luput dari pemberitaan media. Bagaimana tidak banyaknya tindakan korupsi yang silih berganti menjadi pembicaraan yang sudah tak asing lagi di berbagai elemen negara ini. Ada saja tindakan korupsi yang silih berganti menjadi sorotan media dan seakan-akan dijadikan sebagai ajang lomba lari, siapa yang duluan sampai garis finish dialah pemenangnya. Pemenangadalah mereka yang berhasil memenuhi kepuasannya sendiri. Kira-kira begitulah yang terlintas di benak saya terhadap para pelaku korupsi tersebut. Tindakan korupsi yang sudah menjamur ini tentunya memberikan dampak negatif terhadap berbagai aspek dan kalangan khususnya bagi para muda-mudi dan anak-anak calon pemimpin bangsa.Tak dapat dipungkiri para pejabat pemerintah yang seharusnya menjadi teladan bagi para generasi penerus justru memberikan contoh buruk yang dapat merusak jiwa dan kepribadian generasi muda.

Banyaknya tindakan korupsi di Indonesia tentunya tidak terlepas dari lemahnya penegakan hukum di negara yang mengaku dirinya negara hukum ini. Namun terlepas untuk berbicara tentang masalah hukum yang tentunya akan lebih lengkap jika dipaparkan langsungoleh ahlinya, disini penulis ingin membahas tentang akar dari tindakan korupsi itu sendiri. Sesungguhnya apa itu korupsi dan faktor apa yang membuat para pemimpin melakukan tindakan korupsi? Apapula dampaknya? Ketiga pertanyaan ini merupakan pertanyaan dasar yang harus dipecahkan terlebih dulu untuk mengkaji lebih dalam tindakan korupsi itu sendiri?

Korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus, politisi maupun pegawai negeri maupun seorang pemimpin dalam organisasi/perusahaan yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik atau organisasi yang dipercayakan kepada mereka.

Adanya kesempatan tentu menjadi pemicu dilakukannya tindakan korupsi. Kurangnya pengontrolan/pengawasan juga menjadi salah satu penyebab tindakan penyelewengan sejumlah dana dalam sebuah organisasi atau instansi.

Budaya Organisasi

Sudah sejak dulu korupsi yang merupakan perilaku menyimpang di luar nilai dan moral ini meluas di berbagai tingkatan organisasi. Bahkan tak jarang di sebuah organisasi karena korupsi sudah begitu sering terjadi terkhusus di tingkatan manajer, menjadi pendorong bagi anggota organisasi untuk melakukan perilaku menyimpang yang serupa.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah memang korupsi sudah menjadi bagian dari budaya organisasi sehingga muncul istilah “budaya korupsi”? Tentu tidak, korupsi bukanlah budaya namun perilaku menyimpang yang sudah terlalu sering terjadi di organisasi sehingga menjadi kebiasaan. Ditambah lagi, budaya organisasi adalah alat untuk menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan dan mengelola sumber daya dan tentunya alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan. Budaya organisasi terkonsep dengan baik serta ditujukan ke arah yang baik karena memang budaya organisasi itu jugalah yang nantinya akan memberikan sense of identity kepada para anggota yang akhirnya menjadi perekat social (social glue) yang mengikat semua anggota organisasi agar organisasi mampu bertahan layaknya organisasi seutuhnya. Sekarang, cukup jelaslah bahwa korupsi bukanlah salah satu bagian didalamnya.

Pun demikian, budaya organisasi itu sudah ada dalam masing-masing organisasi, namun mengapa korupsi itu tetap saja terjadi dan semakin merajalela, tak tanggung – tanggung pelakunya pun tidak mengenal malu sama sekali. Lantas, apa penyebabnya dan dimana letak kesalahannya? Dalam hal ini kita tak dapat mengatakan budaya organisasi yang salah, alasannya seperti yang telah diungkapkan penulis sebelumnya, hanya saja budaya organisasi yang cenderung tidak maksimal melaksanakan keberadaannya sebagai pedoman bagi seluruh anggota, dalam arti budaya organisasi tidak hidup dalam dan memperlengkapi setiap anggota organisasi. Sama halnya dengan kehidupan pemerintahan, keberadaan budaya organisasi di instansi pemerintahan juga tidak jauh beda kondisinya dengan budaya di organisasi swasta. Secara keseluruhan, budaya organisasi belum cukup mampu menjauhkan para penghuninya dari tindakan korupsi. Padahal, peranan budaya organisasi itu sendiri adalah untuk mengarahkan para anggotanya tentang tindakan yang dapat dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan. Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi masih belum mampu menjalankan tugas dan fungsinya sehingga satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk memberantas korupsi tersebut adalah dengan merehabilitasi budaya organisasi yang ada. Merehabilitasi dalam hal ini bisa berarti meninjau kembali, memperbaiki, dan menerapkan sesuatu yang baru.

Good Governance

Penerapan “Good Governance” yaitu tata pemerintahan yang baik yang melibatkan tiga aktor yaitu pemerintah, pihak swasta dan masyarakat dinilai sebagai langkah bijak dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. “Good Governance” harus dijadikan sebagai identitas utama organisasi sebab kesepuluh prinsip yang ada dalam “Good Governance” menurut UNDP tersebut sangatlah tepat. Adapun kesepuluh prinsip-prinsip ‘Good Governance” tersebut yaitu partisipasi masyarakat, akuntanbilitas, rule of law, transparansi, keadilan, responsif, visioner (visi yang strategis), interrelated, berorientasi terhadap konsensus, serta efisiensi dan efektifitas.

Partisipasi masyarakat berada di posisi pertama sebab memang partisipasi masyarakatlah yang sangat diharapkan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik ini termasuk dalam pemberantasan korupsi. Penataan pemerintahan yang melibatkan partisipasi masyarakat tentu akan berpotensi memperoleh hasil yang baik sebab pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak diatas kepentingan pemerintahnya dan adanya transparansi dalam segala hal contohnya saja, APBD yang pada kenyataannya dijadikan sebagai rahasia negara. Sementara, bukankah rahasia negara merupakan beberapa hal penting dari sebuah negara yang tidak dapat diketahui oleh negara lain bukan oleh masyarakat dari negara yang bersangkutan. APBD yang tidak transparan tentu akan menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat apakah di dalamnya juga sudah terjadi korupsi. Nah, jika sudah begini, tentu semakin terbukalah gerbang untuk melakukan tindakan diluar moral tersebut.

Fenomena yang terjadi di negara kita saat ini adalah mayoritas tindakan korupsi yang terjadi cenderung “ditutup-tutupi” oleh pemerintah dan pihak-pihak tertentu yang berupaya melindungi si pelaku. Transparansi sama sekali tidak tampak didalamnya yang pada akhirnya hanya menimbulkan tanda tanya besar dikalangan masyarakat. Banyaknya kebusukan yang terjadi menjadi bukti bahwa sistem pengawasan yang kendor mendukung para pelaku untuk melakukan aksinya.

Karena itulah, penerapan “Good Governance” dengan memenuhi kesepuluh prinsip yang ada sangat diperlukan dalam memberantas korupsi yang semakin tidak mengenal para korbannya ini. Partisipasi masyarakat sangat diharapkan sehingga muncul kekuatan sosial (social power) dan akan menjadi kontrol sosial (social control) yang membuat masyarakat menjadi aktif. Pemerintah juga harus lebih bijak dan tegas dengan menerapkan budaya malu (shame culture) terhadap para pelaku dengan membeberkan bukan saja jumlah uang negara yang diselundupkan namun secara jelas membuka “kedok” pelaku dari awal sampai akhir di depan publik. Selain itu, pemerintah juga harus menerapkan budaya salah (guilt culture) dengan tidak memilah-milah seluruh tindakan korupsi tersebut. Berapa pun jumlahnya, baik besar ataupun kecil haruslah tetap dihukum dan diberikan sanksi yang tegas. Ini pulalah yang harus diterapkan di sanubari masyarakat agar tidak menjadi kebiasaan yang dapat merusak moral.


Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun